Bung Hatta, sapaan yang sangat akrab sekali di telinga. Seorang lelaki kelahiran Ranah Minang ini memiliki pengaruh besar untuk Indonesia. Lahir di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah pada zamannya, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Tangah Sawah, Kota Bukittinggi. Tangah Sawah atau Aua Tajungkang yang saat ini menjadi nama sebuah kelurahan dahulu kalanya memanglah sawah yang terbentang luas. Tangah yang berarti tengah dalam bahasa minang dan sawah yang menghampar luas menghadap gagahnya Gunung Marapi.
Bayi mungil yang diberi nama Mohammad Hatta lahir di sebuah kamar rumah berlantai dua pada tanggal 12 Agustus 1902, dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Saleha dan ayah bernama Muhammad Djamil. Saat saya berkunjung ke rumah kelahirannya, potret wajah ibu Bung Hatta terpampang rapi di dinding rumah. Menurut informasi yang saya dapatkan dari pemandu, ayah Bung Hatta merupakan keturunan ulama tarekat dari Batuhampar, Kabupaten 50 Kota yang berdekatan dengan Kota Payakumbuh. Namun saat Bung Hatta menginjak usia tujuh bulan, ayahnya meninggal dunia.
Saat memasuki Rumah Kelahiran Bung Hatta, pengunjung tidak dikenakan biaya sepeserpun. Seperti rumah pada umumnya area depan terdapat paviliun, sudah ada pemandu yang menyambut dengan ramah dan sebelum masuk pengunjung harus melepas alas kaki kemudian mengisi buku tamu. Layaknya museum, perabotan pun masih asli peninggalan orang tua Bung Hatta, layout rumah masih sama seperti dahulu walaupun saat ini rumah itu sudah replika karena bangunan asli rubuh.
Dilansir dari laman portal kemlu.id rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sudah runtuh di tahun 1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian pembangunan ulang dimulai dari bulan November 1994 dan dimulai pada tanggal 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia Merdeka.
Di area depan paviliun, terdapat sebuah kamar yang dijadikan ruang baca Bung Hatta, sebuah kamar kecil dengan satu dipan dan meja belajar. Tempat ini jadi ruang favorit bagi Bung Hatta untuk membaca selain di selasar lantai dua, yang terdapat satu bangku goyang tepat menghadap ke Gunung Marapi. Kalau kata ‘anak jaman now’, saat itu Bung Hatta membaca buku With a Mountain View. Teduh dan indah sekali tentunya.
Setelah disambut oleh ruang baca di lantai satu, pemandu mengajak saya untuk masuk ke area utama, yaitu ruang tamu. Semua tamu yang datang hanya boleh sampai sini. Sementara ruang keluarga, dapur, ruang makan merupakan area privasi dan terpisah sehingga tamu yang datang tidak bisa melihat aktivitas pemilik rumah. Saya kagum dengan denah yang betul-betul menjaga privasi keluarga.
Selain itu di area ini juga terdapat beberapa kamar paman-paman Bung Hatta. Saya lalu menuju area belakang. Saat keluar rumah, saya terlebih dahulu memakai alas kaki yang terbuat dari kayu, dalam bahasa Minang bernama tangkelek (bakiak). Lalu sebuah taman dengan satu lumbung padi dan lesung menyambut.
Dahulu kala, masyarakat Minangkabau mata pencahariannya adalah bertani, memanfaatkan lumbung padi untuk menyimpan padi-padi mereka. Padi dijemur hingga kandungan air berkurang agar semakin awet lalu ditumbuk di dalam lesung untuk mengeluarkan biji beras. Namun berbeda dengan sekarang. Saat panen, padi langsung dibawa ke huller atau penggilingan kemudian dijemur dan siap digiling dengan mesin, setelahnya biji beras yang keluar sudah cukup bersih dan bisa disimpan didalam karung dalam waktu yang lebih lama.
Di area belakang rumah, terdapat satu bangunan dengan beberapa ruangan. Semua pintunya menghadap halaman. Kamar bujang yang merupakan kamar Bung Hatta berada paling pinggir, lalu di sebelahnya dapur, kamar mandi, garasi bendi, kandang kuda, dan paling belakang terdapat kolam ikan Konon dulunya kolam ikan ini sangat luas, namun sekarang hanya tersisa sedikit saja. Air yang dipergunakan pun masih menggunakan air sumur, alirannya masih sama seperti dahulu, namun bedanya semenjak rumah itu di pugar dan bangunan harus mundur, akhirnya sumur berada di dalam kamar. Tapi sumurnya masih aktif dan airnya pun bersih. Di garasi bendi masih tertata rapi bendi yang pernah mengantarkan Bung Hatta untuk hijrah bersekolah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang).
Bergerak beberapa langkah dari dapur saya diajak masuk kedalam ruang makan. Terdapat beberapa jendela dan sebuah tangga menuju lantai dua rumah. Area lantai dua inilah menjadi area privat. Terdapat kamar dimana Bung Hatta dilahirkan, kamar orang tua dan kamar perempuan. Bagian luar terdapat selasar yang dijadikan Bung Hatta untuk membaca. Beliau menghabiskan masa kecilnya di rumah ini hingga berusia 11 tahun sampai akhirnya menyongsong masa depannya dari dari satu kota ke kota lain hingga ke luar negeri. Walaupun saat ini Bung Hatta sudah tiada, bukti sejarah yang masih ada akan terus jadi pengingat untuk kita semua, bahwa teruslah belajar dan kejarlah ilmu sampai kapanpun.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Atika Amalia yang kini tinggal di Jakarta. Disela-sela kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Atika juga menekuni hobi fotografi.