Kali ini saya berada di Kabupaten Ngawi Jawa Timur, dengan tujuan utama Benteng Pendem. Sebenarnya, perjalanan ke Benteng Pendem sudah lama saya lakukan. Namun, baru-baru ini terpikirkan untuk menuangkan dalam tulisan.

Ada yang perlu kalian ketahui sebelumnya. Saat ini kondisi Benteng Pendem Ngawi lebih baik pascarevitalisasi. Maka, jangan heran kalau melihat hasil foto yang saya abadikan saat itu berbeda dengan kondisi sekarang. 

Pertama kali menginjakan kaki di Benteng Pendem, hanya terlihat struktur tembok tanpa atap. Miris memang, tetapi itulah yang terjadi. Namun, dari reruntuhan tersebut, setidaknya saya memiliki gambaran kehidupan Benteng Pendem kala itu.

Benteng Pendem berdiri tepat di tepi pertemuan dua anak sungai, yakni Sungai Bengawan Madiun dan Bengawan Solo di Pelem, Ngawi. Usianya lebih dari seabad, namun marwah sebagai pusat militer di pedalaman Jawa, khususnya bagian tengah masih terasa. Umur boleh tua, tetapi jiwa tetap muda.

Mungkin banyak yang berpikir, benteng ini terpendam dan tidak terlihat dari permukaan tanah. Sejatinya bukan seperti itu.

Pintu utama sisi timur Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem Ngawi
Pintu utama sisi timur Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem Ngawi/Ibnu Rustamadji

Sejarah Pembangunan Benteng Pendem

Benteng Pendem sepenuhnya berada di atas permukaan tanah. Tidak ada yang tertimbun atau berupa ruang bawah tanah. Fungsi benteng ini sejatinya untuk menahan serangan bangsa Eropa lain, yang akan menuju pedalaman Jawa melalui jalur sungai dari timur. 

Lantas apa yang membuat bangunan bersejarah ini disebut pendem (tertimbun)? 

Merujuk informasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Fort in Indonesia 1839-1845, Benteng Pendem Ngawi awalnya bernama Fort Van Den Bosch atau Benteng Van Den Bosch. Melalui relung pintu masuk utama terdapat sengkalan angka 1839-1845, yang artinya pembangunan benteng berlangsung selama periode tersebut.

Pintu masuk utama sisi barat Benteng Van Der Bosch atau Benteng Pendem di Ngawi. Tampak tulisan tahun pembangunan benteng berlatar merah di atas pintu
Pintu masuk utama sisi barat Benteng Van Der Bosch atau Benteng Pendem di Ngawi. Tampak tulisan tahun pembangunan benteng berlatar merah di atas pintu/Ibnu Rustamadji

Pembangunan dilakukan tepat sembilan tahun setelah Perang Diponegoro. Inisiatornya adalah Johannes Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memprakarsai sistem cultuurstelsel atau tanam paksa. Van Den Bosch menggalakkan tanam paksa seiring pembangunan Benteng Pendem, yang bertujuan menjaga stabilitas ekonomi dan pertahanan tanah Jawa dari cengkeraman koloni lain.

Van Den Bosch belajar dari pengalaman pahit di tahun 1811, ketika Inggris membobol pertahanan Pulau Jawa dengan mudah. Hal ini terjadi lantaran benteng-benteng VOC di sepanjang kota pesisir dihancurkan oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal sebelumnya. Ia meminta untuk diganti dengan sistem yang lebih mobile.

Pertahanan pesisir menjadi lemah, sementara di sisi lain pedalaman Jawa tidak memadai dan keadaan angkatan bersenjata memperparah kondisi tersebut. Tak ayal koloni Inggris dengan mudah merebut Jawa dari VOC. Atas peristiwa ini, Van Den Bosch pun memerintahkan Insinyur Zeni, Kolonel Van Der Wijck untuk membuat sistem pertahanan skala besar mencakup pesisir dan pedalaman Jawa.

Benteng karya Van Der Wijk di pesisir kala itu berada di Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Adapun benteng yang terletak di pedalaman berada di Benteng Cochius Gombong, Kebumen, serta Benteng Willem I dan Benteng Van Den Bosch, Ngawi.

Struktur dan Fungsi Bangunan Benteng Pendem Ngawi

Van Den Bosch merancang Benteng Pendem dengan parit keliling dan penyeberangan berupa jembatan angkat. Dulunya air memenuhi parit benteng, sebagai upaya pertahanan dari serangan artileri musuh. Tanah sisa hasil galian parit kemudian tidak lantas terbuang begitu saja, tetapi digunakan untuk gundukan pelindung tembok benteng. 

Di sisi sebelah kiri dan kanan pintu gerbang, tampak gundukan tanah setinggi bangunan benteng. Gundukan ini menjadi pelindung utama Benteng Pendem,  berguna untuk meredam daya hantaman peluru musuh. Fungsi lainnya adalah melindungi Benteng Pendem dari luapan air Sungai Bengawan Solo. 

Jika kita melihat dari luar, seolah benteng berada di bawah tanah. Namun, sejatinya tidak seperti itu. Sekeliling benteng penuh dengan gundukan tanah. Hal ini yang jadi penyebab Benteng Van Den Bosch lebih familiar disebut Benteng Pendem. Sayangnya, eksistensi Benteng Pendem tidak lama. 

Pada tahun 1905, Benteng Pendem dinonaktifkan karena tidak layak untuk garnisun prajurit. Empat puluh tahun kemudian Benteng Pendem beralih fungsi menjadi kamp interniran Jepang, lalu setelahnya kosong dan terbengkalai seperti foto yang saya abadikan.

  • Sisa-sisa kemegahan kediaman sang komandan di Benteng Pendem Ngawi
  • Reruntuhan barak militer lantai dua, yang terletak di sisi utara puing-puing kediaman komandan

Jejak Eksotisme Masa Lalu yang Masih Terasa

Saya coba melangkah tepat di tengah lapangan benteng. Di sana terlihat dua reruntuhan bangunan bergaya indis neo-klasik saling berhadapan, yang selama ini saya cari. Dahulu reruntuhan ini merupakan kediaman komandan Benteng Pendem. Meski tinggal puing-puing, cita rasa kemewahannya masih sangat kental. 

Tepat di belakang kediaman komandan terdapat reruntuhan yang saya duga bagian dapur rumah. Lalu di sisi kanan dan kiri berdiri puing-puing bangunan berlantai dua, yang mungkin dahulu berfungsi sebagai sarana dan prasarana benteng. Persis di atas gedung ini terlihat jelas bekas tempat jam dan lonceng benteng. 

Saya sempat berpikir, untuk apa ada jam dengan lonceng di dalam benteng. Setelah menyelidik lebih jauh, ternyata jam tersebut untuk menandai pergantian waktu kegiatan di dalam benteng.

Bekas tempat jam dengan lonceng di timur lapangan Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem
Bekas tempat jam dengan lonceng di timur lapangan Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem/Ibnu Rustamadji

Prajurit yang tinggal di Benteng Pendem tidak berasal dari satu kesatuan. Ada yang dari Eropa, Ambon, Manado, Madura, dan Jawa. Mereka hidup bersama sang istri di dalam benteng. Suatu kondisi yang lumrah kala itu.

Benteng Pendem terdiri dari empat bangunan barak yang dibangun sesuai kesatuan dan asal para prajurit. Mengapit lapangan dengan dua kediaman komandan di tengahnya. Jika melihat dari citra satelit, konstruksi Benteng Pendem memang berbentuk seperti apa yang saya gambarkan. Luar biasa.

Masih menyadur dari Fort in Indonesia, barak-barak dibangun terpisah sesuai kesatuan. Namun, antarbarak tersambung jembatan di lantai dua. Setiap barak memiliki beranda luas, yang bertujuan untuk mencegah ancaman dari para prajurit dan mempermudah prajurit Eropa melakukan pengawasan.

Menariknya, reruntuhan Benteng Pendem terbuat dari batu bata merah. Tanpa tulang besi layaknya gedung di era sekarang. Susunan bata lengkung, selain memberi kesan eksotis juga untuk menahan beban bangunan lantai dua. Teknologi yang revolusioner saat itu.

Di tengah menikmati keindahan reruntuhan Benteng Pendem, saya mencoba untuk membayangkan kehidupan mereka di masa lalu. Anak-anak lalu-lalang di beranda lantai dua dan para ibu menyiapkan makan untuk mereka. Betapa mesranya.

Lokasi Rahasia di dalam Benteng Pendem

Usai puas menikmati kondisi bangunan bekas barak, saya kembali ke reruntuhan kediaman komandan. Tidak banyak orang yang tahu bahwa Benteng Pendem menyimpan salah satu titik rahasia. 

Lazimnya kuburan, semestinya berada di tempat pemakaman. Begitupun dengan kerkop. Namun, ini berbeda. Tepat di dalam reruntuhan kediaman komandan, terdapat makam seorang ulama Ngawi bernama K.H. Muhammad Nursalim.

Makam K.H. Muhammad Nursalim yang terletak tepat di dalam reruntuhan kediaman komandan Benteng Pendem Ngawi
Makam K.H. Muhammad Nursalim yang terletak tepat di dalam reruntuhan kediaman komandan/Ibnu Rustamadji

Sayangnya, tidak banyak data yang bisa saya lacak. Bahkan informasi di internet pun masih simpang siur. Warga memercayai bahwa beliau merupakan seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro.

Saya masih mempertanyakan keabsahannya. Apabila beliau ulama dari Pangeran Diponegoro, mengapa malah dimakamkan di dalam Benteng Pendem? 

Batu nisan milik K.H. Muhammad Nursalim pun sangat sederhana. Hanya berepitaf nama tanpa informasi tanggal kelahiran dan kematian. Sepertinya ini satu-satunya makam Islam di dalam benteng Belanda di Pulau Jawa. Siapa pun beliau, saya tetap mengirim doa untuk mendiang.

Pentingnya Kepedulian Merawat Bangunan Bersejarah

Saya kembali melanjutkan penelusuran ke bagian timur. Persisnya di pertemuan sungai Bengawan Madiun dan Bengawan Solo. Saya akhirnya menarik kesimpulan bahwa sisi inilah tempat terbaik jika ingin melihat kondisi Benteng Pendem.

Ada alasan kuat. Tempat saya berada di sisi tersebut memiliki permukaan lebih tinggi dari benteng. Walau sejatinya bukan bentengnya dibangun lebih rendah, melainkan gundukan tanahnya memang lebih tinggi. Apabila menggunakan perahu dari arah timur, dapat saya pastikan keberadaan benteng tidak terlihat. 

Kita hanya melihat gundukan tanah untuk penahanan hantaman peluru dan luapan dua sungai besar di sudut benteng. Jarak antara tembok benteng dan gundukan tanah tidak terlampau jauh. Hanya terpisah oleh parit.

Muara pertemuan Sungai Bengawan Madiun dan Bengawan Solo di sekitar Benteng Pendem
Muara pertemuan Sungai Bengawan Madiun dan Bengawan Solo di sekitar Benteng Pendem/Ibnu Rustamadji

Rasanya puas dapat menyaksikan langsung bentang alam dan Benteng Pendem. Sebelum pulang, saya berhenti sejenak tepat di tengah lapangan. Saya edarkan pandangan kembali sisa reruntuhan benteng secara keseluruhan. Saya seakan kembali hidup di kota kuno Romawi, meskipun berbeda masa yang terpaut sangat jauh. Sepintas terlihat “angkuh” menghadapi zaman, karena memang eksotis.

Saat ini mungkin tak semegah tatkala pertama kali dibangun. Namun, bagi saya Benteng pendem adalah monumen hidup yang harus senantiasa mendapat perawatan. Salah satu tujuannya adalah menjaga marwah sebagai peninggalan bangsa. Jangan hanya karena ini peninggalan bangsa Belanda, lantas kita tidak perlu peduli. Itu pemikiran yang salah. 

Saya teringat kutipan kalimat pujangga R.Ng. Ronggowarsito, “Yen wis liwat separo abad, jiwa kongsi binabad” . Apabila sudah lebih dari seabad, jiwa kolonial akan hilang.

Yang paling penting dan harus kita hilangkan adalah sifat buruknya. Bukan peninggalannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar