Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan lokal Mollo hingga agenda makan bersama tertera di sana.
Maklum, saya memang hobi kulineran. Sayangnya setelah dicermati dengan saksama, jadwal pameran tersebut ternyata berbarengan dengan rentetan agenda yang sudah saya susun jauh-jauh hari. Alhasil saya tidak berjodoh dengan helatan menarik tersebut. Duh!
Di luar dugaan, sebulan kemudian Galeri Lorong kembali mengunggah event serupa bertajuk Em He Tah, yang berarti “Mari Kita Makan”. Acara yang dihelat pada Minggu, 27 Agustus tahun lalu itu digawangi oleh Mbak Steffi. Seorang food science enthusiast yang akun Instagramnya sudah lama saya ikuti. Menariknya, dalam poster tersebut juga disematkan cerita di balik layar terkait pameran sekaligus demo dua resep masakan.
Ceritanya setahun belakangan Mbak Steffi dipercaya untuk mendampingi beberapa guru bimbingan belajar (bimbel) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang difasilitasi oleh Sunshine Project tersebut meliputi pengarsipan tanaman pangan lokal beserta resep-resep olahannya. Beragam tulisan dan foto yang terkumpul nantinya juga akan dibukukan.
Saat artikel ini saya kirim ke Telusuri, buku yang berjudul Em He Tah tersebut sudah terbit. Kabar baiknya satu eksemplar di antaranya sudah ada di rak buku saya. Bukunya menarik sekali. Pegiat pangan lokal wajib punya!
Pameran Pangan Lokal dan Demo Memasak
Kembali ke acaranya Mbak Steffi. Selain menawarkan pameran dan acara makan-makan, event dengan tiket masuk sebesar Rp65.000 ini ternyata juga dilengkapi dengan demo meracik dabu-dabu teri dan dabu-dabu alpukat. Sebagai orang yang gemar mencatat makanan dan perjalanan, tentu saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Apalagi saya belum berjodoh di event Galeri Lorong sebelumnya.
Senang rasanya melihat event terkait pangan lokal banyak dihelat di Jogja. Tidak hanya memperluas kesempatan banyak pihak untuk mencicipi potensi pangan dari pelosok Nusantara dengan harga yang lebih terjangkau. Acara seperti ini juga dapat menjadi ajang pelestarian kekayaan pangan lokal kita. Karena hal yang tidak pernah dibicarakan, lambat laun akan hilang dari peradaban. Tidak terkecuali dengan ragam pangan lokal yang ada di sekitar kita.
Saking senangnya melihat acara makan-makan ini, saya sempat mengajak beberapa kawan yang kegemarannya seiring jalan dengan hobi saya untuk mengikuti acara ini. Sayangnya yang bisa ikut cuma satu orang saja, tetapi lumayanlah ada teman yang saya kenal untuk gabung di gelaran Em He Tah ini.
Menikmati Jagung Bose
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Sayangnya, meski berjarak 2,5 km saja dari rumah, nyatanya saya sempat wara-wiri mencari galeri yang beralamat di Jalan Nitiprayan, Dusun Jeblok RT 01 Dukuh 3, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta tersebut. Meski sudah dibantu Google Maps, saya sempat kebingungan mencari lokasi bangunan berdesain unik itu.
Terlebih lagi letak Galeri Lorong terbilang cukup menjorok dari jalan utama. Plus tempat parkirnya juga agak masuk ke halaman. Setelah dua kali kebablasan barulah saya menyadari keberadaan galeri tempat pameran Em He Tah ini dihelat. Sesampainya di lantai dua, ternyata sudah banyak peserta yang duduk sembari menikmati berbagai olahan tangan Mbak Steffi.
Setelah mengantre akhirnya seporsi jagung bose beserta “teman-temannya” sudah berada di pangkuan. Sore itu, lidah saya begitu gembira menyambut tiap sendok jagung bose yang saya nikmati bersama segarnya dabu-dabu teri. Beberapa suap berikutnya, saya selingi pula dengan menyeruput es asam timor.
Tak lupa pula saya cicipi menu lain yang tersaji di samping bubur jagung khas Timor Tengah Selatan tersebut. Ubi ungu kukus bertekstur menul-menul itu sengaja saya colekkan dulu ke sambal lu’at, sebutan untuk sambal ulek segar yang difermentasi selama beberapa hari. Baru pada suapan selanjutnya, ubi kukus yang masih hangat saya nikmati dengan sedikit dabu-dabu alpukat. Ah, sedap betul.
Mungkin ini yang dinamakan cinta pada kunyahan pertama. Meski rasanya terbilang sederhana, tetapi lidah saya mengingatnya sebagai kudapan yang istimewa. Bahan pangan yang diolah dengan bumbu minimalis ternyata mampu mengeluarkan rasa asli makanan yang nyaman di lidah. Jagung bose yang kali ini dibuat dari campuran jagung putih, jagung pulut, kacang uci, kacang tunggak, labu, dan daun kelor bisa menciptakan rasa manis alami yang ringan dan cukup menyenangkan.
“Kalau nanti bisa nyediain bahan sendiri, rasanya saya ingin mengulangi moment ini lagi,” batin saya sembari mendengarkan dengan saksama semua proses pembuatan yang tengah diceritakan Mbak Steffi.
Olahan Jagung Serupa di Bantul
Usai semua kudapan beserta segelas es asam timor tandas, saya langsung bergegas untuk bergabung sekaligus turut mengerumuni meja pameran. Saat melihat Mbak Steffi membuat dabu-dabu teri, saya sempat mencicipi teri goreng yang diletakkan di meja panjang berwarna cokelat itu. Ternyata teri dari Timor rasanya enak.
Selain terlihat bersih, rasanya dominan gurih. Bukan tipikal teri yang diasinkan dengan kadar garam tinggi. Sebagai pencinta sambal teri, lidah saya merasa cocok dengan tipikal teri timor ini. Mencicipi jagung bose mengingatkan saya pada olahan jagung serupa yang masih banyak dijual di sekitar tempat tinggal saya.
Di Bantul, jagung biasa diolah menjadi grontol. Sebutan untuk jagung pipil rebus yang dibumbui dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Seperti halnya mi pentil, grontol biasa dijual di pagi hari. Kudapan ini bisa ditemukan di pasar tradisional maupun berbagai titik yang biasa menjajakan aneka jajanan pasar.
Sampai saat ini, grontol masih kerap hadir di meja makan rumah. Sayangnya dari awal jumpa, grontol yang saya temui dikemas menggunakan plastik, bukan dedaunan. Lain di Bantul, lain pula di Imogiri. Kalau di kawasan ini, jagung biasa diolah sebagai pengganti atau pelengkap nasi. Orang sana mengenalnya dengan sebutan sego (nasi) jagung.
Belum lama ini saya malah menemukan nasi jagung yang agak berbeda dari biasanya. Kalau sajian nasi umumnya memiliki tekstur yang pera ataupun tanak, nasi jagung bercita rasa gurih yang saya temui di Pasar Imogiri malah berbentuk padat. Dalam penyajiannya, sego yang dikemas menggunakan daun pisang tersebut dilengkapi dengan sambal terong. Ada yang pernah mencicipinya juga?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.