Di balik unggahan Jelajah Pendaki Indonesia (@pendakiindonesia), salah satu akun Instagram pendakian dengan follower terbanyak di Indonesia, ada sesosok petualang bernama Khaerul Ikhwan. Beberapa hari yang lalu, Arul meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan saya soal pendakian perdananya.

jelajah pendaki indonesia
Khaerul Ikhwan (Arul) difoto memakai kaus merah TelusuRI via instagram.com/unyil20

Jadi, kapan kamu pertama kali naik gunung, Rul?

Kelas 2 SMA, Jo. Kalau aku lulus SMA tahun 2001/2002, berarti kelas 2 itu tahun berapa, ya? Waktu itu liburan habis ujian akhir kelas 3. Jadi ada teman, cowok-cowok, entah siapa, yang nyeletuk kasih ide naik Gunung Slamet. Akhirnya teman-teman pada sepakat naik gunung, deh.

Kok kamu dan teman-teman kepikiran naik gunung? Sekitar 2000-2001 itu kayaknya di media juga belum banyak tayangan yang bikin orang tertarik naik gunung. Baru zaman Friendster juga, ‘kan, itu? Media sosial belum ada.

Aku hidup di Pemalang, Jo. Waktu itu aku belum kenal Internet—baru kenal PC. Dan di sekolahku itu nggak ada izin sispala, Jo. Tapi ada OPA [Organisasi Pencinta Alam] yang bergerak bawah tanah, namanya Narata Paksi.

Kami nggak ada yang ikut Narata Paksi, tapi. Dan waktu itu ada edaran di rapor yang dibagi ke orangtua, dalam bentuk fotokopi, yang isinya larangan-larangan selama liburan, salah satunya naik gunung. Makanya aku sempat ndak dapat izin dari bapak. Tapi, dari dulu aku emang ngeyelan. Aku bersikeras naik gunung. Akhirnya diizinkan.

Sekitar seminggu sebelum hari-H ada yang survey, Jo. [Menurut] hasil keputusan rapat, emang harus ada yang survey dulu, setidaknya [biar tahu] akses transportasi ke base camp.

Tapi, anak-anak muda di Pemalang waktu itu sudah banyak yang naik gunung?

Ada beberapa OPA di luar lembaga, Jo. Yang paling terkenal waktu itu… sek, aku lupa—Paduraksa.

Sudah lewat sekitar dua dekade soalnya, ya, makanya lupa?

Yang Paduraksa itu ternyata pernah didiklat mapalaku juga, Jo. Sekarang udah ndak eksis juga soalnya [makanya tadi aku lupa]. Kami itu ndak ada yang punya pengalaman, ndak ada yang pernah dapat pendidikannya [OPA], dan aku cuma pernah aktif di pramuka aja waktu SMP. SMA udah ndak aktif lagi karena ndak respek sama senior.

Culun-culun pokoknya.

Selain survey itu tadi, apa saja persiapan pendakian perdanamu itu, Rul? Alat-alat pendakian pun kayaknya masih mahal, ya, dulu?

Alat apaan, Jo? Kami ndak tahu alat yang seharusnya kami bawa. Kami cuma tahu kami mau kemping. Ya, peralatan layaknya mau kemping aja yang kami bawa—bahkan ada yang bawa gitar.

Jadi, saat meeting bahas apa aja yang harus dibawa, ada beberapa peralatan dalam daftar—aku ingat, nih. Kami bawa tenda pramuka—lupa waktu itu punya siapa—terus senter. Bahkan temanku ada yang bawa senter yang biasa dipakai untuk ngobor kodok [mencari kodok] di sawah yang tenaganya pakai aki. Terus bawa tikar gitu-gitu, deh.

Cupu pokoknya.

Terus dulu kamu naiknya dari jalur mana, Rul? Naik apa ke sana?

Lewat Bambangan, Jo. Dulu pendaki yang mau naik itu registrasinya cuma mengisi buku tamu, pakai buku yang biasa untuk catat keuangan itu, di base camp lama. Naik apanya ini aku agak lupa juga—

Eh, aku ingat, nih. Teman-teman yang survey pakai motor, tapi kami ke sana pakai transportasi umum. Dari titik kumpul kami naik bus tuyul [bus kecil dalam kota] ke Moga. Dari Moga kami naik pikap bareng ibu-bapak yang baru dari pasar mau pulang ke rumah. Sampai di Pasar Pratin kami ganti mobil, pakai pikap. Di perbatasan Pemalang dan Purbalingga waktu itu ada kebijakan angkutan Pemalang nggak boleh masuk bawa penumpang ke Purbalingga.

Sampai base camp sore? Naik malam berarti?

Nggak. Kalau ndak salah kami itu naik siang, Jo. Aku ingat base camp agak ramai waktu itu. Ada beberapa pendaki yang baru turun.

Setelah registrasi, kami siap-siap berangkat. Kayak yang tadi aku bilang, di antara kami ada yang bawa gitar, mi instan pun kami bawa sama dus-dusnya. Belum ada yang kenal keril di antara kami. Beberapa pakai tas PDL-nya TNI itu, ada yang pakai sepatu PDL juga. Kalau ndak salah kami sempat diketawain juga sama pendaki yang ada di base camp. Sempat ada kalimat, “Mau jualan, ya, Mas, di atas?”

Pokoknyalah, Jo, ini cerita konyol.

‘Kan kamu naiknya ramai, Rul. Rombongannya dibagi nggak kayak pendakian massal?

Mana kepikiran kita soal bagi-bagi kelompok. Pokoknya jalan bareng aja gitu. Tapi, di tengah perjalanan kami terpisah jadi dua, menjelang magrib.

Pas mendaki itu, di menit keberapa muncul rasa penyesalan? Atau kamu malah nggak menyesal?

Bukan penyesalan, sih, Jo. Kalaupun ada, aku ndak ingat aku merasa menyesal. Cuma, ada obrolan di tengah jalan di antara kami, “Kalau disuruh emak beli garam ke warung aja susah. Ini naik gunung, payah begini, berangkat.” Semacam itu. Beberapa dari kami tercecer, termasuk aku yang sempat terbaring di jalur beberapa saat. Lelah banget.

Ada yang muntah, nggak?

Ada, tapi ini waktu kami sudah bikin tenda, di kamp. Tapi pas sampai di Pos 4 aku kaget, Jo. Ternyata di situ ramai. Dulu masih boleh bikin api, ‘kan, dan api di situ ndak kecil. Pokoknya pos itu pengap asap. Aku ndak lama di situ.

Pos 4 itu Samarantu, ‘kan? Kalian tancap sampai ke sana dari siang?

Iya, Samarantu. Seingatku Pos 4—atau Pos 5, ya? Dari siang, Jo. Pergerakan kami lambat.

Terus kalian kemping di sana?

Nggak. Di Pos 7 kalau ndak salah [kami kemping]. Aku lupa tepatnya jam berapa waktu itu kami sampai di pos dan bikin tenda.

Bajindal! Sampai sana sudah tengah malam pasti?

Iya, Jo. Beberapa teman sudah ndak berdaya. Satu teman ‘jackpot’. Dan aku bikin air panas pakai sisa air yang ndak ada setengah panci. Dan… pancinya ndak sengaja ketendang, dong. Asli, Jo, ini cerita konyol.

Lha, itu habis pancinya ketendang gimana? Habislah persediaan air?

Jadi, karena merasa bersalah numpahin air terakhir, aku turun ke mata air bawa botol-botol kosong, ditemani seorang taman—aku lupa siapa. Tahulah, Jo, gimana rasanya. Sudah pengen istirahat terus kudu turun dalam kondisi fisik yang sudah capek.

Sampai mata air aku isi botol-botol yang kubawa. Aku masukkan dalam tas dan satu botol aku pegang untuk diminum di jalan. Segar rasanya bisa minum air malam itu. Aku naik lagi dengan kewalahan. Capek banget rasanya. Beberapa kali aku duduk terus berbaring di jalur, minum air dari botol yang kupegang tadi.

Akhirnya aku sampai lagi di kamp dan kami bisa masak air. Terus aku istirahat, tapi ndak bisa tidur soalnya dingin banget.

Tapi pas tidur perut sudah terisi to? Masih ingat makan apa aja waktu itu?

Kayaknya sudah, Jo. Aku makan mi sama snack yang aku bawa kayaknya. Ndak kenyang-kenyang banget, tapi terisi.

Aku lupa jam berapa, ada pendaki yang ngingetin [pendaki lain] untuk muncak. Waktu itu aku lagi kedinginan banget. Sempat ragu mau muncak apa ndak.

jelajah pendaki indonesia
Arul (kiri) saat pendakian perdana ke Gunung Slamet/Istimewa

Tapi akhirnya kamu dan teman-teman pada bangun terus muncak?

Ada yang ndak ikut ke puncak—aku lupa berapa orang—salah satunya yang ‘jackpot’ tadi. Pelan-pelan kami bergerak. Sampai di batas vegetasi kami memastikan jalur ke atas, bertanya ke pendaki lain, terus menguatkan tekad, dan cus.

Sampai puncak sebelum matahari terbit?

Nggak, Jo. Pergerakan kami, ‘kan, lambat. Sampai di atas kami menikmati pemandangan, turun ke Segara Wedi, dan foto-foto.

Turun dari puncak jam berapa, Rul?

Nah, ini. Turunnya, kok, aku lupa, Jo. Yang aku ingat cuma [pas perjalanan turun] aku mampir ke mata air. Turun, ‘kan, itu. Dan di situ aku shock. Aku lihat banyak banget ‘ranjau’ di mata air tempat semalam aku ngambil air. Mana sebotol aku minum di jalan pula tanpa dimasak. Damn, Jo. Kalau ingat, tuh, rasanya… beuh!

Sampai bawah sudah gelap?

Aku lupa, nih. Kayaknya iya, deh. Nginap lagi di base camp. Tapi aku nggak yakin—

Terus, habis pendakian perdana itu, jaraknya berapa lama sampai kamu naik gunung lagi, Rul?

Lumayan lama, Jo. Kayaknya setahun. Naik lagi sama yang di foto itu juga. Slamet lagi, Bambangan lagi.

Tinggalkan Komentar