Setelah puas berkeliling Benteng Pendem Van Den Bosch di Ngawi tempo hari, rasa penasaran saya mengenai sebuah benteng di pedalaman Jawa lainnya kian memuncak. Tujuan saya kali ini berada di Jawa Tengah, tepatnya Benteng Willem I, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Tidak jauh dari Kota Salatiga dan Rawa Pening.

Pertama kali menginjakan kaki ke dalam benteng, rasa takjub langsung menyelimuti. Bagaimana tidak? Meski sama-sama menyisakan reruntuhan, namun eksotisme dan cerita yang tersimpan luar biasa. Benteng Willem I Ambarawa adalah satu di antara sekian benteng pertahanan di pelosok Jawa yang tersisa.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, di mana benteng lainnya? Lenyap tak bersisa. Kalaupun ada, tidak bisa terbuka untuk umum. Namun, berbeda dengan Benteng Willem I Ambarawa yang saya kunjungi.

Ketika akan menelusuri Benteng Willem I Ambarawa, pikiran saya langsung terbayang kemiripannya dengan Benteng Van Den Bosch di Ngawi. Hanya saja di beberapa sudut dalam Benteng Willem I, penggunaannya untuk beraktivitas, termasuk setengahnya untuk Lapas Kelas IIA Ambarawa. Sudut lain hanya berupa reruntuhan. Miris memang, tetapi itu yang terjadi. 

  • Jalan Desa Beteng, satu-satunya akses menuju Benteng Willem I Ambarawa
  • Pemandangan Benteng Willem I Ambarawa dengan latar belakang bukit Telomoyo

Akses Menuju Benteng Willem I Ambarawa

Sebelum masuk saya sudah menghadapi masalah klasik, yakni salah jalan dan kebablasan. Melalui peta satelit, akses menuju Benteng Willem I yang sebenarnya melalui Lapas Ambarawa. Namun, kini ada akses cepat melalui gapura sebelah RSUD dr. Gunawan Mangunkusumo, Ambarawa.  

Jika kita menemukan gapura Beteng RT 07 RW VI, Warunglanang, Lodoyong, tinggal masuk mengikuti jalan desa sampai berhenti tepat di pintu masuk samping Benteng Willem I. Hanya ada satu jalan dari gapura tersebut, sehingga tidak perlu khawatir tersesat.

Kalau masih bingung, jangan segan bertanya kepada warga sekitar. Mereka pasti akan mengarahkan. 

“Oh, kejauhan, Mas. Putar balik dari sini, sebelum RSUD belok kiri lalu masuk gapura desa Beteng. Tinggal lurus ngikutin jalan desa!” begitu kiranya petunjuk warga ketika saya mencari pintu masuk ke benteng.

Benar saja, tidak perlu waktu lama bagi saya mengikuti jalan desa Beteng ini. Awalnya saya ragu, tetapi mulai yakin ketika warga mengarahkan. Saya menduga nama Desa Beteng berasal dari keberadaan Benteng Willem I Ambarawa. 

Sesampainya di depan pintu masuk samping benteng, tanpa pikir panjang saya langsung menelusuri dan mengabadikan setiap sisinya. Saya membayangkan kemewahannya pada zaman itu. Di tengah serius mengabadikan setiap sudut, tiba-tiba saya teringat satu hal yang jarang orang-orang ketahui, khususnya di luar Ambarawa. 

Relung pintu masuk Benteng Willem I Ambarawa sisi utara
Relung pintu masuk Benteng Willem I Ambarawa sisi utara/Ibnu Rustamadji

Sejarah dan Fungsi Keberadaan Benteng Willem I Ambarawa

Merujuk Fort in Indonesia 1839-1845, pembangunan benteng di Ambarawa—kelak populer dengan sebutan Benteng Willem I—merupakan inisiatif Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Tujuannya sebagai upaya pertahanan Jawa bagian tengah, khususnya dari cengkeraman kolonial Inggris, seperti yang terjadi pada tahun 1811.

Van Den Bosch tidak ingin pulau Jawa kembali lepas seperti pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, karena pertahanan Jawa sangat minim. Tak ayal, muncullah gagasan pendirian benteng pedalaman Jawa, bersamaan dengan pengesahan cultuurstelsel atau tanam paksa.

Fokus keberadaan Benteng Willem I Ambarawa adalah sebagai pusat serangan balik dan titik kumpul prajurit apabila pedalaman Jawa diserang. Sekaligus titik persimpangan barang dan jasa strategis antara Kedu (Magelang)—Semarang—Surakarta. 

Sebelum proses pembangunan, tiga benteng kecil dibangun di sekitar benteng induk guna menjaga kemungkinan hal buruk dan agar lebih cepat terselesaikan. Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa resmi dimulai pertengahan Juni tahun 1833. Perancangnya adalah Insinyur Zeni, Kolonel Van Der Wijck, dengan nama awal Fort Toentang atau Benteng Tuntang.

Awalnya Van Den Bosch menginisiasi pendirian benteng yang terfokus di pesisir Jawa, terutama Surabaya, Semarang dan Batavia. Bentuknya berupa benteng citadel dan kustbatterij. Kemudian barulah membangun benteng pertahanan di pedalaman Jawa seperti Benteng Cochius (Van Der Wijck) Gombong, Willem I Ambarawa, dan Van Den Bosch Ngawi.

Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa diawali upacara peletakan batu pertama oleh Jenderal Dominique Jacques de Eerens pada 18 Juni 1833. Ia lalu menjabat Gubernur Jenderal dan meresmikan Willem I Ambarawa, menggantikan Van Den Bosch yang kembali ke kerajaan Belanda.

Rancangan insinyur Van Der Wijck untuk Benteng Willem I Ambarawa dan Van Den Bosch Ngawi meniru sistem pembangunan benteng abad ke-17 karya Insinyur Zeni Perancis, Sébastien Le Prestre de Vauban. Para pekerja terdiri dari tim insinyur zeni dan sekitar 3.000 kuli tahanan untuk kerja paksa.

Pembangunan Benteng Willem I Ambarawa tidaklah mudah. Sempat terjadi penundaan, karena terjadi bencana alam puting beliung dan kebakaran besar yang melanda benteng Willem I Ambarawa. Akhirnya proyek ambisius ini kembali memasuki tahap pengerjaan lima tahun kemudian.

Satu-satunya jembatan penghubung di dalam Benteng Willem I Ambarawa
Satu-satunya jembatan penghubung di dalam Benteng Willem I Ambarawa/Ibnu Rustamadji

Hal-Hal Menarik yang Terlupakan dari Benteng Willem I Ambarawa

Desain arsitektur benteng mengalami beberapa kali perubahan hingga tahun 1837. Pada tahun yang sama desain terakhir pun disetujui. Penyematan nama Willem I juga atas keinginan Pangeran Frederik Hendrik, meskipun benteng belum selesai sepenuhnya.

Penyematan nama tersebut berasal dari nama raja Belanda waktu itu, yakni Willem I. Sang pangeran tengah berada di Hindia Belanda untuk beranjangsana ke Ambarawa, memenuhi undangan Dominique Jacques tahun 1837. 

Dominique Jacques mengundang Pangeran Frederik Hendrik untuk menikmati alam pegunungan Menoreh dan meresmikan nama benteng yang sudah mereka siapkan. Pangeran Frederik Hendrik cukup kagum dan menilai Benteng Willem I Ambarawa sebagai benteng mutakhir di pedalaman Jawa, sehingga menurutnya layak menyandang nama “Willem I”.

Benteng Willem I juga disebut Benteng Pendem, karena berada di cekungan yang mana parit dan gundukan tanah mengelilingi layaknya Benteng Van Den Bosch. Tujuannya pun sama, untuk menahan serangan peluru artileri musuh. Desain yang cukup kompleks, karena memang berguna sebagai basis pertahanan utama.

Melalui catatan sang pangeran dalam Fort in Indonesia, prajurit yang mendiami Benteng Willem I Ambarawa kala itu berasal dari Eropa, Madura, Bugis, dan pribumi. Mereka diizinkan tinggal bersama anak dan istri di dalam benteng. Menurut saya hal ini sangat wajar, karena konstruksi Benteng Willem I Ambarawa cukup besar dan luas. Sehingga tidak menutup kemungkinan warga nonmiliter juga tinggal satu atap.

Hal lain yang menarik adalah kehidupan sebagian perwira di Benteng Willem I Ambarawa sangat beradab, karena mereka membawa anak dan istrinya dari Eropa. Sementara para prajurit Eropa yang bujang melampiaskan hasrat seksual mereka dengan perempuan lokal dari Ambarawa. Berbeda dengan prajurit Madura, Bugis dan pribumi. Mereka memilih rehat di pasar dan mengisap candu atau opium.

Kondisi barak sisi kiri pintu masuk Benteng Willem I
Kondisi barak sisi kiri pintu masuk Benteng Willem I/Ibnu Rustamadji

Kemegahan yang Tidak Sempurna

Tatkala berdiri tepat di beranda depan reruntuhan kediaman komandan, sembari menyaksikan jejak kemegahan Benteng Willem I Ambarawa, hanya ada satu hal di pikiran saya. Rancangan kolonel Van Der Wijck sangat revolusioner dan berani di zamannya. Tidak hanya fungsi kekuatan pertahanan luar saja, tetapi juga penataan detail setiap sudut benteng yang sangat presisi.

Tentu saja ada alasan lain di balik itu. Apabila terjadi serangan di sisi luar, dampaknya tidak akan terasa langsung ke dalam benteng. Selain itu, desain yang ada memungkinkan untuk memantau gerakan serangan dari seluruh penjuru mata angin.

Namun, kesempurnaan proyek ambisius tersebut harus pupus pada 1849. Di pertengahan tahun tersebut Benteng Willem I Ambarawa selesai dibangun. Pembangunan benteng telah menelan banyak biaya. Selain karena proyek besar, penyebabnya adalah tingginya biaya renovasi benteng pasca gempa besar mengguncang Ambarawa. Ditambah kas Kerajaan Belanda terkuras setelah perlawanan terhadap Pangeran Diponegoro.

Kondisi demikian menyebabkan batalnya pembangunan beberapa fasilitas. Hasil akhir pembangunan hanya seperti apa yang saat ini tersisa. Kehidupan para prajurit di dalamnya semakin sirna sejak rentetan gempa bumi antara tahun 1865-1872 dan penyebaran wabah malaria. 

Para serdadu dari Afrika adalah orang yang terakhir menempati Benteng Willem I Ambarawa selama satu bulan, tepatnya tahun 1926. Setelahnya sempat berfungsi sebagai kamp interniran Jepang, hingga akhirnya sebagian menjadi Lapas Kelas IIA Ambarawa.

Sayang memang, hasil akhir tidak sesuai dengan rancangannya yang terbilang revolusioner. Saya hanya bisa membayangkan, seandainya reruntuhan Benteng Willem I Ambarawa sampai saat ini masih seperti desain awal, tentu akan sangat luar biasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar