Lebih dari seperempat abad silam, seorang kenalan yang asli Sunda mengundang saya dan beberapa teman lain untuk mengikuti botram. Saya belum paham sepenuhnya mengenai botram. Walaupun demikian, dengan senang hati saya penuhi ajakannya. Saya menyempatkan datang ke tempat tinggalnya yang berjarak sekitar 97 kilometer dari Kota Bandung.

Setibanya di rumah kenalan tersebut, kami sejenak beramah-tamah dengan tuan rumah. Si empunya rumah lantas menyiapkan dua helai panjang daun pisang yang ia ambil dari halaman kediamannya. Usai membersihkan, lalu menaruh lembaran daun pisang itu di atas lantai. Sejurus kemudian mereka menuangkan beberapa porsi nasi liwet hangat di atasnya, menyusul lauk pauk, sambal, berikut lalapan. Barulah ketika tuan rumah mempersilakan untuk makan bareng-bareng, saya mulai paham makna botram tersebut.

Itulah momen pertama kali saya mengenal istilah botram. Sebuah tradisi masyarakat Sunda berupa acara makan bersama beralaskan daun pisang.

Di awal mengikuti botram, ada sedikit perasaan aneh dan kikuk karena mesti makan bareng-bareng beralas daun pisang yang sama. Lebih-lebih harus menggunakan tangan—sejak kecil saya terbiasa makan menggunakan sendok. Namun, seiring waktu setelah beberapa kali mengikuti kegiatan serupa lainnya, saya jadi terbiasa dan dapat menikmati botram.

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Tanaman leunca yang biasa digunakan sebagai lalap dalam menu botram/Djoko Subinarto

Semangat Gotong-Royong dalam Botram

Acara botram bukan hanya menjadi ajang memelihara kebersamaan, tetapi juga untuk memupuk semangat gotong-royong dalam skala kecil. Ketika sedang menyiapkan acara untuk botram, masing-masing partisipan mungkin saja memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Misalnya, ada yang membuat liwet, menyiapkan sambal dan lalapan, berbelanja bahan masakan atau hanya menyediakan tempat botram.

Tidak ada menu yang benar-benar baku sebagai suguhan untuk botram. Termasuk soal sambal dan lalapan, walau sebenarnya nyaris selalu tersedia dalam setiap botram. Saat pertama kali saya mengikuti botram karena undangan kawan saya, sajian menunya berupa nasi liwet yang dimasak di atas hawu (tungku masak). Kemudian tambahan sambal hejo dengan lalap rebusan daun singkong dan labu siam muda, serta tahu dan tempe goreng. Sebuah paket menu yang cukup sederhana.

Di kesempatan botram berikutnya yang saya ikuti, nasi yang disajikan non-liwet dengan sambal tomat dengan lalapan daun kemangi, daun pohpohan mentah, teri dan udang goreng. Komposisi sedikit berbeda saya temui di botram lainnya, yaitu nasi liwet, sambal terasi dengan lalap rebusan kangkung, petai bakar, jengkol muda mentah, leunca mentah, tempe goreng, ikan asin goreng, ikan bakar, dan kerupuk.

Di kawasan perdesaan Tatar Sunda, botram bisa berlangsung di teras rumah. Menghadap kebun, kolam, atau sawah. Bisa juga menyelenggarakannya di saung tengah kolam atau salah satu sudut kebun. Tanpa harus menunggu komando, setiap peserta sering berinisiatif membawa menu dari rumah masing-masing untuk kemudian saling berbagi pada saat botram. 

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Contoh tradisi botram ramai-ramai dengan keluarga di tengah kebun/Djoko Subinarto

Pesan Ramah Lingkungan dari Alas Botram

Terlepas dari pilihan menu serta lokasi penyelenggaraan botram, yang menurut saya paling khas dalam acara ini adalah lembaran daun pisang sebagai alas tempat makan bareng. Maka, saban kali mendengar kata botram, yang langsung terlintas di benak saya adalah bentangan daun pisang dengan sejumlah porsi nasi hangat, sambal, lalap, dan lauk-pauk di atasnya.

Meskipun bisa saja lembaran daun pisang tersebut kita ganti dengan media lainnya sebagai alas. Namun, toh nilai estetika dan kesehatannya boleh jadi tak mungkin bisa tergantikan. Berkaitan dengan kesehatan, saya mengetahui belakangan bahwa makan dengan alas daun pisang ternyata lebih menyehatkan.

Sejumlah literatur menyebut daun pisang mengandung antioksidan organik, karena kandungan polifenolnya yang tinggi. Polifenol dalam daun pisang dilepaskan dan ditransmisikan ke dalam makanan, tatkala makanan panas diletakkan di atasnya. Polifenol tersebut diyakini mampu mencegah berbagai gangguan yang berhubungan dengan sejumlah penyakit. Selain itu juga memiliki sifat antibakteri yang dapat membantu pencernaan dan menghilangkan kuman dalam makanan.

Penggunaan daun pisang juga sangat ramah lingkungan. Begitu selesai terpakai sebagai alas makan, daun pisang tidak bakal mencemari lingkungan karena cepat terurai dalam tanah. Alih-alih menjadi pencemar, ia malah menjadi pupuk alami bahkan bisa menjadi pakan hewan ternak. Tentu ini jauh lebih baik ketimbang harus membungkus nasi atau menggunakan alas dari bahan kertas maupun plastik. 

Semangat Kebersamaan dan Ramah Lingkungan dalam Tradisi Botram
Semangat kebersamaan dalam tradisi botram yang menyehatkan dan lebih ramah lingkungan/Djoko Subinarto

Paket Kuliner Botram di Restoran Sunda

Dewasa ini, botram telah menjadi salah satu paket kuliner andalan untuk menarik pelanggan. Sejumlah restoran Sunda telah menerapkannya. 

Paket kuliner tersebut cocok untuk siapa pun. Terutama bagi yang merindukan suasana kebersamaan dalam botram. Atau, mereka yang belum pernah merasakan botram dan ingin mencicipi menu-menu yang tersaji di dalamnya.

Maka para penikmat kuliner tak perlu repot-repot. Hanya mengeluarkan beberapa ratus ribu rupiah, kita dapat memesan paket botram yang tersedia di beberapa restoran khas Sunda. Cukup buat janji dengan teman dekat, datang ke rumah makan, buat pesanan, dan tinggal duduk manis menunggu. Tak lama, paket menu botram pun siap tersaji untuk kita santap dan nikmati bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar