“… here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the dimensions of this flower, so much does it exceed every flower I have ever seen or heard of… now for the dimensions which are the most astonishing part of the flower. It measures a full yard across…” (Dr. Joseph Arnold)
Hari itu hati saya patah. Pasalnya, saat melintasi jalan raya Liku Sembilan lepas Kepahiang menuju Taba Penanjung, tak ada satu pun tulisan Rafflesia mekar dibentang warga. Barangkali, sakit hatinya lebih dari ditinggal kekasih. Suasana makin sendu dengan hujan yang nyaris seharian. Bagi kalian, mungkin terdengar berlebihan, tapi bagi saya, melihat bunga langka itu menjadi salah satu misi suci saya berkunjung ke Bengkulu.
Di tempat ini, bunga raksasa itu bukan sekadar flora langka dan dilindungi. Seperti totem suku-suku primitif, simbol-simbolnya bertebaran di mana-mana. Rafflesia menjadi nama perguruan tinggi, rumah sakit, bus, hingga warung makan. Rasanya menyedihkan jika saya hanya bisa melihat replikanya yang terbuat dari semen di pinggir jalan raya.
Hati saya semakin panas saat seorang teman menunjukkan foto Rafflesia tengah mekar yang ia tengok beberapa waktu lalu. Ah, tak bisa seperti ini. Saya sudah menempuh jarak Madura–Bengkulu dengan bus nyaris tiga hari perjalanan, rasanya akan sangat sia-sia perjalanan panjang ini. Bagaimanapun, dalam kunjungan singkat ke tanah Sumatra ini, saya harus melihat bunga agung itu, spesies yang pernah diperebutkan para penjelajah.
Rafflesia dalam Sejarah
Jika membaca kembali buku IPS atau Biologi, tumbuhan yang dikenal sebagai bunga bangkai ini bernama latin Rafflesia arnoldii. Fakta yang lebih umum dikenal orang yaitu bunga ini pertama kali ditemukan oleh dua orang Inggris, Thomas Stamford Raffless dan Joseph Arnold, di belantara Sumatera, tepatnya di Bengkulu pada 1818 silam.
Di sebuah sudut rimba, seorang buruh Melayu melihat suatu tumbuhan aneh yang berwujud bunga belaka. Temuan itu dilaporkannya kepada Joseph Arnold, seorang dokter dan penjelajah Inggris yang saat itu sedang melakukan ekspedisi di Sumatera. Penasaran, tim ekspedisi itu pun melibas hutan selama dua hari perjalanan, menyusuri Sungai Manna untuk melihat tumbuhan itu di suatu daerah bernama Pulo Lebbar. Saat melihatnya, Arnold terkejut dengan ukurannya yang tak biasa, begitu besar dan menakjubkan—seperti kelak ia ceritakan dalam suratnya.
Busuk tapi indah. Barangkali dia tak terlalu peduli dengan bau bangkai yang menyeruak dari rongga bunga itu, meskipun lalat-lalat berdengung di sekitarnya. Bunga itu seperti hantu, tanpa daun maupun batang, hanya bunga yang mekar pada akar-akar menjalar. Mata sang dokter pasti terbelalak dan berbinar secara bersamaan, yakin bahwa dirinya telah menemukan misteri alam yang belum diketahui siapa pun. Dia yakin, dirinyalah sang penemu spesies adiluhung nan ajaib itu. Saat dipublikasikan nanti, mata dunia akan tertuju padanya. Akan tetapi, di sisi lain kepulauan Hindia Timur, seseorang telah melihatnya lebih dulu.
Pada 1797, dua dekade sebelum Arnold terkesima dengan temuannya di Bengkulu, seorang penjelajah berkebangsaan Prancis, Louis Auguste Deschamps melakukan ekspedisi ke Pulau Nusakambangan. Di sana, Deschamps bertemu dengan bunga sejenis, tapi lebih kecil. Boleh jadi, Deschamps sama takjubnya dengan Arnold saat berhadapan langsung dengan bunga tersebut. Matanya memicing, abai dengan bau busuk yang menyeruak. Sang penjelajah mencatat dan mengumpulkan spesimen koleksinya selama masa ekspedisi.
Setahun kemudian, Deschamps pulang ke negerinya. Akan tetapi, saat memasuki perairan Inggris, kapalnya dicegat. Pihak Inggris yang saat itu tengah berperang melawan Prancis merampas semua catatan dan koleksi Deschamps, termasuk bunga tersebut. Setelah melihat temuan dan catatan Deschamps, para botanis Inggris sadar bahwa penjelajah Prancis itu telah menemukan keajaiban alam, sebuah mukjizat evolusi yang barangkali, lebih pantas menjadi temuan Inggris alih-alih negeri lainnya. Nahas bagi orang Prancis itu, semua koleksinya berakhir di tangan Inggris dan tersimpan di museum.
Nasib baik seolah berpihak pada Inggris. Meskipun Arnold akhirnya meninggal karena malaria tak lama usai penemuannya yang fenomenal itu, Inggris toh tetap beruntung. Tugas Arnold di Sumatera diambil alih oleh William Jack, yang juga seorang dokter dan penjelajah. Dengan segera, ia menyelesaikan draf deskripsi temuan pendahulunya itu. Dia sadar bahwa tulisannya akan mengukir sejarah dunia, di mana negerinyalah yang akan menjadi sang penemu. Dirinya tahu, meskipun Deschamps telah kehilangan semua catatannya, orang Prancis itu bisa saja mengungkapnya terlebih dahulu kepada dunia. Apalagi beredar rumor bahwa Prancis akan segera menerbitkan temuan Deschamps. Di masa lalu, di mana waktu berjalan lebih pelan, suatu kompetisi ilmiah tengah berlangsung.
Perlombaan usai pada 1820 ketika Robert Brown—seorang botanis Skotlandia terkemuka—mengumumkan nama spesies tumbuhan itu. Bunga raksasa yang dicatat Arnold di pedalaman Bengkulu akhirnya diberi nama Rafflesia arnoldii, diambil dari nama Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris di Bengkulu dan Joseph Arnold. Empat tahun kemudian, spesies yang ditemukan Deschamps di belantara Nusakambangan juga terbit dengan nama Rafflesia patma. Orang Prancis itu kalah juga dan harus tunduk pada nama Raffles. Sudah pasti sang gubernur senang namanya disematkan pada suatu genus tumbuhan—meskipun saya ragu dia pernah melihatnya langsung di rimba Sumatera dan hanya menumpang nama. Inggris telah memenangkan ajang ilmiah yang politis ini, mengukuhkan negeri itu sebagai pelopor di bidang sains.
Kembali Mencari Rafflesia
Hari pertama di tahun 2023 adalah kesempatan terakhir saya untuk menengok Rafflesia. Esok saya harus pulang dan itu artinya jika hari ini gagal, saya tak tahu lagi bagaimana harus menggambarkan perasaan saya.
Setelah ngirup—makan pempek dengan cuko, kebiasaan baru saya selama di Bengkulu—saya meminjam motor teman untuk berkeliling. Honda Scoopy itu membawa saya melesat melintasi jalan raya Curup yang tak terlalu ramai. Hawa dingin bisa saya rasakan dari balik jaket. Sejuk namun tak menusuk.
Sebelum berangkat, saya mencari informasi tentang keberadaan bunga itu. Saya ikuti beberapa akun instagram Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) di Bengkulu. Komunitas ini bergiat di bidang pelestarian sekaligus penggerak ekowisata Rafflesia dan Amorphophallus. Mereka rajin mengunggah foto dan informasi seputar bunga yang mekar di daerah masing-masing. Saran saya, bagi kalian yang ingin menyaksikan bunga raksasa itu, coba hubungi mereka terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berangkat.
Satu per satu saya kirimi pesan, siapa tahu mereka bisa memberi saya petunjuk. Akan tetapi, sepertinya keberuntungan masih jauh dari saya. Balasan mereka sebatas, ”Maaf, untuk saat ini belum ada yang mekar,” atau “Ado, Bang, tapi takutnyo sudah busuk.” Sayang sekali, sungguh menyedihkan. Namun, saya tetap berterima kasih kepada mereka dan mendukung upaya luhur mereka.
Jalanan berubah sepi. Hiruk pikuk kendaraan hilang, kebun di kanan kiri kian panjang. Saya memasuki wilayah bernama Tebing Penyamun. Terbit was-was di kepala kalau-kalau di tengah jalan saya dibegal penyamun sungguhan. Jalanan menjadi semakin asing. Benar saja, saya kesasar. Jika seharusnya saya menuju Bengkulu Tengah, kini saya malah berada di jalur menuju Pagar Alam. Setelah menanyakan arah pada warga sekitar—yang bahasanya tidak terlalu saya pahami—saya memutar arah, kembali ke Kepahiang.
Setelah berbalik arah sekitar 18 kilometer, akhirnya saya kembali ke jalur yang benar. Jalanan mulai berliku dengan hutan di sisi kanan dan kirinya. Saya memasang mata, lebih awas dari biasanya. Ini hari terakhir, tak boleh gagal. Benar saja, siang itu mata saya melihat sesuatu. Sebuah karung bekas bertuliskan Rafflesia Mekar terbentang. Saya tak bisa menggambarkan perasaan saya kala itu. Barangkali seperti peziarah yang tiba di tujuan. Semacam perasaan rindu yang tak terjelaskan, layaknya rindu orang beriman kepada sang nabi.
***
Daftar Bacaan
BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com
Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2
Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com
Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.org
Susatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.
1 comment
yang ditunggu tunggu akhirnya terbit, ditunggu chapter 2 nya kak