Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas rapat kepanitiaan sampai tengah malam. Kami menikmati Coto Pintu Dua yang menyediakan semangkuk kecil coto, ketupat gratis, dan bebas tambah kuah. Kami cukup membayar sekitar Rp15.000 untuk sebuah mangkuk daging rebus berempah, tempat yang hangat, dan cerita yang hidup di tengah malam.
Saya juga menikmati rasa coto kuah putih. Di Makassar, kita dengan mudah mendapatkan aneka variasi bumbu coto, seperti kuah putih yang gurih dari kacang tanah, coto dengan kuah yang pekat, atau juga coto dengan cita rasa manisnya yang khas. Di kota ini, coto menghidupi seluruh kalangan. Kita masih dengan mudah menikmati semangkuk Coto Daeng Sutte seharga Rp8.000, sampai coto dengan Rp30.000-an per mangkuknya.
Fakta-fakta Unik tentang Coto
Begitu mendarah dagingnya makanan ini di keseharian orang Makassar, konon coto dipercaya telah hidup sejak zaman Kerajaan Bantaeng. Semuanya berawal ketika seorang juru masak bernama Toak memanfaatkan jeroan kerbau yang kala itu jarang sekali digunakan sebagai bahan masak hidangan kerajaan. Jeroan-jeroan tersebut kemudian ia ramu dengan berbagai rempah lokal dan sambal tauco dari pedagang Tiongkok di masa itu. Kini, coto tak hanya berisi jeroan, tetapi juga daging. Meskipun begitu, orang-orang banyak menyukai coto dari isian jeroannya. Saya pun selalu memesan coto dengan paru kering ataupun daging sekali waktu.
Dua tahun lalu, saya sempat terlibat dalam penyusunan buku Ensiklopedia Pangan Olahan SulSelBar. Salah satu makanan yang tidak terlewat adalah coto khas daerah Makassar. Tidak seperti tanah Jawa, sayangnya kuliner yang begitu beragam dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih sangat jarang dituliskan. Bahkan sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kota Palopo, saya kesulitan mencari rujukan literasi, bahkan di perpustakaan kota sekalipun. Kebanyakan pengetahuan tentang kuliner lokal baru diwariskan secara lisan, turun temurun—yang entah kapan akan hilang tak bersisa, jika tidak dijaga dan dituliskan.
Dari ensiklopedia ini, saya mengetahui beberapa fakta unik tentang coto, seperti fakta kecil, bahwa makanan ini awalnya diperuntukkan bagi warga miskin di sekitar istana. Mengingat bahan utama pembuatan makanan ini berupa aneka jeroan, salah satu bagian tubuh kerbau yang tidak dilirik sebagai bahan hidangan kerajaan.
Semangkuk Coto Abah
Beberapa hari lalu, selepas menyelesaikan pekerjaan lapangan di daerah Antang, saya hendak pulang ke rumah saat siang. Di jalan, saya melihat papan besar dengan aksen warna merah dan tulisan “Coto Abah”, salah satu merek coto dengan cabang yang cukup masif di Makassar.
Baru sekitar 50 meteran, aroma coto yang kaya rempah dan jam makan siang membuat saya bergegas memarkirkan motor dan masuk ke warung sederhana ini. Di dalam, sebuah menu cukup besar dipajang tepat di dinding belakang kasir. Seporsi coto sedang dibanderol Rp12.000, sedangkan untuk mangkuk besar Rp18.000.
“Bu, pesan satu coto mangko’ besarta’, isinya paru to’ ,” pinta saya. To’ merupakan istilah makassar pengganti “saja” atau “hanya”.
“Oh, iya,” tanggapnya singkat, lalu menuju dapur yang terletak di depan toko.
Saya pun beranjak, mencari kursi kosong di antara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka. Saya menemukan satu kursi kosong di antara deretan meja panjang. Hal lain yang kusuka dari warung makan sederhana ini adalah kita berkesempatan duduk bersama orang asing. Sembari sesekali membantu satu sama lain—mengoper tisu, memberi sambal, atau kecap manis. Seperti hari ini, saya duduk semeja dengan sepasang orang tua dan tiga anaknya yang masih kecil. Mungkin berusia sekitar 6–12 tahun.
Kelebihan lain dari warung coto adalah penyajiannya yang cepat. Tidak sampai lima menit, semangkuk coto dengan paru kering yang menggiurkan sudah tersaji di depanku. Langkah pertama adalah mencicipi kuahnya. Coto Abah kebetulan menggunakan kuah putih seperti Coto Fly Over dan Coto Abdesir. Biasanya, warna putih dari kuah coto ini berasal dari perpaduan air beras dan santan. Beberapa resep mengganti santan dengan susu.
Secara pribadi, saya begitu menikmati coto dengan isian paru. Beberapa warung coto memiliki teknik pengolahan parunya sendiri. Ada yang merebus basah, ada pula yang menggoreng paru mereka sampai kering dan “kriuk”. Saya lebih menyukai paru kering seperti cara pengolahan di warung Coto Abah ini. Parunya terlihat mengambang di air coto putih yang tampak kental, begitu menggugah selera.
Sama seperti di setiap warung coto kota ini, warung Coto Abah juga menyediakan sambal tumis, kecap manis, semangkuk penuh irisan jeruk nipis, dan ketupat yang tertata rapi di piring-piring rotan. Lidah orang Makassar sangat akrab dengan jeruk nipis. Segala jenis makanan terasa kurang lezat tanpa kehadiran rasa kecut dari jeruk nipis. Kami senang dengan kehadiran jeruk nipis di soto, coto, sate, sup konro, sop saudara, bahkan nasi goreng.
Bertahun-tahun tinggal di kota ini, saya sudah terbiasa dengan jeruk nipis di aneka makanan. Bahkan saya juga kerap menawarkan warung coto legendaris kepada teman-teman dari luar Makassar ketika mereka datang berkunjung. Bagi orang-orang yang tinggal di kota ini, coto bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas yang hadir di setiap momen keseharian. Coto selalu membangkitkan kerinduan ketika berada jauh dari Makassar, menjadi yang selalu dicari dalam perantauan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.