Travelog

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga

Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti wisuda, kondangan, dan konser-konser di sekitar daerah Tanjung Bunga. 

Tidak hanya orang dewasa yang sibuk dengan berangkat ke kantor sejak pagi dan baru pulang saat petang. Anak-anak pun tidak kalah sibuk. Setelah seharian sekolah, mereka terkadang harus melanjutkan dengan les tambahan atau mengaji saat sore. Kesibukan-kesibukan di kota terkadang membuat kita berpikir bahwa menikmati keindahan berarti selalu pergi jauh dari rutinitas.

Untuk saya, menikmati keindahan tidak harus jauh. Saya selalu punya satu tempat yang cukup dekat dari rumah. Namanya “Kebun Tetangga”. Sebuah kebun urban yang di dalamnya saya bisa melakukan aktivitas seharian menjadi pekebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga

Sekilas tentang Kebun Tetangga

TelusuRI menjadi benang merah pertemuan saya dengan Kak Syukron, sosok di balik Kebun Tetangga. Sekitar tiga tahun lalu, saat perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), saya bertemu dengan Kak Syukron. Baju warna merah dan tas punggungnya tampak tidak asing, sebab mirip sekali dengan foto profil WhatsApp-nya waktu itu. Saya beranikan diri untuk menegur, dan percakapan kami berlangsung cukup menyenangkan.

Saat itu Kak Syukron bersama Bilal, anak sulungnya. Sebelum pulang, ia mengajak untuk mengunjungi Kebun Tetangga yang katanya sebentar lagi akan panen kombucha. Semenjak ajakan tersebut, Kebun Tetangga menjadi salah satu tempat rutin yang saya kunjungi sampai sekarang.

Saya cukup beruntung diterima dengan baik di sini. Menyaksikan bagaimana kebun bertumbuh, orang-orang semakin banyak, ladang-ladang yang digarap kian luas, dan tumbuhan yang ditanam tambah beragam. 

Sehari di Kebun Tetangga

Seorang teman sekaligus pekebun di Kebun Tetangga menginisiasi gerakan #RabuMie, atau makan mi tiap hari Rabu. Setelah percakapan singkat via teks, kami sepakat untuk bertemu di kebun pagi hari, bekerja di sana, lalu menikmati #RabuMie sebagai penutup hari.

Saya berangkat dari rumah di daerah Batua sekitar pukul 07.00 WITA. Setelah mengendarai motor selama setengah jam, saya tiba di area Kebun Tetangga, Samata, perbatasan antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Begitu tiba, orang-orang sudah sibuk berkebun. Dua orang tukang tampak sibuk memaku papan-papan kayu ke dinding bangunan kecil yang sementara terbangun di bagian agak luar dari kebun. Lalu di rumah kedua, saya mendapati Kak Syukron dan Erbe, teman saya, sedang mengisi pipa-pipa panjang dengan pasir. 

“Pagi, Kak!” kusapa mereka berdua sembari motor tetap melaju ke rumah utama, kediaman Kak Syukron, Kak Wulan, dan dua anak mereka. Di sini, saya menyimpan tas dan jaket, berbincang sebentar dengan Kak Wulan, lalu keluar menghampiri para pekebun yang sibuk tadi. 

“Jadi, apa bisa kukerja pagi ini?” tanya saya.

“Boleh dibantu panen bunga matahari, Naw. Tapi potong bunga matahari yang sudah hitam saja, nah!”

Setelah menerima instruksi pertama pagi itu beserta alat tempurnya—sebuah tang gunting dengan pegangan berwarna kuning—saya pun berjalan menuju ladang dengan sederet bunga matahari yang tinggi-tinggi. Bahkan banyak yang lebih tinggi dari saya. 

Tugas pertama yang tidak terlalu sulit dan cukup menyenangkan. Tidak ada hal khusus, hanya saja memastikan bunga matahari yang saya panen sudah menghitam dengan kelopak bunga yang sepenuhnya layu. Memotong batang bunga juga sebaiknya tidak terlalu panjang, secukupnya saja. 

Tidak sampai 15 menit, saya kembali dari ladang dengan seember penuh bunga matahari. Saya letakkan di meja, lalu Erbe mengambil seluruh hasil panen itu untuk ditata di atas nampan, lalu dijemur di bawah terik matahari pagi. Tampaknya masih belum ada yang memanen bunga telang pagi itu. Maka, saya menawarkan diri mengambil alih salah satu pekerjaan yang paling saya suka di kebun. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Deretan bunga matahari yang ditanam di Kebun Tetangga/Nawa Jamil

Memanen Bunga Telang

Bunga telang kering dan olahannya menjadi salah satu komoditas unggulan di kebun. Selain bunga telang yang sudah dikeringkan—cocok sekali diseduh dan dinikmati dengan perasan jeruk nipis dan madu—telang juga bisa diolah menjadi sirup telang sereh dengan wangi sereh merah. Rasa teh telang yang manis dan asam juga tak kalah enaknya. 

Seingat saya, telang telah tumbuh di kebun ini dari tahun lalu, atau bahkan lebih lama dari itu. Telang punya banyak manfaat untuk kesehatan. Tumbuhan ini merimbun dan cukup lebat, tergantung nutrisi pada tanahnya dan serangan hama. Memetiknya juga cukup menyenangkan. Bunga telang yang boleh dipetik hanya bunga yang mekar sempurna dan tidak layu. Semakin lebat, bunga ini akan memberikan semakin banyak bunga dengan waktu panen rutin tiap pagi-sore. 

Hari ini saya memetik bunga telang cukup lama sampai kedua otot lengan atas pegal. Mungkin sekitar setengah jam lebih. Untuk sekitar tiga bed tanaman telang dapat menghasilkan 2–3 nampan penuh telang yang siap dijemur. Saya menaruhnya di samping nampan bunga matahari yang telah saya petik sebelumnya. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Hasil panen bunga telang/Nawa Jamil

Aneka Makanan Enak dan Menyehatkan di Kebun

Dapur adalah ruang eksperimen Kak Wulan. Ia pandai mengolah penganan dengan memanfaatkan bakteri-bakteri baik. Termasuk membuat kombucha. Minuman probiotik itu berasal dari teh hitam dan scooby, lalu diberikan potongan buah pada fermentasi kedua, tempe dari aneka biji-bijian—tidak melulu kedelai. Selain itu juga ada tepache, sejenis minuman probiotik dari kulit nanas. 

Saya juga pernah melihat telur bebek yang diasinkan dengan metode direndam dalam toples yang cukup unik. Saat mencobanya, rasanya cukup enak seperti telur asin yang biasa saya nikmati.

Cukup sering saya menikmati aneka makanan sehat dari bahan-bahan yang cukup unik. Kak Wulan adalah salah satu koki yang sangat memerhatikan bahan makanannya. Darinya saya baru tahu, rasa khas garam bali dan garam jeneponto bisa menghasilkan masukan yang lebih lezat dibanding jika menggunakan garam kasar biasa yang kita beli di toko.

Hari itu Kak Wulan hendak memasak ayam saus kacang dan tumis sayur untuk makan siang. Saya diberi tugas membeli wortel dan bawang bombay ke warung kecil tak jauh dari kebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Menu makan siang ayam saus kacang dan sayur tumis hasil masakan Kak Wulan/Nawa Jamil

Berkebun Menjadi Menyenangkan

Usai makan siang, saya membantu Kak Wulan menyemai bibit-bibit sawi dan selada. Sawi-sawi yang tumbuh satu lubang bertiga, siang itu kami pindahkan ke masing-masing lubang. Begitu pun selada. Dengan perbandingan 1:1 antara sekam bakar dan tanah yang sudah bercampur pupuk alami, kami mengerjakannya nonstop selama dua setengah jam lebih. Saya senang melakukan pekerjaan “monoton” seperti ini, memasukkan satu kegiatan fisik di antara kegiatan sehari-hari yang membutuhkan kerja otak berat. 

Selada merupakan komoditas yang paling diminati masyarakat. Selain selada, sayur-mayur organik lain, seperti sawi, aneka sayur lalap, dan cabai juga dilirik oleh supermarket di Kota Makassar. Sayangnya, kapabilitas pekebun-pekebun organik di daerah Makassar dan sekitarnya masih belum mampu mencukupi angka permintaan yang ada. Untuk menyiasati jumlah permintaan yang ada, Kebun Tetangga menerapkan pencatatan waktu semai benih dan pemindahan bibit ke bedengan yang konstan dengan jarak seminggu. 

Saya selalu senang menghabiskan waktu di kebun ini. Melihat lebih lambat, menyaksikan bagaimana tumbuhan punya ritmenya sendiri. Saya senang dengan orang-orang di dalamnya, juga cerita-cerita yang hadir di setiap kesempatan berkunjung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Nawa Jamil

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan