Interval

Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan

Ramen dan ba kut teh. Bagi Masato, dua makanan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cerita hidupnya. Sang ibu suka memasakkan ba kut teh atau sup tulang iga babi di rumah sewaktu Masato kecil. Saat dewasa, kesibukannya tak lepas dari aktivitas memasak di dapur sebuah kedai ramen yang Masato kelola bersama ayah dan pamannya. Lebih dari sekadar masakan, ramen dan ba kut teh mampu membangkitkan kenangan Masato akan keluarga—ia, ayah, serta ibunya yang tiada karena sakit.

Hubungan Masato dengan ibunya dekat tetapi tak berlangsung lama. Ia meninggal saat Masato kecil. Relasinya dengan sang ayah, sebaliknya, dingin bagai es batu. Suatu saat, ayahnya meninggal mendadak. Alih-alih kembali bekerja di warung ramen, Masato justru pergi ke Singapura, negara asal ibunya untuk menemui sang paman, seorang pemasak yang pandai membuat ba kut teh. Masato ingin belajar cara membikin makanan itu sekaligus mengetahui lebih banyak tentang ibunya. Dari sang paman, Masato pun mengetahui kisah masa lalu ibu, nenek, dan ayahnya.

Ramen Shop
Masato bertemu dengan sang paman, seorang yang pandai memasak ba kut teh via chlotrudis.org

Perjalanan Masato dari Jepang ke Singapura tersebut menjadi cerita utama film Ramen Shop (2018) yang disutradarai Eric Khoo. Dalam film berdurasi 90 menit itu, Masato yang tak memiliki banyak informasi tentang keluarga ibunya mengandalkan bantuan seorang blogger kuliner asal Jepang yang tinggal di Singapura bernama Miki. Elemen makanan ditonjolkan sejak awal di film ini lewat footage semangkuk ramen. Unsur tersebut semakin kental ketika Masato di Singapura dan bertemu Miki. Sebagai seorang blogger, ia memiliki pengetahuan lebih tentang kuliner negara itu dibanding Masato. Miki banyak bercerita soal makanan Singapura, termasuk sejarah ba kut teh.

Adegan Masato dengan sang paman di film ini juga membahas tentang ba kut teh. Ba kut teh yang memiliki arti “daging, tulang, teh” merupakan makanan yang populer di Singapura serta Malaysia. Hidangan tulang iga babi yang direbus berjam-jam dalam kaldu berisikan rempah dan herba itu menjadi sajian yang sedap disantap apalagi saat dingin. Selain ba kut teh, masakan yang turut ditampilkan dalam film ini adalah ramen. Ramen awalnya berakar dari hidangan mi asal China dan kini populer di Jepang. Di luar Jepang, ramen banyak disukai orang sehingga kedai ramen banyak berdiri.

Ramen Shop
Masato dan neneknya via berlinale.de

Hadirnya kisah asal-usul kuliner dua negara lantas menjadikan Ramen Shop sebagai film yang membahas tidak hanya soal makanan dan kenangan keluarga tetapi juga identitas seseorang. Ramen serta ba kut teh membangkitkan memori sekaligus menggambarkan jati diri Masato. 

Hal ini diperlihatkan sutradara secara lebih eksplisit lewat adegan Miki dan Masato ketika mereka tengah menyantap kari kepala ikan. Di scene ini, Miki menganggap Masato layaknya mi ramen. Makanan tersebut merupakan hasil perpaduan dua budaya, yakni China dan Jepang, yang kini digemari banyak orang. Bagian dari dua budaya, menurut Miki, juga mengalir dalam darah Masato yang memiliki ayah Jepang dan ibu beretnis China asal Singapura.

Perkara identitas diri tersebut berusaha dikuatkan pula lewat adegan-adegan film yang menyinggung soal pendudukan Jepang di Singapura tahun 1942 hingga 1945. Selama di Singapura, di samping menemui pamannya dan belajar memasak ba kut teh, Masato juga mengunjungi pameran tentang Syonan di sebuah galeri. Syonan atau Syonan-to merupakan nama Singapura selama pendudukan Jepang yang berarti “Cahaya dari Pulau Selatan”. 

Di era tersebut, operasi untuk menghilangkan elemen masyarakat yang dianggap anti-Jepang dilakukan lewat sistem Sook Ching atau “pembersihan melalui pemurnian”. Sasarannya paling besar dialami komunitas warga China di Singapura. Lebih dari 25.000 orang yang didominasi laki-laki berusia 18 hingga 50 tahun, menjadi korban sistem ini.

Masato mengetahui keluarga ibunya memiliki pengalaman yang bersinggungan dengan sejarah pendudukan Jepang di Singapura berkat sang paman. Kisahnya bahkan mempengaruhi hubungan antara ibunya, nenek, dan ayahnya. Lewat makanan serta sejarah, Ramen Shop memperlihatkan sosok Masato yang berusaha memahami dan mengartikan kembali identitas dirinya. Upaya tersebut tidak sia-sia. Di akhir film, Masato berhasil menggabungkan dua masakan yang menggambarkan jati dirinya, seorang anak keturunan Jepang dan China Singapura.

Ramen Shop
Para pemain Ramen Shop via exotic-cinema.org

Di samping Ramen Shop, film Eric Khoo sebelumnya juga menampilkan elemen makanan meski porsi ceritanya berbeda-beda antara satu film dengan yang lain. Di Wanton Mee (2015), misalnya, berbagai macam kuliner Singapura dibahas dengan gaya docufiction oleh Khoo. Makanan juga muncul di Mee Pok Man (1995) dan Be With Me (2005) walau tak sedalam di dua film yang disebutkan sebelumnya. 

Makanan di Ramen Shop yang diceritakan agak detail pada akhirnya menjadi hal yang membuat film ini menarik sebab alur cerita yang disajikan cukup mudah ditebak. Interaksi antara Miki sebagai food blogger dan si pembuat ramen Masato mampu menghidupkan obrolan di antara keduanya. Bagi mereka yang tak familiar dengan kuliner Singapura, Ramen Shop dapat memberikan sedikit penjelasan lewat cerita yang dibalut dengan drama keluarga sang tokoh utama. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ajeng Nadias

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Biking Borders: Wujudkan Impian lewat Bersepeda