Travelog

Catatan tentang Prasasti dan Hulu Sungai Utara

Sebelum mengambil keputusan tentang topik skripsi, saya banyak menimbang-nimbang, terutama urusan kedekatan personal dengan objek penelitian. Kedekatan personal ini bisa dilihat dari berbagai aspek: kedekatan jarak tempuh menuju objek, kesamaan daerah asal dengan objek, juga penguasaan bidang keilmuan mengenai objek tersebut. Dari sekian banyak topik akhirnya muncul keinginan untuk membahas prasasti yang berada di Museum Lambung Mangkurat. Prasasti itu terbuat dari kayu ulin dengan pahatan berupa huruf Jawi atau huruf Arab Melayu dengan bahasa Banjar sebagai bahasa pengantar.

Berdasarkan deskripsi museum, prasasti itu ditulis atas perintah Sultan Adam mengenai larangan [membakar] petasan pada bulan puasa. Menurut pemandu museum, prasasti itu belum pernah diteliti secara resmi. Yang ada hanya pembacaan awal saja. Dengan alasan yang sudah saya kemukakan di awal, saya resmi memilih prasasti itu sebagai objek peneltian saya.

Prasasti yang menjadi objek penelitian/M. Irsyad Saputra

Mengungkap huruf demi huruf yang ada pada prasasti itu tidaklah mudah. Saya dibantu oleh sanak saudara, peneliti di balai bahasa, dan pegawai museum yang menguasai huruf Arab Melayu. Setelah bersusah payah, akhirnya terungkaplah bahwa prasasti itu tidak hanya menjelaskan larangan petasan, namun juga larangan taruhan dan mencuri. Setelah prasasti itu terbaca utuh, masih ada perkara lainnya yang belum terpecahkan: Siapakah yang membuat prasasti itu? Kepada siapa larangan itu ditujukan? Dan dari manakah asal prasasti itu?

Untuk menemukan jawaban-jawaban pertanyaan di atas, selain melakukan studi pustaka saya juga melaksanakan beberapa kunjungan dan wawancara. Salah satu tempat yang saya datangi adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara, persisnya wilayah Alabio. Berdasarkan hasil studi pustaka, tulisan yang ada di prasasti itu merujuk pada kosakata Banjar Hulu, lebih tepatnya daerah Banua Lima yang sekarang wilayahnya berada dalam teritori Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong.

Saya menumpang di rumah sepupu. Kesempatan itu sekaligus saya gunakan untuk meminta tolong pada sepupu untuk mengoreksi hasil terjemahan saya. Sepupu saya mengerti dialek Banjar Hulu; ia bisa menjadi sumber sekunder untuk penelitian saya. Pengoreksian malam itu cukup menyita waktu. Sembari berdiskusi, saya menikmati hidangan yang disediakan bibi, yakni ikan papuyu (betok) goreng dengan cacapan. Makanan khas Banjar itu serta candaan ala Alabio yang terkenal seantero Kalimantan Selatan berhasil membuat diskusi menjadi lebih hidup. Saya mendapat banyak masukan mengenai pembacaan prasasti.

Besoknya, saya diajak oleh sepupu saya untuk menikmati keindahan Danau Panggang sekaligus memancing di sana. Danau Panggang adalah sebuah kecamatan. Daerah itu 65% bagiannya terdiri dari rawa dan sungai. Rumah-rumah penduduk berdiri rapi di atas sungai dan rawa, terpisah dari jalan aspal. Penghubung antarrumah adalah titian-titian kayu. Kebanyakan penduduk menangkap ikan. Sebagian diolah menjadi ikan asin, lainnya dijual dalam keadaan segar. Selain itu ada pula warga yang membuat tambak ikan di pinggir sungai.

Hampir semua rumah mempunyai perahu, baik perahu kecil (cas) atau perahu besar (kelotok).

Salah satu sudut Danau Panggang/M. Irsyad Saputra

Sebelum berangkat ke Danau Bitin, salah satu danau di Kecamatan Danau Panggang, saya singgah ke rumah salah seorang kerabat yang berprofesi sebagai pencari ikan. Sembari menunggu persiapan memancing, saya mengobrol dengan seorang kakek yang tampaknya sudah sangat sepuh. Menurut ceritanya, kampung itu sudah lama berdiri, bahkan jauh sebelum masa Kerajaan Banjar. Berbanding lurus dengan pernyataan sang kakek, menurut Hikayat Banjar, daerah Danau Panggang dulunya merupakan pusat Kerajaan Kuripan yang sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura.

“Di kampung ini bahkan tidak ada perantau dari daerah lain, mungkin mereka tidak mau tinggal di atas sungai dan rawa,” kata sang kakek.

Persiapan memancing pun rampung. Saya berpamitan dengan sang kakek karena akan memulai perjalanan menyusuri Danau Bitin naik perahu. Saya berangkat bersama Paman Usup dan temannya. Sepupu saya batal ikut karena suatu hal.

Danau Bitin tidak seperti danau pada umumnya. Danau itu lebih mirip sungai bercampur rawa yang luas. Saat menyusuri danau, saya melihat beberapa perkampungan yang didirikan di atas air tanpa jalan raya aspal sama sekali. Tiang listrik di sana pun ditanam di dasar danau. Hilir mudik perahu—termasuk perahu toko kelontong—memecah kesunyian danau dan menimbulkan gelombang air. Perahu yang kami naiki sangat kecil sehingga goyangan gelombang sangat kentara. Selama di perahu, tidak dianjurkan untuk banyak bergerak.

Berbeda dari memancing di daratan, di mana selalu ada tempat untuk bernaung, memancing di tengah danau harus tahan siksaan panas matahari. Siang itu cahaya matahari benar-benar terik dan sampai ke badan tanpa dihalangi awan.

Memancing di bawah terik matahari/M. Irsyad Saputra

Kesabaran mutlak dibutuhkan dalam memancing. Biasanya, para pemancing meluangkan waktu hampir 12 jam di perahu agar hasil tangkapan memadai. Hari itu beberapa kali kami harus pindah titik memancing. Tidak ada umpan khusus yang digunakan, hanya remah-remah roti di rumah yang kemudian dikeraskan. Ikan yang kami dapat kebanyakan ikan patin sungai yang lemaknya lebih sedikit daripada patin tambak.

Sore menjelang namun hasil tangkapan masih terlalu sedikit untuk dibawa pulang. Paman Usup memutuskan untuk tinggal lebih lama. Saya dititipkan naik perahu kenalannya yang kebetulan baru kembali dari hilir. Hari itu ditutup oleh matahari terbenam yang sangat indah di danau, dengan latar belakang perkampungan di atas air.

Asa manusia terus memungkinkan mereka untuk bertahan di tengah kondisi alam yang tak memungkinkan, hingga akhirnya muncul kebudayaan-kebudayaan baru. Rawa dan sungai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari itu, termasuk dalam konteks kebudayaan Banjar. Banyaknya produk budaya, seperti alat-alat penangkap ikan tradisional dan perahu yang membawa mereka ke hulu dan ke hilir, memperlihatkan ikatan yang kuat antara orang Banjar dengan sungai dan rawa.

Sepat kering yang jadi komoditas Danau Panggang/M. Irsyad Saputra

Seminggu setelahnya saya mampir lagi ke Alabio, juga ditemani sepupu saya. Tujuan kali ini adalah mendapatkan data tentang bambu dan cara pengolahannya dengan melihat langsung ke lokasi pembuatan alat penangkap ikan dari bambu. Bambu menjadi esensial dalam penelitian saya. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa mencuri berbagai jenis bambu seperti batung, buluh, dan paring adalah dilarang. Kemungkinan perihal larangan pencurian bambu itu ditulis karena di tempat yang diatur oleh prasasti tersebut banyak bambu.

Hanya lima menit berjalan kaki dari rumah sepupu saya, sampailah kami di depan rumah sang pengrajin, Amir Husin. Keluarga Amir sudah turun-temurun membuat alat-alat penangkap ikan. Kini tongkat estafet itu dipegang oleh Amir dan Ayahnya. Amir, yang usianya tidak terpaut jauh dari saya, menjelaskan secara rinci jenis-jenis bambu yang digunakan, cara pengolahannya, juga memperlihatkan hasil kerajinannya. Ada beberapa alat seperti lukah, sarakap, tangguk, tantaran, dan lainnya yang bahannya terbuat dari beragam jenis bambu. Informasi ini tentu berharga bagi pengerjaan penelitian saya. Ada indikasi bahwa sentra pengrajin alat-alat penangkap ikan sudah semenjak dulu eksis di hulu sungai.

Keesokan harinya, saya kembali melakukan pengambilan data dengan menemui para pedagang perkakas penangkap ikan di sekitar Pasar Alabio. Beberapa dari yang saya wawancarai sudah sepuh. Mereka tampak sangat antusias ketika saya mulai bertanya. Mereka mengaku menyambung hidup dari hasil berjualan kerajinan sudah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Barang dagangan kebanyakan berasal dari daerah Sungai Limas yang, selain menghasilkan alat penangkap ikan, juga memproduksi perkakas rumah tangga seperti wadah, kursi, dan tikar.

Berfoto bersama pedagang kerajinan bambu/M. Irsyad Saputra

Salah satu hal yang sekarang dirasakan para pengrajin dan pedagang adalah bahan baku yang sudah semakin sulit untuk dicari. Akibatnya harga barang pun naik.

“Mencari bambu sekarang sulit sekali rasanya. Habitat aslinya tergerus sehingga sebagian harus didatangkan dari Kalimantan Tengah. Makanya harganya jadi naik,” ungkap Haji Bahrun, salah seorang narasumber, seraya membenarkan pecinya. “Misalnya paikat, yang lebih banyak tumbuh di daerah Barito, langsung [di]datangkan dari sana. Selebihnya, bambu yang lain, ya, dari daerah sini. Tapi memang jumlahnya sudah tidak banyak.”

Selain soal kesulitan mencari bahan baku pembuatan perkakas penangkap ikan dari bambu, Haji Bahrun juga berkomentar tentang cara yang sekarang digunakan oleh sebagian orang untuk menangkap ikan.

“Sekarang pun banyak yang mencari ikan dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti menyetrum yang mengakibatkan matinya benih-benih ikan dan mematikan usaha mencari ikan tradisional,” ujarnya.

Curahan hati Haji Bahrun membuka mata saya soal betapa sudah tidak sehatnya hubungan antara manusia dan alam. Menangkap ikan dengan menyetrum justru mematikan benih-benih ikan serta biota air lainnya. Perlu regulasi yang tidak main-main untuk penyetrum ikan ataupun pengguna racun ikan agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Usai mengumpulkan data di daerah Hulu Sungai Utara, ternyata masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Selanjutnya saya mesti ke Tamban, daerah asal prasasti yang saya teliti, yang berjarak sekitar 187 km dari Hulu Sungai Utara, untuk menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah menjadi satu kesatuan cerita utuh.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *