Pagi hari, 16 Mei 1975. Kala itu Junko Tabei sudah beranjak dari South Col. Puncak Everest sudah semakin dekat. Kurang dari dua minggu sebelumnya, longsoran salju (avalanche) memorak-porandakan kamp Tabei di ketinggian 6.400 mdpl. Kengerian tentu masih tersisa. Dari lima belas pendaki Jepang yang berangkat dalam ekspedisi khusus perempuan itu, hanya Tabei yang pagi itu mencoba ke puncak, ditemani oleh seorang sirdar (pemimpin Sherpa) bernama Ang Tshering Sherpa.
Di hadapannya sekarang adalah sebuah punggungan terjal, batas alami antara Nepal dan China, dan di ujung sana adalah Hillary Step yang legendaris. Untuk melewatinya, Tabei mesti melipir lewat pijakan tipis setajam pisau—berlipat-lipat lebih berat ketimbang jalur traversing sebelum Puncak Merbabu via Wekas. Pilihan hanya dua: lanjut atau turun.
Tapi Tabei tak mungkin turun. Ekspedisi ini lebih dari sekadar persoalan menginjakkan kaki di puncak: ini adalah pembuktian. “Dulu sekitar (tahun) 1970-an di Jepang, merupakan sebuah anggapan umum bahwa kaum prialah yang bekerja di luar dan para perempuan tinggal di rumah,” ungkap Junko Tabei dalam wawancara dengan The Japan Times.
Ekspedisi khusus perempuan itu sendiri minus dukungan. Sponsor utama mereka hanya dua perusahaan media di Jepang. “Kami disarankan (bahwa) semestinya kami (sekadar) membesarkan anak-anak saja,” kenang Tabei dilansir dari artikel Tomoko Otake di The Japan Times.
Setelah beristirahat sebentar, Junko Tabei bersama Ang Tshering melanjutkan pendakian. Dengan penuh determinasi, Tabei melewati jalur hidup-mati itu. Ia genggam erat-erat punggungan itu. Kakinya yang beralaskan crampon tak henti-henti mencari pijakan aman di salju. Ia berhasil. Selebihnya adalah sejarah.
“Hal yang berharga dari momen itu adalah, selain dari menjadi perempuan pertama (yang berdiri) di sana, puncak (Gunung) Everest indah bukan main, tanpa sebuah benda buatan manusia pun yang tampak dalam pandangan,” kenang Tabei sebagaimana ditulis oleh Tim Hornyak untuk The Japan Times.
Saat kecil rapuh, ketika dewasa membuat sejarah
Junko Tabei lahir di Miharu, Prefektur Fukushima, 22 September 1939. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Tim Hornyak menulis bahwa, secara fisik, Junko Tabei bukan seorang anak yang kuat. Ia tidak olahraga. Bahkan, beberapa kali ia juga terkena pneumonia.
Tapi, di kelas empat sekolah dasar, saat berumur 10 tahun, ia turut serta mendaki Gunung Nasu dan Gunung Asahi di Gugusan Pegunungan Nasu, Prefektur Tochigi, bersama seorang guru dan teman-teman sekelasnya. “(Pengalaman itu) sangat berkesan dan aku ingin terus (melakukannya). Itulah awal mula (pendakian gunung) bagiku dan aku masih bisa merasakan (sensasinya),” kenang Tabei.
Aktivitas pendakian Junko Tabei jadi semakin intens ketika ia kuliah. Ia bergabung dengan kelompok pencinta alam di Showa Woman’s University. Lulus kuliah ia belajar teknik pendakian musim dingin (winter mountaineering). Lalu, menyadari bahwa saat itu klub-klub pendakian di Jepang masih terbatas untuk laki-laki, tahun 1969 ia mendirikan Ladies Climbing Club (LCC), klub pendakian khusus perempuan pertama di Jepang, yang slogannya “Let’s go on an overseas expedition by ourselves.”
Setahun setelah klub ini terbentuk, Junko Tabei mencatatkan diri sebagai perempuan pertama yang menginjakkan kaki di titik tertinggi Annapurna III.
“Karir” pendakian Tabei jelas tak berhenti di Annapurna III. Puncak Everest ia daki tahun 1975. Puncak Uhuru Kilimanjaro ia tapaki tahun 1980. Ia ke Aconcagua tahun 1988, terus ke Elbrus setahun kemudian (1989). Musim 1990-1991 giliran Vinson Massif di Antartika yang ia datangi. Setahun kemudian, saat mencapai Puncak Jaya tanggal 28 Juni 1992, perempuan Jepang itu mengaveling tempat dalam sejarah sebagai perempuan pertama yang berhasil menginjakkan kaki di tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (the Seven Summits).
Pencapaian itu, tulis Amanda Padoan dalam sebuah artikel Outside, “… hanya berselang sembilan tahun setelah (ide the Seven Summits) pertama kali digagas oleh Dick Bass.”
Warisan Junko Tabei
Sebagai pendaki yang sudah ke mana-mana—the Seven Summits dan sekitar tujuh puluh puncak di tujuh puluhan negara—Junko Tabei tentu sudah melihat banyak; ia menyadari bahwa aktivitas pendakian gunung berdampak pada lingkungan.
Bulan Oktober 1990 ia mendirikan Himalayan Adventure Trust Japan (HAT-J). Gerakannya, sebagaimana Himalayan Adventure Trust yang digagas Sir Edmund Hillary, adalah mempromosikan konservasi lingkungan pegunungan. Anggotanya sudah lebih dari 1.400 orang.
Kegiatan HAT-J bermacam-macam, dari mulai memungut sampah, trekking di dalam/luar Jepang, menanam pohon-pohon apel untuk menambah pemasukan masyarakat Himalaya, pembangunan dan pengelolaan pembakaran sampah di Lukla, Lembah Khumbu, sampai mengadakan program pertukaran pemuda tahunan bertema konservasi lingkungan pegunungan, “Cross-Cultural Mountain Conservation Youth Project.”
“Sibuk” mendaki gunung, Tabei tak melupakan pendidikan. Tahun 2000 ia meraih gelar master dari Kyushu University. Penelitiannya tak jauh-jauh dari tema pendakian, yakni persoalan sampah di Everest. “Salah satu risetnya adalah menghitung jumlah sampah yang terakumulasi sejak ekspedisi pendakian perdana Everest tahun 1923,” tulis Tomoko Otake, dikutip dari The Japan Times.
Melihat sepak terjangnya, barangkali kita akan sepakat bahwa, ketika ia meninggal 20 Oktober 2016 dalam usia 77 tahun karena kanker, Junko Tabei sudah menjalani hidup yang penuh. Menyitir Tomoko Otake, “Tabei menunjukkan pada sebuah generasi perempuan bagaimana (cara) memakai crampon dan mendaki melampaui segala keterbatasan.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.