Sebagai anak yang dibesarkan di kaki gunung, tempat bermainku biasanya adalah sungai dan gunung. Lama-lama, tentu wajar jika muncul keinginan untuk bermain di tempat baru. Amir, kawanku yang sering kumintai tanggapan tentang kehidupan, juga teman menghujat dan tertawa bersama, mengabulkan keinginan itu melalui ajakan untuk menyeberang ke pulau. Nama pulau itu Kapoposang. Letaknya di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Pulau itu dikenal sebagai lokasi snorkeling dan diving terbaik se-Sulawesi Selatan, karena memiliki terumbu karang yang indah, baik yang alami maupun hasil transplantasi.
Tengah malam, aku berangkat ke muara Kali Bersih Pangkep bersama kawan-kawan, yakni Amir, Rahmat, Anas, dan Nono. Kapal kami lalu mendapat tambahan sekira sepuluh orang penumpang—enam orang mahasiswa dari beberapa kampus di Makassar yang belum kukenal dan sisanya penduduk asli Pulau Kapoposang yang nantinya akan memberi kami atap untuk menginap.
Dalam hawa udara selepas salat Subuh, tali mulai dilepaskan, jangkar ditarik naik, mesin dihidupkan, dan kapal lepas landas. Kapal nelayan jenis pagae itu membawa kami beranjak meninggalkan dermaga bersama kantuk yang menggantung di kelopak mata. Semalaman suntuk kami memang berjaga menunggu kapal berangkat. Pelan laju kapal meninggalkan muara menuju laut lepas. Ada yang mulai terbaring untuk melepaskan kantuk yang mulai menyiksa, ada pula yang tetap terjaga menikmati pemandangan subuh—termasuk aku. Kapal tiba di laut lepas bertepatan dengan kelahiran kembali matahari di dunia, yang merekah dan memerah di ufuk timur, mengganti kelap-kelip bintang di langit dan lampu perkotaan dengan cahaya pucat yang semakin memanas.
“Tenang! Tertawa saja dulu, Bro,” kata Amir. Itu jawabannya kepadaku, dari orang yang gemar tertawa kepada orang yang juga senang tertawa, ketika kutanyai, “Hal apa lagi yang akan kita dapatkan di perjalanan ini?”
Ujung-ujungnya kami berdua tertawa.
Tapi tiba-tiba aku terdiam. Ombak terbelah oleh laju kapal yang semakin dipercepat. Menyaksikan terik matahari meninggi menyinari pulau-pulau, pepohonan rindang menghijau di tengah birunya lautan, dan atap-atap rumah yang memantulkan cahaya, bagiku yang tumbuh besar jauh dari lautan, adalah objek pandangan yang asing. Para penumpang kapal juga sama asingnya bagiku. Meskipun di awal pelayaran kami menyempatkan diri untuk saling menyapa dan sedikit bercengkerama, pada akhirnya kami kembali asyik menyendiri, atau mengambil posisi nyaman bersama kenalan masing-masing membentuk kelompok-kelompok kecil. Sebagai orang yang sering tertawa melihat hal-hal baru, aku pun tertawa dalam hati melihat suasana itu.
Setelah lima jam perjalanan terombang-ambing ombak lautan, jangkar pun diturunkan dan kapal sandar di pantai pulau yang kami tuju. Bersama penumpang lainnya, aku mengemasi barang lalu turun dengan kelopak mata yang meronta ingin segera menutup. Tadi aku sempat terlelap beberapa saat di kapal, tapi itu belum cukup. Rasanya pun tak senikmat tidur di kasur hotel bintang lima yang pernah kuinapi, tidak pula senyaman terlelap di kasur sederhana rumahku. Tapi, justru hal itulah yang bikin perjalanan menjadi menarik.
Seturun dari perahu gabus yang mengangkut kami ke batas laut dan darat, kuinjakkan kaki di hamparan pasir dan kurasakan pasir putih Pulau Kapoposang menyalami telapak kakiku dengan lembut. Seketika itu pula angin pantai memeluk tubuhku yang sudah gerah, menciptakan senyum di pucuk bibir yang sudah mengering.
“Selamat datang! Silakan simpan barangnya di bawah rumah, lalu ke meja makan,” sambut ramah ia yang menyambut kami di rumah Pak Desa atau Pakde.
Hidangan makanan telah tersaji di meja pada pelataran rumah panggung. Santapan itulah yang pertama kali disuguhkan kepada kami. Tentunya variasi olahan ikan khas masyarakat pulaulah yang menjadi sajian utama. Ikan bakar cakalang digoreng dengan sambal matah serta tumis ikan kering menjadi sesuatu yang memanggil untuk disantap.
Duduk di kursi plastik sederhana, dinaungi pohon sirsak, kami mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongan. Susana teduh saat menyantap makanan dan pemandangan deretan kapal nelayan terparkir di pinggir laut menjadi bumbu tersendiri, membuat makanan yang kami lahap lebih nikmat dibanding makanan restoran ternama di perkotaan.
Usai melengkapi jamuan dengan asap tembakau, salah seorang di antara kami mengarahkan membentuk lingkaran kecil untuk memulai sesi perkenalan. Nama-nama mulai dilontarkan—Adnan, Ditow Riska, Indah, Husnul, Nyong, Kak Syukron, Haliyah, Afdal—lengkap dengan sedikit informasi soal latar belakang. Canda pun mulai dimainkan sehingga tawa bisa kulihat di wajah mereka.
Setelah perkenalan, kami diarahkan oleh Kak Fahmi, warga Kapoposang yang juga adalah seniorku di kampus, ke salah satu rumah penduduk tempat kami akan menginap selama beberapa hari ke depan. Pemilik rumah itu, Pak Usman, menyambut kami dengan hangat. Kami diarahkan untuk membersihkan diri di sumur yang airnya sedikit asin. Lagi-lagi aku mendapat pengalaman baru.
Kejadian menarik lainnya kualami usai membunuh kantuk, jam 3 pagi keesokan harinya. Telingaku menangkap suara burung yang belum pernah kudengar sebelumnya. Bukan ayam, bukan pula burung maleo, melainkan burung gosong kaki merah yang langka. Menurut data, burung gosong kaki merah ada di Australia dan Indonesia—NTT dan Kepulauan Aru dan Pulau Buru, Maluku. Aku tak menyangka burung langka tersebut hidup liar di Pulau Kapoposang.
Dini hari itu, aku keluar dan duduk di pantai, mendengarkan suara burung gosong kaki merah yang seolah menjadi beker yang membangunkan warga Kapoposang. Nyanyian itu menggugah para nelayan yang kemudian meninggalkan rumah dengan pakaian yang sederhana, melepaskan tali kapal yang terikat di batang pohon di pantai, menarik jangkar yang berkarat, lalu menghidupkan mesin kapal dan berlayar di bawah bintang-bintang yang merajai dini hari. Nantinya, mereka akan melepas bulan dan bintang untuk kemudian menyambut matahari baru, kelahiran baru.
Melihat semua itu, dalam hati aku berguman, “Adakah hal lain yang lebih indah selain menyaksikan mereka?”
Matahari telah meninggi. Kawan-kawan sudah bangun dan kami beranjak ke rumah Pakde untuk sarapan. Kopi hitam menjadi penutup santapan kami, menjadi teman duduk bersantai di pelataran rumah. Kurasakan keakraban di antara kami semakin mengental lewat cengkerama yang berlangsung. Kami mulai berdiskusi mengenai potensi pulau setelah mendengar Om Safar, salah seorang penduduk Kapoposang, menceritakan gambaran Pulau Kapoposang.
Dari dirinya pula aku belajar makna menanam pohon.
“Jangan menanam pohon untuk dirimu sendiri, tapi menanamlah untuk orang banyak,” demikian pesan Om Safar sewaktu mengajak kami menanam pohon kelapa sebagai cendera mata bagi Kapoposang.
Aku bersyukur sebab orang-orang yang mampir ke Kapoposang bersamaku mempunyai ilmu yang mumpuni. Mereka menyandang status mahasiswa yang sering disebut sebagai agen perubahan (agent of change). Aku merasa berada dalam lingkup wacana yang berbobot. Konsep pendidikan yang ideal bagi masyarakat pulau, alternatif kesehatan, pertanian yang sesuai dengan daerah kepulauan, sistem ekonomi kreatif untuk mendukung perekonomian masyarakat pulau, sampai pengembangan pariwisata menjadi topik yang kami perbincangkan. Di antara canda tawa, di sela-sela seruputan kopi dan embusan asap rokok, suara-suara perubahan yang keluar dari mulut mereka sangat syahdu untuk didengarkan.