Mendengar kata ‘gandrung’ akan mengingatkan pendengarnya pada tarian khas sekaligus ikon dari Kota Banyuwangi. Tarian ini juga mengukuhkan bahwa perempuan memang layak dan mampu untuk membangun sebuah bangsa, karena pada dasarnya tari Gandrung dilakukan oleh perempuan untuk menyambut sebuah kedatangan. Oleh sebab itu, di area pintu masuk Banyuwangi akan ditemui sebuah patung besar seorang perempuan yang sedang melakukan tari Gandrung sebagai wujud penyambutan terhadap para pendatang yang mengunjungi kota yang berjuluk Sunrise of Java tersebut.
Karena menjadi ikon Banyuwangi, gandrung (baik dalam bentuk patung maupun gambar) akan mudah ditemui di beberapa sudut kota. Namun di area kaki Gunung Ijen, terdapat sebuah tempat unik dengan sejuta pesona yang asyik tentang tari Gandrung.
Di dalam tempat tersebut, terdapat patung penari gandrung yang saking banyaknya disebut dengan istilah ‘seribu patung’. Tempat tersebut bernama Taman Gandrung Terakota. Taman ini terletak di dalam area Jiwa Jawa Resort Ijen, Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi.
‘Seribu’ penari Gandrung di area persawahan
Taman Gandrung Terakota terletak di kompleks persawahan berterasering. Deretan patung dengan warna merah kecoklatan dan persawahan terasering yang berwarna kehijauan adalah kombinasi yang sempurna untuk dipandang.
Patung itu terbuat dari tembikar. Atas dasar inilah taman gandrung ini dinamai ‘Terakota’, sebab terakota merupakan salah satu jenis dari tembikar. Penggunaan terakota sebagai bahan dasar pembuatan patung juga memiliki makna filosofis.
Lewat terakota, seyogianya manusia sadar bahwa manusia perlu memiliki sikap ‘membumi’. Manusia tercipta dari tanah dan akan kembali menyatu dengan tanah. Lalu mengapa ada manusia malah ‘melangit’?
Tak hanya mengajarkan sikap ‘membumi’, terakota juga mengajarkan kepada manusia tentang ketakabadian.
Terakota terbuat dari tanah, bahan yang mudah rusak atau hancur, sehingga lewat terakota manusia sudah seharusnya menyadari bahwa tidak ada hal yang benar-benar abadi di dunia ini. Setiap hal yang diadakan akan kembali tiada.
Menantang gelombang Korean Wave
Jika patung penari gandrung memiliki kandungan makna yang dalam, maka kebaradaan patung di kompleks resort tersebut tentu bukan sekadar sebagai hiasan tanpa tujuan.
Gelombang Korea atau Korean Wave telah melanda bumi pertiwi dalam beberapa waktu ini. Hal ini dapat diamati lewat sebaran esai ringan tentang musik k-pop atau drakor (drama korea) di beberapa media online hingga media cetak. Tak hanya itu, tarian ala k-pop merajai deretan video yang sedang trending di YouTube.
Agaknya, Taman Gandrung Terakota mampu membaca dengan jeli ancaman dari ini. Jika Korean Wave ini tidak diimbangi dengan Nusantaran Wave, maka bisa saja tragedi tentang budaya negeri yang ditenggelamkan anak negerinya sendiri benar-benar akan terjadi.
Anak muda banget
Tren generasi masa kini adalah kebergantungan dengan unggahan foto-foto dari sebuah tempat yang diharapkan dapat mengundang perhatian. Diantara tempat yang dapat dikategorikan menakjubkan adalah tempat yang menyajikan sudut pandang yang unik dan akan lebih sempurna jika mampu memicu suasana nyaman.
Beruntungnya, kriteria-kriteria tersebut telah dimiliki oleh Taman Gandrung Terakota. Penawaran yang disajikan Taman Gandrung Terakota adalah keberadaan Roemah Tjokelat Ijen. Kafe ini dianggap menarik dan nyaman karena menyajikan pemandangan berlatar Taman Gandrung Terakota, hamparan hijau padi, kolam air di samping kafe (yang dihiasi dengan potongan patung penari gandrung di tengah-tengah kolamnya), dan suasana menenangkan khas Gunung Ijen.
Memperkenalkan Tari Gandrung dari eksistensi
Bermula dari keinginan untuk memenuhi beranda media sosialnya dengan unggahan-unggahan foto yang memesona, tanpa disadari generasi masa kini juga sedang melakukan usaha ‘pengawetan’ budaya nusantara yang bernama Tari Gandrung.
Sekilas memang yang ingin ditunjukkan adalah eksistensi diri yang mampu menemukan kafe dengan pemandangan yang unik dan asyik, tanpa disadari mereka juga sedang memperkenalkan (sekaligus mempromosikan) tari Gandrung lewat background foto jajaran patung di area pesawahan terasering.
Usaha Taman Gandrung Terakota dalam menjaga tari Gandrung tak berhenti lewat kafe dengan pemandangan patung penarinya, namun juga diupayakan lewat penjualan souvenir dan merchandise khas Banyuwangi; seperti kain batik dengan motif tertentu, kaos dengan gambar penari gandrung, dan beberapa gantungan kunci dengan konsep utama tari Gandrung.
Akhir kata, adaptasi dengan perkembangan budaya populer memang sesekali perlu dilakukan. Menjaga lokalitas bukan berarti anti-modernitas, tetapi justru dapat dimaknai dengan pemahaman bahwa lokalitas menjadi lebih mudah dilestarikan dengan memanfaatkan kemajuan dan kecanggihan modernitas.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.