Momen terbaik dalam hidup tak datang begitu saja. Butuh lebih dari sekadar tekad untuk mencapainya dan merasakan setiap detiknya. Saya menyeberang jalan, memarkir motor, melepas jaket, dan siap mengalami salah satu momen sakral itu. Usai menyapa seorang lelaki penjaga parkir, saya bertanya ke mana arah menuju sang bunga. Lelaki itu memanggil temannya, menyuruhnya untuk mendampingi saya melihat bunga. Kami menjauh dari jalan raya, masuk ke dalam hutan.
Jalan setapak itu curam, sedikit licin karena beberapa hari lalu cuaca didominasi hujan. Sulit dipercaya, kami berada hanya beberapa meter dari jalan raya, namun rasanya sudah jauh sekali dari hiruk pikuk. Suara jalanan menghilang, berganti riuh bunyi para penghuni rimba. Dari kejauhan, lolongan siamang dan cicit burung terdengar bergantian. Belantara Sumatera menghembuskan nafasnya.
Cukup jauh kami berjalan, sekitar sepuluh menit. Sambil memperhatikan setiap langkah, saya mengajak sang pemandu mengobrol. Namanya Pak Ariyanto, warga sekitar Liku Sembilan. Dirinya bersama beberapa orang lainnya biasa membentangkan “banner” ala kadarnya di tepi jalan. Para pengendara yang melintas dapat melihatnya dengan mudah. Mereka tak menarik biaya dengan nominal tertentu kepada pengunjung yang ingin melihat Rafflesia mekar, cukup pemberian sukarela saja.
Kami berhenti. Tanah yang kami pijak masih miring. Ranting yang saya gunakan sebagai tongkat memudahkan saya menjaga keseimbangan. Pak Ariyanto menunjuk ke beberapa arah. “Itu yang masih kol,” katanya. Kol adalah istilah penduduk setempat untuk kuncup bunga Rafflesia yang belum mekar—dalam biologi disebut knop. Memang, bentuk kuncup itu menyerupai kol. Kuncup-kuncup seukuran kol itu dipagari—terutama yang besar. Selain untuk menandai, pagar-pagar itu dipasang guna mencegahnya terinjak oleh orang yang melintas. “Ada juga orang iseng yang merusak kuncup-kuncup itu,” tuturnya saat saya mengamati kol itu lebih dekat.
Lelaki gondrong itu juga memperingatkan saya untuk tidak menyentuh kuncup-kuncup bunga. Konon, jika disentuh, kuncup-kuncup itu akan gagal mekar. Mati bahkan sebelum mereka terbangun dari tidurnya. Meski tidak percaya, saya menurut saja. Mitos-mitos semacam itu seringkali efektif untuk mencegah tangan-tangan jahil manusia.
Pak Ariyanto menunjuk lagi ke suatu arah. “Itu bunga yang mekar, tapi sayang, sudah cukup lama,” katanya. Saya mengikuti arah yang ditunjuknya, memicingkan mata, mencoba mencari warna merah darah dengan bintik-bintik. Hidung saya mengendus-endus udara—kalau saja ada aroma daging busuk. Tak ada!
Kami mendekat. Hati saya yang tadinya merekah, bersiap untuk mekar, layu seketika saat melihat bunga Rafflesia di depan saya. Saya benar-benar sedang berhadapan dengan bunga bangkai secara harfiah. Bunga itu nyaris menjadi bangkai. Warna merahnya menggelap, kelopak-kelopaknya lemas meski tak lepas. Tak ada aroma busuk menguar dari rongga bunganya, ironis sekali.
“Yang itu sudah hari kedelapan—Rafflesia mekar selama tujuh hari—makanya sudah begitu,” jelas Pak Ariyanto. Saya bertanya kalau-kalau ada bunga lain yang mekar di sekitar kami. Saya bahkan rela meski harus menyusuri hutan lebih dalam lagi. Akan tetapi, lelaki itu hanya menggeleng. Tidak ada, tak ada bunga lain yang sedang mekar—kalau pun ada, pasti tersembunyi di rimbun pepohonan. Hanya kuncup-kuncup bunga yang siap mekar beberapa minggu dan bulan ke depan. Saya menghela napas. Barangkali ekspektasi saya yang terlalu tinggi. Saya tak bisa menyalahkan alam—apalagi Pak Ariyanto. Sepertinya, keberuntungan saya hanya sampai di sini.
Dengan mencoba tetap tersenyum, saya mengamati bunga yang sedang membusuk itu. Saya memang gagal merasakan apa yang Joseph Arnold alami sekian tahun silam, tapi bagaimanapun saya toh masih beruntung bisa berhadapan langsung dengan bunga terbesar itu. Saya menyentuhnya, seperti jamaah haji menyentuh ka’bah, menciumnya layaknya hajar aswad. Sudah saya bilang, ini adalah misi suci. Benar saja, diameter bunga ini nyaris satu meter.
Lolongan siamang masih menggema, mengisi udara di sekeliling. Demikian pula gemerisik dedaunan, cicit burung, dan suara berisik serangga. “Kalau orang sini bilang ini tumbuhan apa, Pak?” saya bertanya. “Ada yang bilang itu wadah sirih orang dulu,” jawabnya.
Bagaimanapun, Rafflesia adalah nama latin pemberian orang Eropa untuk tumbuhan ini, dan layaknya tumbuhan lainnya, saya yakin, bunga ini pasti punya nama lokal. Banyak orang mengenalnya sebagai bunga bangkai. Namun, nama itu hanya akan membuatnya rancu dengan bunga bangkai lainnya, yaitu Amorphophallus. Keduanya memiliki aroma busuk guna mengundang serangga penyerbuk.
Layaknya pohon beringin, Rafflesia juga memiliki mitos lokal. Menurut penuturan Pak Ariyanto, bunga ini memiliki roh penunggu. “Nah, si roh ini senang kalau ada orang yang melihat. Jadi, itulah kenapa kalau ada orang yang mau lihat, kami antar,” paparnya. Dirinya juga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ada pengunjung congkak yang menolak diantar karena mengaku sudah tahu lokasinya tapi akhirnya tersesat juga.
Saya tidak tahu Rafflesia jenis apa yang ada di hadapan saya. Diperlukan pengamatan yang lebih teliti pada bagian-bagiannya untuk memastikan spesiesnya. Mungkin banyak orang hanya tahu Rafflesia arnoldii dan mengira hanya itu jenis bunga ini. Tidak, terdapat beberapa jenis Rafflesia di dunia—R. arnoldii merupakan yang terbesar, tersebar di hutan hujan Asia Tenggara, mulai dari perbatasan Myanmar dan Thailand, Indonesia, Malaysia, serta Filipina. Di Indonesia, persebaran bunga ini tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa dan Kalimantan. Dari 25 jenis Rafflesia di dunia, 12 di antaranya ada di Indonesia. Rimba Sumatera menyimpan 10 spesies tumbuhan parasit ini.
Rafflesia adalah holoparasit, artinya, parasit seutuhnya. Tumbuhan ini telah kehilangan kemampuan berfotosintesis dalam perjalanan evolusinya. Alih-alih, Rafflesia lebih suka mengisap langsung nutrisi siap pakai dari inang yang ditumpanginya, layaknya benalu. Tumbuhan inangnya pun spesifik. Saat saya tanya Pak Ariyanto tentang batang tumbuhan ini, dengan polosnya dia menunjuk sulur-sulur kayu di bawah bunga. “Itu akarnya,” katanya. Akar yang dimaksud itu sebenarnya adalah tumbuhan lain yang menjadi inang Rafflesia, yaitu Tetrastigma, liana—tumbuhan kayu menjalar—dari keluarga anggur (Vitaceae). Biji-biji kecil Rafflesia masuk ke dalam batang tumbuhan inang, tumbuh di dalamnya layaknya hantu yang merasuki tubuh, menancapkan haustorium—sejenis akar pada tumbuhan parasit—dan mengisap nutrisi dari dalam. Suatu simbiosis parasitisme.
Begitulah Rafflesia hidup. Jutaan tahun evolusi telah membentuk mekanisme yang demikian aneh namun adaptif. Meskipun demikian, interaksi semacam ini membuatnya sangat bergantung pada keberadaan inang. Hal itu membuat hilangnya habitat Tetrastigma juga berarti musnahnya Rafflesia. Parahnya lagi, Tetrastigma—meski bukan parasit—adalah tumbuhan menjalar yang juga butuh inang—yaitu pohon lain—untuk dipanjat. Dalam sebuah ekosistem, interaksi antarmakhluk hidup tak pernah berdiri sendiri, melainkan berhubungan dan kompleks. Demikian eksistensi bunga raksasa ini sangat rentan akan kepunahan.
Interaksi spesifik semacam ini juga menyulitkan upaya budidaya Rafflesia di luar habitatnya. Sofi Mursidawati, ahli botani Kebun Raya Bogor, mengakui bahwa menumbuhkan Rafflesia di luar habitatnya bukan hal mudah, sebab preferensi yang berbeda antara tumbuhan parasit dan inangnya. Dengan tingkat kematian kuncup yang tinggi, dirinya hanya bisa menumbuhkan 16 individu sepanjang sepuluh tahun terakhir. Secercah harapan untuk upaya konservasi Rafflesia. Namun, bukan hanya itu faktor yang mengancam kelestarian sang bunga raksasa dari muka bumi.
Rafflesia adalah tumbuhan berumah dua, artinya alat reproduksi jantan dan betinanya terletak pada bunga yang berbeda. Sederhananya, ada bunga jantan dan betina. Sebuah bentukan jutaan tahun evolusi yang ironisnya kini justru mempersulit perkembangbiakannya. Jika dalam suatu populasi hanya terdapat bunga betina—atau sebaliknya—maka penyerbukan akan sulit terjadi. Terlebih jika bunga-bunga itu tidak mekar serentak atau malah gagal mekar.
Lebih dari itu semua, ancaman yang lebih nyata bagi Rafflesia—juga flora dan fauna lainnya—tidak lain adalah deforestasi dan alih fungsi lahan. Bagi saya, bentang alam Sumatera indah sekaligus menyedihkan secara bersamaan. Sistem pertanian monokultur mengancam ekosistem hutan hujan tropis Sumatera. Pastinya, kini lebih banyak kelapa sawit di Sumatera ketimbang Rafflesia yang tersisa. Lucu sekali jika kelak spesies ini punah dan hanya bisa kita lihat dalam bentuk karakter Pokemon Vileplume—Ruffresia, nama aslinya di Jepang.
Ada baiknya kita ingat kembali bahwa kepunahan bersifat selamanya—setidaknya sebelum para ilmuwan berhasil membangkitkan kembali spesies-spesies yang telah punah. Seperti yang dituliskan Elizabeth Kolbert dalam bukunya yang berjudul Kepunahan Keenam, bumi kini kembali memasuki masa kepunahan massal setelah sekian juta tahun, di mana biodiversitas di bumi menurun drastis. Semoga manusia menyadarinya sebelum bencana mengerikan itu menyapu bentuk-bentuk kehidupan di bumi.
Pak Ariyanto juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah akan ikon Bengkulu itu. “Kami juga tidak diberi fasilitas oleh pemerintah untuk mengembangkan ekowisata ini. Ya kami upayakan sendiri,” katanya. Mereka bahkan hanya menggunakan karung bekas untuk membuat spanduk pengumuman bagi para pelintas. Sebenarnya, yang perlu dilakukan pemerintah sederhana saja, yakni mencegah deforestasi secara masif oleh para pemilik modal.
Saya pikir, warga bisa mengembangkan metode ekowisata secara mandiri. Menjaga ketersediaan hutan berarti melindungi keberadaan penghuninya. Lagipula, budidaya kelapa sawit—juga industri kertas dan tambang—besar-besaran sudah cukup membuat tubuh Sumatera compang-camping dan membuatnya monoton. Luas kebun kelapa sawit, boleh jadi malah lebih luas ketimbang hutan yang tersisa di Sumatera kini. Hutan Sumatera termasuk dalam sebelas wilayah di dunia yang berkontribusi terhadap lebih dari 80% deforestasi secara global hingga 2030.
Terdengar teriakan dari kejauhan. Tampaknya, rekan Pak Ariyanto memberi isyarat bahwa ada pengunjung lain yang hendak turun menengok bunga. Sepasang muda-mudi dari Kota Bengkulu datang dan berswafoto dengan bunga bangkai yang teronggok. Sesekali terdengar suara cekikikan mereka. Saya menyingkir, memberi ruang lebih untuk mereka lalu melihat sekeliling. Lolongan siamang makin nyaring, daun-daun berderai dipukul angin. Aroma dedaunan dan lembap rimba mengisi setiap ruang. Sesekali, serangga-serangga aneh merayap di lantai hutan. Saya hirup dalam-dalam udara sebelum berpisah dengan Tanah Rafflesia.
***
Daftar Bacaan
BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com
Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2
Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com
Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.orgSusatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.