Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah dikuasai secara bergantian oleh Kesultanan Bima (Sumbawa) dan Kesultanan Gowa (Sulawesi); sampai dengan ritus-ritus adat sebagai bentuk harmoni dengan alam di sekitarnya. Masyarakatnya tersebar di tiga kabupaten yang biasa disebut kawasan Manggarai Raya, yaitu Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat.
Tak hanya itu. Sebagai bagian dari budaya, alam dataran rendah Flores yang relatif kering dengan curah hujan rendah, menumbuhkan komoditas-komoditas pangan endemik dan unik. Salah satu yang khas adalah sorgum atau garai. Produk kuliner yang sempat lama melekat sebagai bahan pokok utama di NTT selain jagung.
Namun, gempuran beras dan kenikmatan tepung terigu (seperti digunakan pada adonan mi dan roti) turut berkontribusi pada terpinggirkannya sorgum dari daftar utama makanan pokok. Liputan Tirto (04/10/2023) menyebutkan bahwa banyak generasi muda tidak tahu nama dan bentuk sorgum itu sendiri. Sebab sorgum dan varietas pangan lokal lainnya sudah digeser dari meja makan orang-orang NTT, tak terkecuali di Manggarai Raya. Padahal sorgum jauh lebih bermanfaat dan sehat karena bebas gluten, tetapi terabaikan saat program swasembada beras merebak di masa Orde Baru.
Kini, belakangan mulai tumbuh optimisme dan kepercayaan diri untuk mengangkat kembali aneka pangan lokal yang terlupakan. Satu hal yang menarik, harapan itu muncul dari generasi muda, khususnya di Manggarai Raya. Manggarai Raya, khususnya Manggarai Barat, bukan hanya membicarakan Labuan Bajo dan komodo. Di balik gemerlap polesan destinasi wisata super premium, terdapat gebrakan para orang muda yang peduli pada kehidupan berkelanjutan. Salah satunya dengan upaya melestarikan pangan lokal dengan memanfaatkan komoditas-komoditas yang tumbuh di sekitar rumah. Menyeimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus fungsi ekologis.
Bisnis lestari di Lembah Pesari
Tidak terlalu jauh dari gemerlap destinasi wisata super premium Labuan Bajo, kira-kira berjarak tak lebih dari 20 km, nyala terang kiprah perempuan Flores tergambar pada sosok Elisabet Yana Tararubi (39). Seorang lulusan D3 kebidanan dan pernah bekerja di salah satu klinik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian mengubah haluan hidupnya untuk berdikari di tanahnya sendiri.
Bersama sang suami, perempuan kelahiran Sikka itu mendirikan Sten Lodge Eco Homestay di kampung Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat. Di dalamnya, Dapur Tara yang menjadi bagian penginapan ramah lingkungan tersebut menjadi daya tarik lebih bagi pengunjung, baik itu dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kedua bidang bangunan itu bersanding dengan kebun berlimpah varietas lokal yang jadi kebanggaan Liz, sapaan akrabnya.
Pernyataan yang disampaikan di akun Instagram pribadinya, saat Najwa Shihab—jurnalis kenamaan—berkunjung ke Dapur Tara belasan minggu yang lalu, menegaskan misi utama Liz dalam melestarikan sumber-sumber pangan lokal yang terlupakan. “Hari ini, [kami] menyediakan apa yang dikasih semesta,” katanya.
Dalam usahanya menjaga keberlanjutan lingkungan di Lembah Pesari, nama lain dari daerah yang ia tempati sekarang, Liz memutuskan untuk menerapkan teknik permakultur tradisional. Keputusan itu lahir dari kesadarannya akan bahaya pertanian dengan pola tanam monokultur yang kurang berkelanjutan. Hasil makanan yang ia olah bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, melainkan juga tamu-tamu yang menginap di homestay miliknya
Liz (kiri) dan sudut kebun permakultur di kompleks Dapur Tara dan homestay miliknya (Instagram Dapur Tara Flores)
Menurut Kementerian Pertanian, permakultur merupakan salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lanskap produksi pangan yang dikerjakan meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sistem ini mendasarkan pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu penerapan permakultur yang dilakukan Liz adalah menanam berbagai jenis tanaman sesuai fungsinya dalam mendukung ekosistem. Misalnya, rumput untuk meningkatkan sumber air bersih, lalu tanaman kemangi dan serai yang mampu mengurangi populasi hama serangga yang berpotensi merugikan.
Namun, ada satu kendala yang ia hadapi, yaitu belum adanya pasokan listrik di tempat tinggalnya itu sehingga ia tidak bisa memanfaatkan lemari pendingin untuk menyimpan makanan. Sebagai solusi agar kualitas bahan makanan tetap terjaga, Liz aktif mempraktikkan metode pengawetan tradisional, seperti pengasapan dan pengawetan sambal dalam bambu.
Bisnis lestari yang dilakukan Liz memang sekilas tidak “seksi” atau jauh dari kata “modern”. Akan tetapi, ia melakukannya untuk menciptakan kedaulatan pangannya sendiri demi masa depan berkelanjutan. Di tengah maraknya jual beli lahan untuk keuntungan individu dan atas nama pengembangan pariwisata, Liz menitipkan pesan. Ia mengatakan, “Penting sekali untuk tidak menjual tanah yang kita punya, sebab tanah dan hutan adalah sumber makanan dan obat-obatan yang tak ternilai harganya.”
Perenungan berbuah kecap raping
Namanya Angela Ratna Sari Biu. Akrab disapa Angel Biu. Perempuan muda asal Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai ini adalah seorang lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Kupang. Namanya mencuat ke publik ketika ia mulai dikenal setelah menemukan kecap raping atau kecap berbahan gula aren beberapa tahun lalu.
Pertemuan Angel Biu dengan kecap raping tidak berlangsung tiba-tiba. Semua bermula pada perenungan Angel Biu terhadap perjalanannya berbisnis pangan selama lima bulan. Penggunaan plastik dalam bahan baku dan kemasan makanan yang dijual membuatnya sadar jika telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan.
Sejak saat itu, Angel Biu mulai mengubah sudut pandang dan pola bisnisnya. Ia berupaya mengolah pangan lokal untuk mengurangi potensi sampah anorganik yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun awalnya merasa kebingungan, ia menantang dirinya sendiri untuk menciptakan resep-resep baru yang unik dan menarik bagi konsumen.
Pelbagai riset maupun wawancara ke masyarakat lokal dilakoni Angel Biu. Hingga akhirnya ia sampai pada satu simpulan setelah berbicara dengan para petani gula aren. Mereka mengungkapkan masalah yang sering dihadapi, yaitu produksi gula aren berlebih. Angel Biu pun kembali merenung, mengapa tidak mengolah sisa gula aren menjadi sesuatu yang baru?
Pertanyaan kunci tersebut menghasilkan jawaban-jawaban setelahnya. Angel Biu menemukan bahwa rasa dari gula aren hampir sama dengan kecap, yang manisnya disukai oleh banyak ibu di dapur mereka. Ia juga menyadari pohon aren merupakan varietas lokal yang tumbuh di lingkungan sekitar, sehingga mengolah limbah gula aren menjadi kecap merupakan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Pengolahan sisa gula aren menjadi kecap ramah lingkungan itu diberi nama kecap raping. Dalam bahasa Manggarai, “raping” berarti aren.
Angel Biu (kiri) dan produk kecap gula aren cap Raping sebagai salah satu produk unggulan UMKM Hekang Dite (Instagram Angel Biu dan Hekang Dite)
Pada 2021, ia mendirikan UMKM Hekang Dite dan menjadi direktur program untuk memperluas bisnisnya. Tujuan utamanya sesuai nama “hekang” yang tersemat di jenama tersebut, yang dalam bahasa setempat berarti rumah. Angel Biu ingin membawa konsep rumah untuk menjadi tempat yang dekat dan akrab bagi masyarakat lokal.
Tentu saja jalan Angel Biu tak semulus yang dibayangkan. Menurutnya, penerapan lingkungan berkelanjutan di Manggarai Barat masih memiliki banyak tantangan. Meskipun sudah ada banyak advokasi tentang keberlanjutan, implementasinya masih minim. Sebab, banyak yang mengira bahwa keberlanjutan hanya berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal konsep berkelanjutan sebenarnya melibatkan semua aspek kehidupan. Belum lagi berbagai macam stereotip, seperti budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai peran sentral, atau pandangan miring padanya sebagai lulusan universitas yang harusnya bekerja di perusahaan besar.
Namun, tantangan demi tantangan yang dihadapi bukanlah akhir perjalanan. Angel Biu percaya diri untuk terus maju dan tidak takut dengan jalan hidupnya berbisnis pangan lokal yang ramah lingkungan. Sebab baginya, setiap kontribusi, sekecil apa pun itu memiliki nilai yang baik. Ia berpesan kepada semua perempuan di mana pun berada, “Mereka tidak perlu takut untuk bermimpi dan menekuni passion mereka, karena setiap pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.”
Setiap orang berhak atas pilihan hidupnya. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk setara.
Urun tangan orang muda lewat Urban Futures
Kiprah-kiprah orang muda Manggarai Raya tersebut merupakan secercah harapan bagi pelestarian sumber daya pangan lokal dan lingkungan. Namun, mereka tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada urun tangan orang-orang muda lainnya, bahkan lintas generasi, serta sinergi lintas sektor untuk mewujudkan transformasi sistem pangan perkotaan yang lebih berkelanjutan.
Salah satu langkah progresif untuk mewujudkan itu adalah melalui Urban Futures. Sebuah program global berjangka waktu lima tahun yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).
Di Indonesia, Manggarai Barat merupakan kota pertama (disusul Bandung) untuk peluncuran Urban Futures. Acara yang berlangsung pada 24 Januari 2024 di Aula Sekretariat Pemerintah Daerah Manggarai Barat tersebut diresmikan Yayasan Humanis bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dan Koalisi Pangan Bernas yang mencakup Yayasan KEHATI selaku ketua serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Yakines sebagai anggota. Tujuan penyelenggaraan program Urban Futures adalah untuk memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan generasi muda, dan aksi iklim untuk partisipasi aktif orang muda dalam transformasi pangan yang ramah lingkungan dan inklusif.
Menyambut baik program ini, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Jarot Indarto, Ph.D., mengatakan, “Fokus utama kami hingga tahun 2027 adalah memperkuat aspek pangan lokal, memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti yang terdapat di wilayah pesisir, mengurangi pemborosan dan limbah pangan, meningkatkan kandungan gizi melalui biofortifikasi, dan menyediakan data yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.”
Angel Biu, pendiri UMKM Hekang Dite Manggarai dan pebisnis kecap raping, turut hadir menyampaikan kisah inspiratifnya dalam acara ini. “Orang muda bukan masa lalu dan bukan masa depan, tetapi masa sekarang. Orang muda harus aktif, kreatif, dan inovatif untuk memanfaatkan sumber daya lokal,” tegasnya.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Marius Bria Nahak, orang muda yang mendirikan usaha kopi Manggarai bernama Kopi Wamor Labuan Bajo. Menurutnya, masyarakat lokal Manggarai sendiri juga berhak menikmati kopi berkualitas. Tak melulu hasilnya diekspor ke luar negeri.
Urban Futures memercayai bahwa wirausaha muda, seperti halnya Liz, Angel Biu, dan Marius bukanlah hal baru. Namun, ekosistem yang mewadahi mereka masih minim. Oleh karena itu, Urban Futures ingin merangkul orang muda dan UMKM untuk mencapai kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
“Orang muda memiliki identitas dan posisi unik dalam masyarakat, namun ruang-ruang atau ekosistem dalam sistem pangan yang dapat mewadahi aspirasi orang muda masih belum tersedia,” ucap Rebecca, perwakilan dari Pamflet Generasi, salah satu mitra program Urban Futures.
Kedaulatan pangan adalah masa depan. Berdaulat pangan berarti berdaulat atas kehidupan.
Foto sampul: Acara Kick-off Program Urban Futures di Manggarai Barat/Koalisi Pangan Bernas
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.