Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri
Semestinya cuaca akan baik-baik saja saat siang itu (29/8/2024) kami baru sampai di Kampung Malaumkarta. Kami transit di homestay Malaway yang dikelola Hermanus Doo (50), untuk istirahat, makan siang, mandi, menyiapkan pakaian, dan mengatur logistik. Perjalanan dari pintu hutan Malagufuk dengan mobil Hilux milik Alberto Yekwam alias Berto amat singkat, kurang dari 15 menit. Langit biru sedari pagi memang sedang melingkupi Malagufuk, rumah bagi banyak cenderawasih dan fauna endemis. Keteduhan khas hutan tropis yang berbanding terbalik dengan teriknya pesisir jalan poros Sorong–Manokwari.
Sebelumnya, dari puncak jalan tertinggi di kaki Bukit Malaumkarta, tampak jelas Pulau Um menyembul di permukaan laut. Bagian tengah pulau sangat rimbun dengan tutupan pohon, di antaranya ketapang dan cemara udang, dikelilingi hamparan pasir putih. Warna air laut bergradasi, cenderung toska di zona litoral—bagian perairan yang kerap pasang surut—lalu lebih gelap di perairan dangkal. Garis-garis batas pulau dan air laut di sekitarnya begitu kontras karena hari itu benar-benar cerah.
Tidak bisa dimungkiri, saya sampai berharap dalam batin, terangnya hari awet selama kunjungan kami ke Pulau Um. Hari itu, agendanya memang piknik. Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), bahkan bersedia membawa banyak peralatan camping dari rumahnya di Malagufuk. Peserta berkemah cukup banyak. Selain Opi, warga Malagufuk lain yang ikut adalah Andy (adik kandung Opi). Adapun pemuda Malaumkarta yang gabung adalah Soraya dan Jackson. Hermanus akan mengantar kami dengan perahunya yang bersandar di pantai tak jauh dari penginapan. Sementara Berto dan Ariss Saa, saudaranya, akan menyusul malam setelah membereskan beberapa keperluan di Kota Sorong.
Lazimnya berekreasi, kami menyiapkan aneka makanan dan minuman sebagai bekal bermalam di pulau. Sudah terbayang suasana khas camping di pantai dengan api unggun, menyeduh kopi panas, membicarakan kehidupan, atau memotret bintang. Kejenakaan Opi dan Andy yang menular membuat saya cukup optimis rencana piknik kami akan baik-baik saja.
Disambut kelelawar, camar, dan hujan besar
Kami baru benar-benar siap berangkat menyeberang ke pulau sekitar pukul 17.00 WIT. Hermanus pergi lebih dulu ke pantai untuk menyiapkan perahunya. Saya dan kawan-kawan yang lain gotong-royong menggotong barang dan bekal konsumsi. Padahal hanya ke pulau saja, tapi bawaannya seperti pindah rumah.
Total ada empat tenda yang dibawa. Saya dan Mauren sama-sama menggendong ransel dan dry bag (tas kedap air), sementara Deta tetap dengan ransel khusus kamera dan lensa andalannya—beratnya bahkan melebihi carrier gunung saya. Dua lembar koba-koba atau tikar tradisional khas Papua yang kami beli di Konda juga ikut terangkut.
Satu per satu barang kami taruh ke perahu fiber biru bertuliskan “Putra Malaway”. Mesin tempel Johnson 15 PK sudah terpasang di buritan. Sembari menunggu giliran naik perahu, saya mendadak khawatir dengan perubahan rona langit. Cerlang rawi siang tadi tidak berbekas. Mega yang semula putih tipis tahu-tahu menggumpal kelabu, tampak melayang dekat sekali dengan permukaan air. Empasan angin mulai menggoyangkan lautan. Seolah paham kondisi cuaca barusan, Hermanus bergegas menyalakan mesin dan melajukan perahu berisikan delapan orang ini ke Pulau Um.
Untungnya, jarak menuju Pulau Um dekat saja. Hermanus mengarahkan laju perahu ke sisi timur pulau. Sebab, di sanalah tempat kami akan berkemah. Lima menit kemudian, perahu merapat ke pantai berpasir putih. Kami bergegas turun dan mengangkut seluruh barang bawaan ke pinggiran batas hutan mini itu.
Tenda-tenda segera dibuka. Mulanya cukup mendirikan tiga tenda. Lalu, Opi dan Jackson memasang flysheet di atas bekas api unggun. Terdapat tiang-tiang bambu yang tertancap, seperti sengaja dipasang untuk tempat berteduh darurat. Deta bergegas menyiapkan kamera dan lensa tele. Ia hendak merekam fenomena paling unik di pulau ini, yaitu pergantian ruang hidup kelelawar dan burung camar saat petang tiba.
Selain pasir putih dan kejernihan lautnya, Pulau Um juga dikenal karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan camar. Kedua satwa ini menggunakan hutan di tengah pulau secara bergantian sesuai waktunya. Sebagai makhluk yang aktif di malam hari, satu per satu kelelawar akan mulai terbangun dan terbang jauh ke arah Malaumkarta untuk makan sampai pagi. Sementara para camar melayang sedikit lebih tinggi di atas pulau, menunggu kesempatan untuk singgah dan beristirahat setelah beraktivitas sedari pagi sampai sore. Dan sebaliknya, begitu seterusnya. Sayang, karena langit sudah gelap dan mendung, kami tidak mendapatkan gambar camar.
Kelelawar, sekalipun berparas sangar dan mengerikan, perannya di alam tidak bisa diremehkan. Di daratan yang jauh dari rumahnya—Pulau Um—kelelawar akan melahap ribuan nyamuk yang bisa merugikan manusia. Kelelawar juga akan menebar biji maupun buah-buahan yang sudah dimakan dari pohon-pohon, untuk dikembalikan ke alam. Lalu camar berfungsi seperti predator puncak, yang akan menjaga keseimbangan rantai makanan.
“Kalau saja dapat momen sunset, pemandangan pergantian kelelawar dan camar ini akan cantik sekali,” kata Opi.
Awalnya memang begitu yang kami harapkan. Namun, jangankan sunset, seutas warna jingga khas senja saja tidak tampak. Mega mengarak mendung sejak kami akan berangkat ke pulau ini. Di utara pulau, kira-kira dalam radius 1–2 kilometer, langit berubah gelap dan menghitam drastis di atas batas perairan Malaumkarta dengan Samudra Pasifik. Saya kemudian jadi teringat tentang sisi lain dari samudra terluas di dunia, yang menutupi hampir 50 persen perairan bumi ini, yaitu reputasinya sebagai pusat badai tropis.
Belum genap tenda berdiri, tiba-tiba rintik-rintik air dari langit jatuh membasahi kepala. Tanpa perlu terlalu lama menyadari, saya berseru kepada Deta untuk segera membereskan kameranya. Begitu pun pada teman-teman yang masih sibuk menyelesaikan pendirian tenda ketiga. Kami mengajak mereka mengamankan barang-barang dan memasukkannya ke tenda segera.
“Aduh, kenapa malah hujan ini?” keluh Opi dengan nada lantang. Tentu saja dia bercanda. Tak disangka, alam membalikkan optimisme kami.
Beberapa jam kemudian, di tengah gerimis Hermanus datang bersama Berto dan Ariss. Setelah itu hujan kembali mengguyur deras sepanjang malam. Kami mendirikan satu tenda lagi untuk tempat tidur tambahan dan menyimpan barang-barang. Tiada perayaan api unggun di bawah flysheet darurat itu. Kami hanya menghidupkan kompor kecil saja untuk memasak makan malam sederhana dengan mi instan, plus kopi panas.
Akan tetapi, keterbatasan tidak menghalangi perbincangan tentang isu-isu seputar Papua. Suasana tetap hangat dan seru. Makin larut, obrolan makin melebar ke mana-mana.
Pulau kecil yang jadi rumah aman untuk burung dan biota laut
Pulau ini teramat jauh dari rumah kami—saya, Mauren, dan Deta—di Jawa Tengah. Ribuan kilometer jaraknya. Jika kami harus pergi mencari pulau tropis seperti ini, yang terdekat adalah Taman Nasional Karimunjawa. Jaraknya sekitar 4–5 jam dengan kapal feri dari Kota Semarang. Bayangkan jadi orang Malaumkarta. Ingin main ke pulau, tinggal menyeberang kurang dari 10 menit. Berkeliling pulau pun tidak sampai setengah jam.
Untuk beberapa saat kami menikmati itu. Walau hujan memupus suasana camping yang ideal, tetapi tidak sampai mengurangi ketakjuban saya terhadap pulau tak berpenghuni (manusia) ini. Terutama siklus alam yang berjalan—keanekaragaman hayati—yang bergantung sepenuhnya pada Pulau Um dan perairan sekitarnya.
Tidak hanya kelelawar dan camar, kami juga menjumpai spesies burung lainnya yang singgah di Pulau Um. Beberapa yang berhasil kami lihat antara lain burung gagak, serta burung-burung kecil, di antaranya cekakak suci atau sacred kingfisher (Todiramphus sanctus) dan kipasan kebun atau willie wagtail (Rhipidura leucophrys).
Biota laut yang dilindungi negara dan kerap terlihat di perairan Pulau Um pun tidak kalah banyak. Mengacu informasi dari Loka PSPL Sorong, setidaknya terdapat empat fauna endemis, yaitu ikan napoleon (Cheilinus undulatus), hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera), dugong (Dugong dugon), dan penyu. Penyu sendiri terbagi menjadi tiga spesies, antara lain penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu-penyu ini dibuatkan penangkaran telur khusus di sepetak kecil dengan pagar pelindung sederhana berupa jaring. Letaknya di utara tenda kami.
Lalu di dasar perairan, Hermanus menyebut kondisi terumbu karang masih terbilang sehat. Sebab, peraturan egek sangat ketat dan membuat nelayan hanya boleh melakukan molo atau menangkap ikan secara tradisional. Baik itu memancing dengan kail, menembak dengan harpun atau seruit, dan menombak. Tak jarang beberapa nelayan terlihat melaut hanya dengan perahu dayung dan menyelam berbekal kacamata selam sederhana untuk menangkap ikan. Sebagaimana diketahui, selama egek dilarang berburu lobster, lola (siput laut), dan teripang. Aturan egek juga berlaku di Pulau Um, bahkan lebih ketat. Siapa pun dilarang mengambil keanekaragaman hayati di pulau tersebut seumur hidup.
Artinya, Pulau Um telah menjadi bagian dari kebudayaan suku Moi di Malaumkarta Raya, khususnya Kampung Malaumkarta itu sendiri. Jems Su, pemuda Malaumkarta yang juga nelayan, mengaku bersyukur dengan tradisi egek dan keberadaan Pulau Um di kampungnya.
“Saya merasa bangga bahwa wilayah Malaumkarta masih mempunyai kehidupan tradisional, dan nilai-nilai budayanya masih ada sampai hari ini,” ujarnya ketika ditemui di kampung, “ini (tradisi dan Pulau Um) adalah bagian yang harus dijaga dan dilindungi di Malaumkarta Raya.”
Baginya, tidak masalah jika jenis tangkapan ikan terbatas karena egek. Toh, Ia bisa mencari sumber ekonomi tambahan dari ekowisata Pulau Um, baik itu sebagai pemandu atau motoris perahu. Ia bahkan gembira bukan main jika ada media atau stasiun televisi mempromosikan daerahnya sebagai tujuan ekowisata berbasis budaya.
Keesokan paginya, pagi sempat menunjukkan rona fajar sejenak di langit. Sisa hujan semalaman hanya membekas serupa embun-embun yang menempel di dinding tenda dan flysheet. Beberapa peralatan makan dan minum memang basah karena tak ikut disimpan, tetapi itu bukan masalah. Hanya perlu dilap dan dijemur sebentar.
Sebelum hari benar-benar terang, saya berjalan sedikit ke tepi pantai yang sedang surut. Pemandangan di pesisir Malaumkarta Raya sangat menakjubkan. Saya menduga-duga sebelah mana hutan Malagufuk tempat kami blusukan melihat cenderawasih beberapa hari sebelumnya. Ini baru secuil bagian dari Papua. Perbukitan memanjang dengan tutupan hutan tropis lebat nyaris tanpa cela—dan semoga terus begitu. Sebab, orang-orang Malaumkarta Raya bertekad menjadikan tanah adat di wilayahnya menjadi benteng alam terakhir suku Moi di Kabupaten Sorong.
“Di sana ada air terjun yang jatuh ke laut,” tunjuk Andy ke arah perbukitan itu. Kepada saya, ia bilang sebenarnya hanya perlu berlayar beberapa menit ke arah barat pesisir Malaumkarta. Sayang, kami belum sempat mampir karena diburu waktu untuk liputan di kampung dan menemui beberapa tokoh. Saya hanya bisa berharap bisa kembali lebih lama di lain waktu.
Masih ada ruang perbaikan untuk berkembang dan berkelanjutan
Satu hal yang mengganggu dan sangat mencolok di Pulau Um adalah sampah anorganik. Kemungkinan bekas buangan para pengunjung yang berkemah sebelum kami. Rata-rata kemasan makanan dan botol minuman. Mengingat lokasi camp ideal hanya berada di sisi timur pulau, tentu akan tampak seperti menumpuk di satu tempat saja.
Sampah-sampah itu kebanyakan berserakan di batas vegetasi ketapang dengan area terbuka. Tempat di mana tenda-tenda biasa didirikan. Persoalan sampah tidak hanya berdampak pada pariwisata, tetapi juga bisa mengancam kelestarian ekosistem pulau. Sudah jamak terjadi penyu terlilit limbah jala nelayan, atau menelan plastik-plastik yang tak akan mungkin terurai.
Ke depan, pengelola wisata Malaumkarta perlu memperketat lagi pengawasan pada para wisatawan. Torianus Kalami, tokoh suku Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), mengakui masih ada pekerjaan rumah untuk mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ia berharap generasi muda bisa meneruskan kebudayaan Moi dan menjaga Pulau Um.
Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan katang-katang (Ipomoea pes-caprae) yang tumbuh cukup subur di atas pasir pantai. Bentuknya khas, serupa tanaman merambat dengan batang menjalar dan daun yang menghampar seperti rerumputan. Di sela-sela itu tumbuh bunga berbentuk seperti corong berwarna ungu. Titik terbanyak berada di sebelah utara area camp. Mengepung tempat penangkaran telur penyu.
Di balik khasiatnya sebagai obat atau bahan sayuran, tanaman yang juga disebut batatas pesisir itu rupanya memiliki dampak negatif. Menurut Fitri Pakiding, peneliti penyu Universitas Negeri Papua, dalam presentasinya menyebut katang-katang mengancam kehidupan penyu, salah satu satwa endemis di perairan Malaumkarta ini. Meski normal berhabitat di pantai, tetapi akar tanaman ini bisa menembus kedalaman pasir tempat telur penyu bersarang dan menjadi parasit. Akar tersebut akan membungkus telur penyu, bahkan menyerap seluruh nutrisi sehingga menggagalkan penetasan.
Tentu, untuk mengatasi tantangan tersebut perlu langkah kolaboratif. Kelestarian Pulau Um bukan hanya tanggung jawab orang-orang Moi semata, melainkan juga kita sebagai tamu yang datang ke rumah mereka. (*)
Foto sampul:
Perahu Hermanus tertambat di pantai Pulau Um, Malaumkarta, Sorong/Deta Widyananda
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.