Pada tahun 2024, langkah kaki saya bersama empat sahabat membawa kami menyelami harmoni alam di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Di tempat ini, kami belajar tentang konservasi, keberlanjutan, dan menghargai kehidupan di habitat liar flora fauna endemis Kalimantan, khususnya para penghuni alam yang menjadi ikon hutan tropis, orang utan.

Saat klotok (kapal kayu) melaju perlahan di permukaan Sungai Sekonyer yang tenang, desiran air seolah bernyanyi, melatari suasana yang syahdu. Klotok ini bukan hanya sekadar transportasi, melainkan juga rumah kecil kami selama beberapa hari di tengah belantara Kalimantan. Atapnya menjadi pelindung dari terik siang.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Speed boat warga melintasi Sungai Sekonyer. Sungai ini juga menjadi jalur transportasi klotok tamu wisata yang berkunjung ke Tanjung Puting/Wiwik Eka Nopariyanti

Pertemuan Pertama dengan Para Penghuni Hutan

Taman nasional seluas 416.040 hektare ini memiliki sejumlah camp yang menjadi pusat kegiatan konservasi sekaligus tempat terbaik untuk menyaksikan kehidupan satwa liar di habitat aslinya. Setiap camp memiliki keunikan dan kisahnya sendiri.

Perjalanan kami dimulai di Camp Tanjung Harapan, yang menjadi pintu masuk menuju dunia orang utan. Di sini kami bertemu dengan Roger, sang raja orang utan, yang namanya sudah menjadi legenda di kalangan para ranger dan wisatawan. Ketika klotok mendekati dermaga, kami bisa melihat siluet Roger duduk dengan angkuh di atas dahan pohon yang tinggi.

“Roger itu spesial,” kata Bang Andi sambil tersenyum. Ia adalah pemandu kami yang berasal dari desa sekitar. “Dia bukan hanya pemimpin kelompok di sini, tapi juga lambang kekuatan hutan ini.” Struktur wajah Roger yang lebar dengan pipi tebal atau flange menandakan bahwa ia adalah orang utan jantan dominan. Saat feeding station mulai diisi dengan buah-buahan oleh para ranger, Roger turun perlahan dengan gerakan penuh percaya diri.

Kami menyaksikan bagaimana Roger, dengan kesabaran dan wibawa, memonopoli santapan pertamanya. Tidak ada orang utan lain yang berani mendekat sebelum Roger selesai. Ini adalah salah satu aturan tidak tertulis di hutan yang mereka patuhi dengan naluri alamiah. Melihat Roger menikmati makanannya, saya merasa seolah-olah ia adalah penjaga takhta hutan yang sedang memberi restu kepada pengikutnya.

Destinasi berikutnya adalah Camp Pondok Tanggui, yang terkenal sebagai tempat perlindungan bagi orang utan betina dan anak-anaknya. Di sinilah kami melihat kehidupan orang utan yang lebih lembut dan penuh kasih. Suasana di Pondok Tanggui terasa berbeda, lebih damai, seperti taman kanak-kanak di tengah hutan.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Induk orang utan sedang menikmati santapan siang bersama anaknya di camp Pondok Tanggui/Wiwik Eka Nopariyanti

Di Pondok Tanggui, kami disambut oleh suara gemuruh orang utan betina dan anaknya bergelantungan di atas pohon. Kami melihat induk orang utan menggendong anak-anaknya yang masih kecil, melindungi mereka dari bahaya sambil mengajarkan cara bertahan hidup. Para ranger di sini bekerja keras memastikan makanan tersedia untuk para betina, terutama yang sedang menyusui. Pondok Tanggui adalah gambaran tentang hutan yang tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga sekolah kehidupan bagi para penghuninya.

Di pusat rehabilitasi Camp Leakey, yang menjadi tempat perhentian terakhir dan salah satu camp paling terkenal, kami melihat langsung bagaimana orang utan yang sebelumnya kehilangan habitatnya kini dilatih untuk kembali ke alam liar. Camp Leakey, yang didirikan oleh peneliti legendaris Biruté Galdikas pada tahun 1971, menjadi jantung konservasi di Tanjung Puting. Tempat ini tidak hanya memulihkan orang utan, tetapi juga mengajarkan kita, manusia, tentang pentingnya keseimbangan alam dan peradaban.

Tidak hanya orang utan, dari atas klotok kami juga berkesempatan melihat bekantan, primata berhidung panjang yang jenaka. Bekantan, yang sering dijuluki “monyet Belanda” karena hidung mancungnya, hidup berkelompok di sekitar tepian sungai. Gerakan mereka yang gesit tapi penuh kehati-hatian mengajarkan kami untuk selalu menjaga keseimbangan dalam setiap langkah kehidupan.

“Sungguh menyenangkan melihat bekantan di habitat aslinya,” ujar salah satu teman saya. Kami merasa sangat beruntung bisa menyaksikan kawanan bekantan dari jarak sedekat ini, apalagi di tengah suasana hutan yang masih alami. Polah lucu dan wajah unik dari bekantan mengingatkan kami betapa pentingnya menjaga ekosistem hutan agar tetap menjadi rumah yang aman bagi mereka.

Pemandangan itu membuat kami larut dalam kegembiraan yang sederhana. Dari atas klotok, kami tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga merasa menjadi bagian kecil dari dunia yang lebih besar, dunia yang penuh kehidupan dan keajaiban, di mana manusia dan alam bisa saling berbagi ruang secara harmonis. Di antara gemerisik daun dan suara aliran sungai, tawa kami bercampur dengan decak kagum, menciptakan kenangan yang tak akan pernah terlupakan.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Induk bekantan dan anaknya tengah bersantai di pohon sekitar Sungai Sekonyer/Wiwik Eka Nopariyanti

Ancaman Ekspansi Sawit dan Upaya Pelestarian

Di tengah perjalanan menyusuri Sungai Sekonyer, klotok kami perlahan mendekati sebuah pemandangan yang tak biasa. Dua aliran sungai bertemu dalam garis yang sangat kontras: satu berwarna kehitaman, sementara yang lainnya kecokelatan. Bang Andi menjelaskan dengan nada penuh keprihatinan, “Yang hitam itu warna alami Sungai Sekonyer, hasil dari serasah daun-daun di hutan gambut. Sedangkan yang coklat itu sudah terkontaminasi oleh limbah perkebunan kelapa sawit di hulu sana.”

Pemandangan itu seakan menjadi batas nyata antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, hutan konservasi tampak subur dengan pepohonan besar yang berdiri gagah, memberikan kehidupan bagi ribuan spesies yang bergantung padanya. Sementara di sisi lain, hutan yang telah berubah menjadi kebun kelapa sawit terlihat monoton, hanya deretan pohon homogen tanpa keanekaragaman. “Kalau kalian lihat dari atas, garisnya lebih jelas lagi,” lanjut Bang Andi, “hutan konservasi itu seperti paru-paru hijau yang hidup, sementara yang sawit kelihatan tandus dan kaku.”

Melihat langsung dampak perbedaan ini begitu menyentuh. Air sungai kecokelatan menunjukkan kegiatan manusia di hulu dapat mengubah ekosistem yang dulunya murni. Kontaminasi itu tak hanya merusak keindahan visual sungai, tetapi juga mengancam kehidupan di dalamnya. Bang Andi menambahkan bahwa banyak ikan yang dulunya hidup di Sungai Sekonyer kini semakin sulit ditemukan di bagian sungai yang tercemar.

Pemandangan pertemuan dua sungai ini, meskipun indah dengan cara yang mengundang rasa takjub, juga menyimpan pelajaran pahit tentang apa yang hilang ketika alam tidak dihormati. Saya tertegun memikirkan kehidupan di hutan yang berjuang untuk tetap bertahan di tengah tekanan manusia yang terus mendesak.

Kontradiksi itu menjadi pengingat bahwa ada pilihan yang harus kita buat. Apakah kita akan terus membiarkan sungai dan hutan ini perlahan kehilangan jiwanya, atau kita bisa menjadi bagian dari perjuangan untuk menjaga harmoni yang tersisa? Di atas klotok, saya merenung. Pertemuan ini bukan sekadar tentang dua sungai, melainkan dua kemungkinan masa depan.

Suatu pagi di atas klotok, Bang Andi bicara serius. Ia menunjuk pada tepian sungai yang gundul, bekas dari deforestasi yang terjadi beberapa tahun lalu. “Hutan ini memang masih indah, tapi sudah banyak bagian yang hilang. Dulu di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah hulu, “adalah tempat bekantan dan orang utan bermain. Sekarang habis semua karena dijadikan kebun sawit.

Ancaman pembukaan lahan kelapa sawit menjadi kenyataan yang pahit bagi Tanjung Puting. Ekspansi perkebunan sering kali merambah batas hutan, merampas rumah bagi banyak spesies yang bergantung pada ekosistem ini. Satwa-satwa seperti orang utan dan bekantan kehilangan tempat tinggalnya, bahkan kerap ditemukan kelaparan karena kekurangan makanan alami. Selain itu, praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan menyebabkan kebakaran besar yang merusak ekosistem secara masif.

Sebagai salah satu taman nasional yang paling penting di dunia dalam upaya pelestarian hutan tropis dan keanekaragaman hayati, pemerintah bersama beberapa organisasi lokal dan internasional terus berupaya melakukan reboisasi dan memerangi pembukaan lahan ilegal untuk melindungi Tanjung Puting. Namun, upaya tersebut membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk wisatawan seperti kami, untuk lebih peduli terhadap dampak lingkungan dari setiap pilihan konsumsi yang kami buat.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Klotok menyusuri Sungai Sekonyer membelah hutan rawa Tanjung Puting yang tenang dan damai/Wiwik Eka Nopariyanti

Pengalaman Magis dan Pesan untuk Pembaca

Saat malam tiba di atas klotok, hutan di sepanjang Sungai Sekonyer berubah menjadi panggung gelap yang penuh misteri. Gemuruh jangkrik, suara burung hantu, dan gesekan dedaunan menjadi orkestra malam yang mengiringi kami tidur. Namun, momen paling membius terjadi ketika saya membuka pintu klotok dan menatap langit. Ribuan bintang seperti berlomba-lomba bersinar, cahayanya terpantul di permukaan sungai yang tenang. Saya terdiam, merasa kecil di tengah alam semesta yang begitu luas.

Sementara pada pagi hari, kabut tipis menyelimuti hutan, menciptakan suasana magis. Siluet pohon-pohon besar berdiri gagah, seperti penunggu setia yang menjaga rahasia hutan ini. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, perasaan damai sekaligus takjub yang hanya bisa dirasakan ketika benar-benar menyatu dengan alam.

Saya teringat momen ketika melihat seekor owa kalimantan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya dengan lincah. Gerakannya seperti tarian yang penuh kebebasan, mengingatkan saya bahwa hutan ini adalah panggung alam yang luar biasa. Bahkan laba-laba kalimantan yang menjalin jaringnya dengan hati-hati tampak seperti seorang seniman yang menciptakan mahakarya. Setiap sudut hutan Tanjung Puting—suara maupun embusan angin—menyampaikan pesan yang sama: hidup ini penuh dengan keajaiban yang sederhana, tetapi mendalam.

Renungan Kehidupan Alam Liar di Taman Nasional Tanjung Puting
Seekor owa kalimantan yang sedang beristirahat setelah melompat dari satu pohon ke pohon lainnya/Wiwik Eka Nopariyanti

Saat kami meninggalkan Tanjung Puting, kami membawa pulang lebih dari sekadar foto dan kenangan. Kami membawa pemahaman baru tentang tanggung jawab untuk menjaga bumi, rumah bagi semua makhluk hidup. Kita adalah penjaga, bukan penguasa. Kita tidak bisa memisahkan kehidupan manusia dari alam, karena napas kita adalah hasil dari dedaunan yang berfotosintesis, dan jejak kaki kita akan selalu beriringan dengan jejak makhluk lain di bumi ini.

Jika kalian punya kesempatan, datanglah ke Tanjung Puting. Rasakan sendiri keajaiban hutan tropis yang begitu hidup. Datanglah dengan hati yang tulus untuk belajar, bukan hanya sekadar kagum. Karena setiap langkah yang kalian ambil di tanah ini, adalah janji untuk melindunginya. Hutan Kalimantan menanti kalian, seperti halnya ia telah menyambut saya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar