Travelog

Purun yang Menjadi Nyawa Kampung Purun

Rusinah dengan cekatan menyilangkan bilah demi bilah purun kering. Tangannya sekilas tampak menari, jari jemarinya tampak menyilang ke kiri dan ke kanan, dengan tempo yang cepat kerajinan itu mulai terlihat bentuknya. Bilah yang terlalu panjang dia potong menggunakan gunting. Alhasil jalinan purun itu nampak sudah jadi sebuah tas yang sempurna. Rusinah merupakan salah satu pengrajin yang ada di Kampung Purun.

Kampung Purun digagas sebagai kampung wisata yang menawarkan berbagai macam hasil kerajinan dari purun. Kampung ini memang dicanangkan sebagai sentra UMKM kerajinan purun dari masyarakat dan untuk masyarakat. 

Kemahiran membuat kerajinan ini tidak diperoleh sedari lama, melainkan dia mempelajarinya atas kursus yang dibuat pemerintah untuk memberdayakan mereka. “Kami diajarkan (membuat kerajinan) oleh orang Margasari, orang Amuntai,” ungkap Rusinah.

Kampung Purun
Ucapan selamat datang di Kampung Purun/M. Irsyad Saputra

Orang Amuntai memang terkenal semenjak dahulu menghasilkan kerajinan tangan, salah satunya adalah kerajinan dari purun. “Kadang orang datang ke sini, memesan, dulunya di sini cuma ada kerajinan tikar, sekarang sudah bermacam-macam,” paparnya. Rusinah asli dari Barabai, dan mendiami kampung ini sudah 20 tahun.

Bahan baku diambil dari sekitar kampung yang dipenuhi oleh tumbuhan Lepironia Articulata yang mudah tumbuh di daerah gambut. Sekilas memang tampak seperti rumput lainnya, namun ia masuk ke dalam suku teki-tekian (Cyperaceae), berkerabat dengan papirus yang menjadi bahan pembuatan kertas pada zaman kuno.

Demi menghemat waktu, Rusinah juga tidak selalu mencari bahannya sendiri, seringkali pula dia membeli bahannya dari orang yang khusus mencari purun. “Kadang mencabut sendiri, kadang membeli dari orang lain,” jelas Rusinah. Purun yang digunakan biasa disebut purun ganal. Ada varian lain seperti purun tikus yang saya ketahui juga dijadikan bahan baku anyaman, tetapi di sini varian tersebut tidak digunakan.

Lahan gambut yang tak jauh dari pemukiman warga sering dijadikan tempat syuting media yang meliput bagaimana proses pembuatan kerajinan purun. “Itu di belakang rumah tu ada padang banyu, kadang mereka yang syuting dibawa langsung ke sana untuk melihat langsung.”

Dalam prosesnya, setelah dikumpulkan, purun-purun ini kemudian dijemur selama kurang lebih tiga hari. Proses penjemuran sendiri tidak mesti selesai dalam waktu tiga hari, kadang memakan waktu hampir seminggu apabila cuaca tidak mendukung. Setelah proses pengeringan, purun ditumbuk. Setelah proses ditumbuk, purun kemudian direbus dan diberi warna tambahan sesuai selera. Proses belum usai di sini, setelah direbus, purun perlu dijemur lagi untuk menghasilkan kekuatan dan daya tahan maksimal lalu kemudian ditumbuk sekali lagi. 

Purun yang tadi awalnya hijau dan basah, setelah diolah menjadi berbagai macam kerajinan tangan seperti tikar, tas, bakul, topi, dan kampil. Ada yang sudah diwarnai dengan berbagai warna, ada juga yang dibiarkan tanpa warna. Melihat salah satu hasil karyanya, saya jadi teringat topi purun yang dahulu sering saya gunakan sebagai aksesoris untuk turun ke tanah. Topi purun memang menjadi ciri khas tutup kepala yang ada di Kalimantan, tidak berat saat digunakan di kepala.

Pemerintah menghibahkan mesin tumbuk yang bisa digunakan semua orang untuk kelancaran aktivitas anyam-menganyam. Dengan mesin, mobilitas kerja akan semakin cepat dalam menghasilkan suatu produk. Ada sekitar 4 kelompok usaha yang ada di sini menaungi para pengrajin dan menjadi wadah untuk pemasaran. Kelompok usaha membantu para pengrajin untuk memasarkan barangnya. Keuntungan adanya kelompok usaha ini adalah para pengrajin bisa fokus dengan kerajinannya, sementara urusan jual-menjual dari kelompok usaha. 

Setelah selesai berbincang dengan Rusinah, kami menyebrang jalan menuju kelompok usaha lainnya. Awan hitam tampak menggelayut di langit, hujan yang semula rintik perlahan-lahan menjadi deras. Kami melangkah memasuki toko, di sana banyak terpajang hasil-hasil kerajinan dengan berbagai macam motif dan warna. Seorang wanita paruh baya menyambut kami, senyum tipis mengembang di bibirnya, menanyakan apa keperluan kami. Setelah memperkenalkan diri, kami disuruh menunggu sebentar.

Siti Mariana, merupakan pengepul barang-barang dari pengrajin yang ingin dipasarkan. Sejak 2016, dia sudah membuat sekaligus memasarkan kerajinan-kerajinan yang ada. Pemasaran online menurut dia hanya menjangkau Whatsapp dan Instagram, belum sampai ke marketplace. Siti Mariana merupakan penduduk asli Kampung Purun. Kemampuan menganyamnya sudah diperoleh semenjak dahulu, diajarkan langsung oleh orang tuanya. Sebelum menjadi kampung kerajinan, dia dan keluarganya sudah terlebih dahulu membuat anyaman meski hanya sebatas tikar. 

“Kami beranggotakan 45 orang, meski yang aktif cuma 30 orang saja.” “Kalau dapat orderan semuanya mengerjakan bersama-sama,” paparnya. Orderan memang lesu ketika pagebluk datang. Dampak yang dirasakan Kampung Purun juga sama, orderan-orderan untuk acara yang biasa ramai datang mendadak sepi karena acara-acara mulai jarang diselenggarakan. Orang-orang di sini tidak sepenuhnya bergantung ke purun untuk menopang hidup, selain menjadi pengrajin mereka juga bertani untuk menambah penghasilan mereka. 

Para pengrajin, selain mendapat pelatihan dari pemerintah, mereka juga mendapat pengajaran dari sesama pengrajin. “Yang bisa ngajarin yang belum bisa, begitu seterusnya sampai semua bisa,” katanya. 

Pemberdayaan para pengrajin merupakan sinergi yang bagus antara pemerintah dan rakyat dalam mengelola ekonomi daerah yang bersifat otentik. Selain menjadi sumber ekonomi, pendirian kampung-kampung UMKM ini bisa mendorong pelestarian produk-produk asli khas daerah. Terlepas dari praktisnya, produk kerajinan khas daerah biasanya terbuat dari material alam yang ramah lingkungan, sayangnya produk ini kebanyakan hanya menjadi souvenir oleh-oleh bagi para wisatawan dengan misi mengurangi limbah, kedepannya produk-produk ini bisa menjadi gaya hidup kita (lagi) menyesuaikan dengan sikap kita yang semakin memihak pada lingkungan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Cerita dari Desa Wisata Terong