Manisnya kuliner sate di daerah pesisir Kabupaten Kebumen seketika memanggil kembali memori saya akan lanskap sosial, geografis, dan artefak hidangan lezat di pesisir selatan Jawa tersebut. Meskipun sudah satu tahun belakangan belum sempat menyantapnya kembali, tetapi hingga kini lidah saya masih menyimpan ingatan saat pertama kali mencicipinya.
Jika saya memiliki kesempatan mengunjungi kembali Kebumen, sudah pasti daftar keinginan saya akan tertuju ke daerah Ambal, sebuah kecamatan di tenggara kota Kebumen. Kawasan pesisir yang dilintasi Jalan Daendels dan lekat dengan kuliner khasnya, yaitu sate ambal.
Dahulu, saya tidak sengaja berhenti di sisi jalan dekat Alun-alun Kebumen. Tatkala perut dalam keadaan begitu lapar, sate ambal jadi pilihan karena sudah terpampang jelas di depan mata. Saya juga baru tahu, ternyata Kebumen memiliki kuliner khas yang tidak kalah dengan daerah lain.
Hingga saat ini, saya masih ingat betapa manisnya makanan tersebut lengkap dengan sajian ketupat di sisi lain piring. Tak berlebihan, saya menyebutnya sangat berjasa karena menyelamatkan perut kala itu. Sebuah pengalaman yang justru membuat saya makin penasaran untuk mengulik lebih dalam tanah kelahiran sate berbahan baku daging ayam tersebut..
Berbekal informasi dari si penjual waktu itu, saya pun memutuskan untuk berkunjung ke Kecamatan Ambal, tepatnya di bagian selatan Kebumen, Jawa Tengah, keesokan harinya. Berbekal sepeda motor dan tentu upah jajan yang terbatas, saya melaju dari arah alun-alun kota.
Ketika sampai di tujuan, aroma asap daging bakar menyelimuti hidung saya sepanjang perjalanan. Aroma tersebut telah menginvasi seluruh indra penciuman saya, bahkan memori saya terhadap Ambal. Sontak benak sudah pasti tertuju pada nikmatnya aroma daging asap dan arang hangat.
Mencicipi Sate Ambal di Pasar Ambal
Daerah Ambal memang terkenal dengan satenya yang khas. Bahkan di setiap sisi jalan, berjejer restoran-restoran sate ambal. Lantaran bekal jajan saya tak seberapa, ditambah kecanggungan tatkala berkunjung ke restoran, maka saya putuskan untuk mampir ke Pasar Ambal. Sebuah tempat yang saya percaya sebagai tempat berdetaknya ritme kehidupan masyarakat sekitar.
Dari pengamatan saya, tampaknya masyarakat Ambal begitu dekat dengan ayam. Dugaan ini sejurus dengan ketika saya mendapati banyak penjual ayam tarung serta kegiatan sabung ayam yang berlangsung di sisi timur pasar. Mungkin juga, alasan mengapa banyak pula ditemukan peternakan ayam di sana.
Ketika tiba di Pasar Ambal, saya melanjutkan berjalan kaki menyusurinya hingga ke dalam. Saya yang kebingungan karena tak kunjung menemui penjual sate, lekas bertanya ke salah satu penjual tembakau di sana. Penjual tersebut lalu menunjukan bagian paling belakang pasar yang biasanya diisi oleh para pedagang sate.
Benar saja, banyak para pedagang sate ambal berkumpul di bagian paling belakang pasar. Berbekal arang dan kipas sederhana, daging bakarnya menguar, mengeluarkan aroma manis, menggoda hidung. Lantas, salah seorang pedagang mempersilakan saya duduk di sisi utara, sembari menunggu hidangan yang ia sajikan.
Waktu saya tanya harganya, penjual warung sate ayam asli Ambal M. Sriono tersebut menjawab 15 ribu rupiah untuk satu porsi. Lebih terjangkau jika dibandingkan dengan harga sate di restoran yang saya lewati tadi. Tanpa membuang waktu, saya menghabiskan sate ambal bersama es dawet yang sudah tersedia di sebelah meja makan.
Kekhasan Sate Ambal
Berbeda dengan sate madura yang kerap saya temukan di setiap daerah, sate ambal tidak menggunakan bumbu kacang dalam proses penyajiannya. Penjualnya sendiri mengatakan mereka cenderung menggunakan bumbu tempe serta gula jawa yang tampak encer. Warna dari bumbu satenya cenderung kuning kecokelatan.
Mereka juga melumuri daging ayam dengan rempah-rempah sebelum membakarnya. Bumbu tersebutlah yang akan menyatu dan meresap ke dagingnya. Bumbu sate ambal sudah menjadi ciri khas yang membedakan sate ini dengan jenis sate lainnya.
Di sepiring yang tersaji saya mendapatkan ketupat yang terpisah dengan menu utama, yakni sate. Dalam ingatan lidah saya kala itu, yang paling saya tandai adalah rasa manisnya yang membekas serta dekat dengan ekspresi kebudayaan saya sebagai orang Jawa yang doyan manis. Terlebih, daerah pesisir Kebumen ini juga diketahui telah memiliki produsen gula merahnya sendiri.
Kemudian perpaduan antara bumbu tempe dan kekhasan rempah-rempahnya, tampak beradu memicu rasa yang gurih dan lezat. Meski bumbunya cenderung encer, tetapi bumbu tersebut justru meninggalkan jejak erat sampai ke luar bibir saya. Menikmati betapa manisnya perpaduan gula merah dan kecap di dalamnya. Ketupat yang tersaji turut melengkapi obat yang melipur kekosongan perut saya pagi itu.
Tak hanya itu. Irisan tomat dan bawang yang terkandung dalam bumbunya membuat saya cukup gelisah jika mesti meninggalkan Kebumen. Rasanya saya ingin membawanya pulang ke rumah sebagai oleh-oleh. Namun, apalah daya. Sisa uang saya hanya cukup untuk membeli bensin dalam perjalanan pulang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.