Saya sukses melewati malam dengan nyaman di dalam bivak flysheet. Saya terbangun pukul 01.00 dini hari dan langsung memasak kopi sembari sarapan roti, disusul Reza dan Lucas lalu duet anak-anak yang tetap ribut kala membuka pintu tenda. Kami sarapan dengan logistik masing-masing, menyiapkan peralatan untuk pergi ke puncak, memakai sepatu trekking kembali lengkap dengan headlamp melingkar di kepala. Di Pos 3 saat itu hanya terlihat satu kelompok yang—kalau kata orang-orang—”menyerang puncak.” Bentang bintang-bintang di cakrawala terlihat jelas. Kabar bagus untuk kami: cerah.
Kami melangkahkan kaki. Pendakian malam memang membuat perjalanan jadi tidak terasa. Kami tiba di Pos 4 Pestan relatif cepat karena memang jaraknya dekat. Dengan Adit, Nuril, dan Lucas yang hanya mencapai Pos 3 kala pertama kali mendaki Sumbing, sementara Reza dan saya baru pertama kali mendaki Sumbing, grup ini sudah kehilangan navigator.
Di Pos 4 ini kami berdiskusi tentang peran masing-masing. Saya sendiri dipilih sebagai leader, Lucas sebagai sweeper, dan Adit jadi gelandang pengangkut air. Kasihan. Mana masih muda. Tapi, penentuan peran ini penting dalam sebuah pendakian demi meminimalisir kecelakaan gunung. Setiap anggota akan memiliki rasa tanggung jawab terhadap anggota lainnya.
Kami menyusuri trek secara santai tak terburu-buru. Setelah sekitar 30 menit berjalan, sampailah kami di Pos V Pasar Watu. Trek menanjak namun padat dengan bebatuan, lumayan menghunjam sol sepatu. Sesuai namanya,, segala jenis batu tampaknya ada di pos ini. Mungkin dari mulai batu bata sampai batu baterai tersedia di sini. Trek ini cukup panjang dan beberapa ruas harus digapai dengan tangan. Saya sendiri senang dengan trek ini, soalnya relatif tidak licin kala didaki. Tapi, ya, kembali lagi bergantung pada footwear-mu. Kalau pake Swallow jelas kamu takkan slow.
Kami rehat sejenak di pertengahan trek. Jam tangan menunjukkan pukul 03.00 dini hari, dengan suhu sekitar 9 derajat Celsius. Dingin bila berlama-lama istirahat. Kami kembali menyusuri jalan dan sampailah kami di Pos VI Watu Kotak, batu setinggi sekitar 4 meter dengan lebar 5 meter. Konon, Watu Kotak menyerupai kepala singa. Namun karena cahaya terbatas kami tidak bisa melihat secara jelas seperti apa bentuknya.
Batu itu lengkap dengan pernak-pernik vandalisme. Wajar, menurut saya. Mungkin pendaki yang melakukan praktik vandalisme itu memang tidak mengenyam pendidikan di sekolah sehingga mengira Watu Kotak sebagai papan tulis. Semoga mereka yang vandal lekas mendapat pendidikan yang lebih baik. Amin.
Setelah Watu Kotak, kami melipir ke sisi kiri lalu berjalan melintas melewati sisi bukit. Trek cukup jelas karena dibantu cahaya rembulan. Terlihat pula sebuah punggungan bukit berwarna hitam akibat kebakaran sebulan silam. Cepat sembuh, Sumbing.
Trek ini tidaklah menanjak menguras tenaga seperti sebelumnya. Di sini pula kami bertemu kelompok pendaki yang sudah lebih dahulu muncak sebelum kami. Setelah melewati sisi bukit yang perlahan menuju puncak, sampailah kami di puncak bayangan tepat pukul 04.30. Matahari masih malu-malu tampaknya untuk keluar.
Keterbatasan cahaya dan trek yang mulai tertutup lalu membingungkan kami. Kami berembuk apakah tetap melanjutkan atau tidak. Saya pribadi sebenarnya sudah cukup puas, namun pasukan pengutang belum tampaknya.
Lalu sebuah solusi tak terduga muncul: kami memilih trek mengikuti sampah. Sebenarnya cukup berat untuk memilih keputusan ini. Hasil kesepakatan membuat saya dan Adit yang relatif lebih lincah kebagian tugas melihat trek apakah bisa dilalui atau tidak. Mengapa dipilih yang lincah? Karena perjalanan selanjutnya adalah panjat tebing yang cukup ekstrem sehingga perlu koordinasi dengan baik sebagai sebuah tim. Saya kaget menemukan sampah “Susuku,” sebuah produk jajanan kala saya sekolah SD. Apa mungkin ini trek yang sudah lama ditinggalkan?
Saya buang ragu itu dan tetap melanjutkan susur tebing, diikuti dengan isyarat agar tim Lucas, Reza, dan Nuril segera menyusul. Matahari perlahan muncul seakan memberi semangat kepada kami. Trek selanjutnya membuat kami mesti melangkah di tebing-tebing pinggir kawah. Mungkin akan fatal apabila terpeleset sedikit saja. Kami dengan sendirinya membentuk sebuah koordinasi yang baik kala melintas di pinggir tebing. Semua berjalan sesuai rencana.
Kemudian sampailah kami di persimpangan menuju puncak kawah. Istirahat sejenak dan Adit mulai berulah: dia rewel ingin buang hajat.
Namanya juga anak anak.
Setelah bongkar muatan, dengan bangganya ia memproklamirkan bahwa hajat kali inilah yang tertinggi dalam hidupnya. Sungguh tak penting. Tapi tak apa. Yang penting dia senang.
Soal nyeri hebat pada tendon “Achilles”
Petaka muncul bagi saya. Trauma kecelakaan motor dua tahun silam kembali mengambil peran. Saya mengalami nyeri hebat sekitar tendon Achilles. Yang saya ingat kala konsultasi perawatan ialah saya harus beristirahat agak panjang setelah 6 jam mendaki. Kecelakaan ini pula yang membuat saya absen mendaki selama setahun. Saya pikir keadaan kaki akan tangguh seperti semula. Saya tetap memaksakan, mengingat tanggung jawab sebagai leader dan Puncak Kawah sudah mulai kelihatan. Namun, akhirnya saya memantapkan hati bahwa Puncak Kawah adalah lokasi peristirahatan dan tak melanjutkan perjalanan.
Singkat cerita, sampailah kami di Puncak Kawah. Saya tersenyum terpaksa karena nyeri di kaki tampaknya sudah tak dapat ditolerir lagi. Di sini juga saya izin untuk beristirahat dan menunggu mereka sampai kembali dari Puncak Rajawali. Saya lantas terperenyak, berbaring, mengistirahatkan engkel seraya bergumam dalam hati, “Kalau begini terus bisa jadi beban tim di pendakian-pendakian selanjutnya.”
Saat itu tepat pukul 05.30. Matahari sudah muncul dengan gagah, tapi kaki ini sudah mulai payah.
Saya tertidur sementara yang lainnya melanjutkan perjalanan. Tak terasa 45 menit berlalu. Saya terbangun dan dapat melihat yang lainnya sedang mendaki bukit. Timbul perasaan ingin menyusul. Sembari menyesap kopi dalam termos yang ditinggalkan teman-teman, saya menimang-nimang apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak.
Ya, karena di judul tulisan ini ada frasa “di hadapan Rajawali,” tentunya saya melanjutkan perjalanan. Mantap dalam pikiran, saya langsung memasang ankle support socks untuk menstabilkan pergelangan kaki kala berjalan. Saya berteriak kepada yang lainnya untuk menunggu sejenak.
Setelah Puncak Kawah, trek tebing makin tak masuk akal. Saya harus menyusuri jalur menurun dengan tali webbing yang artinya setiap gerakan akan bertumpu pada pergelangan kaki. Aduh! Mau tak mau, sambil menahan nyeri, saya paksakan melangkah. Setelah melewati tebing dengan webbing, jalanan berubah menjadi datar mengantarkan ke bukit tempat teman-teman berada. Saya berjalan perlahan dan alhamdulillah teman-teman bersedia menunggu. Sampai di hadapan bukit, trek menanjak mulai menyambut. Yak, sedikit lagi. Semangat.
Trek melipir melintasi sisi bukit. Sesekali saya berpegangan pada cantigi untuk mempermudah pergerakan. Sepanjang mata memandang, belum ada kelompok pendaki yang menyusul kami. Hanya kelompok kami yang sampai di titik ini pada hari itu. Lanskap punggungan tebing dan punggungan bukit mulai terlihat. Maklum, selama perjalanan saya kurang memerhatikan karena keterbatasan cahaya. Sekitar 30 menit kami menyusuri bukit. Mulai terlihat plang dengan dua tiang di kanan dan kirinya, lengkap dengan sebuah bendera merah putih yang sedari puncak bayangan sudah terlihat namun berukuran kecil.
Finally! 07.15 pagi. Penulis menjejakkan kaki di Puncak Rajawali. Bersujud syukur, Allah masih memberi kesempatan kaki saya yang lemah ini untuk mencapai salah satu lukisan-Nya. Terdengar berlebihan memang, namun memang ini yang saya rasakan. Ini pendakian terlemah saya sejauh ini. Mungkin jika tidak disokong dengan canda tawa teman-teman, dan tetap kekeuh untuk solo hiking, saya takkan sampai di puncak ini. Di titik ini saya terperenyak merenung, mengulas kembali perjalanan absurd yang dimulai dua hari lalu.
Gudang Garam di tangan, di sesap yang keempat saya mulai menyadari bahwasanya manusia memang makhluk sosial, saling butuh satu sama lain. Memang pendakian terasa cepat bila sendiri, namun belum tentu lebih jauh apabila tak dilakukan bersama. Seperti kehidupan, bukan?
Rupa-rupa bentang alam dengan berbagai komponen utamanya seperti matahari, bukit, awan, langit, pohon, dan segala detail kecilnya membuat lanskap ini tampak megah. Semua saling mengisi satu sama lain. Matahari tanpa awan. Mungkin ia hanya bola api yang tak jauh beda dari banaspati.
Untuk mengakhiri, catatan perjalanan ini saya pungkasi dengan perkataan dari Albert Einstein: “Look deep into nature, and then you will understand everything better.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.