Sekitar 11 tahun yang lalu, saya pergi ke Bali bersama seorang teman satu SMA untuk pertama kali . Ngeteng. Dari Jogja, kami naik Kereta Api Sri Tanjung yang saat itu belum dipasangi pendingin ruangan. Ongkosnya masih Rp 38 ribu dan jadwalnya masih berantakan. (Lagu Iwan Fals masih relevan.) Berangkat pagi jam 7, kami sampai di Banyuwangi sekitar jam 11 malam, telat dua jam dari jadwal.

Dari Banyuwangi Baru, kami langsung jalan ke Pelabuhan Ketapang. Grasa-grusu, kami beli tiket ferry. Lalu, sebelum masuk ke dalam ferry, karena takut tidak dapat bis menuju Denpasar malam itu juga—maklum nubie—kami naik bis Surabaya-Denpasar. Ongkos bis itu, seingat saya, Rp 35 ribu. Sebelum terang kami sudah tiba di Terminal Ubung.

nostalgia bali
Main bola di Pantai Kuta/Fuji Adriza

Seperti halnya kebanyaan nubie di masa itu, yang kami tuju di Bali adalah Pantai Kuta. Tapi, bagaimana cara ke Kuta dari Ubung kami sama sekali tak mengerti. Untung pagi itu banyak orang di Ubung sehingga kami bisa bertanya soal arah yang harus kami ambil jika hendak ke Kuta.

“Ntar ketemu perempatan luruuuus aja terus sampe perempatan terakhir. Ntar belok kanan,” begitu instruksi dari penjual soto ayam yang kami tanyai. Saya tak ingat bagaimana ekspresinya. Tapi kemungkinan ia menahan senyum sebab sepagi itu sudah mendapat pertanyaan absurd: bagaimana cara ke Kuta … jalan kaki dari Ubung?

Layang-layang sialan

Sebagai anak muda yang sok tahu, kami tak serta-merta percaya pada instruksi sang penjual soto. Maka, begitu melihat plang penunjuk jalan di perempatan pertama (Jalan Gatot Subroto), kami sudah debat. Sintesisnya adalah belok kanan ke Jalan Gatot Subroto Barat. Matahari mulai naik dan udara semakin hangat. Agak siang sedikit, layang-layang mulai bermunculan di angkasa.

Di kota tempat saya tumbuh besar, biasanya layang-layang terbang menggerombol di pinggir pantai, lokasi di mana angin selalu bertiup lumayan kencang. Jadi, layang-layang saya anggap sebagai sebuah pertanda bagus. Pikir saya, sebentar lagi kami pasti akan tiba di Kuta.

Tapi, lama-lama saya mengamati bahwa ada sesuatu yang salah: layang-layang menggerombol di segala penjuru. Terus, kalau sudah begini, pantainya yang mana? Iman dan kedua kaki kami mulai goyah. Soto ayam di Terminal Ubung sudah tercerna sempurna. Akhirnya kami berhenti di sebuah kolam renang untuk sarapan. (Itu memang pagi yang absurd.)

nostalgia bali
Layang-layang terbang di langit Bali/Fuji Adriza

Satu atau dua jam di sana, kami melanjutkan perjalanan. Tapi, alih-alih jalan kaki, pada etape ini kami mencegat sebuah angkot butut berwarna kuning. Angkot itu lalu menurunkan kami di perempatan Jalan Imam Bonjol. Dari sana kami naik elf ke sebuah gang kecil dekat Pantai Kuta. Jalan kaki sedikit, akhirnya kami menginjakkan kaki di pantai yang legendaris itu.

Perjalanan itulah yang kemudian memberikan dua pengetahuan baru pada saya: (1) Jarak dari Terminal Ubung ke Pantai Kuta sekitar 11 km dan (2) Pantai Kuta letaknya bukan di Kota Denpasar melainkan di Kabupaten Badung. Intinya: Kuta jauh sekali dari Ubung.

Dua malam paling tidak produktif di Poppies Lane II

Saya bersandar di pagar Pantai Kuta, mengamati pasir yang memanjang sejauh mata memandang, papan-papan selancar yang menunggu untuk dirental, turis-turis berbusana minim yang seolah-olah menyeruak dari majalah-majalah terlarang, dan menoleh ke belakang ke arah papan selancar Hard Rock yang legendaris.

Akhirnya saya melihat Pantai Kuta. Tapi, yang membuat saya heran, jantung saya lebih berdebar-debar saat membayangkan Kuta ketimbang saat melihatnya langsung. Kencan pertama dengan Kuta tidak membuat saya gugup, berkeringat dingin, atau kehilangan kata-kata.

Apakah karena Kuta tidak menarik? Saya rasa bukan. Ini tak ada urusannya dengan daya tarik Kuta. Ini hanya soal bagaimana saya memaknai perjalanan. Entahlah. Sampai sekarang pun saya masih belum mampu mengartikulasikan pengalaman itu. Yang jelas, sejak dari Kuta, saya tak lagi gumunan dengan destinasi-destinasi (yang katanya) indah.

nostalgia bali
Pantai Kuta/Fuji Adriza

Dari Pantai Kuta, kami beranjak ke si kembar Poppies Lane I dan II. Setelah menelusuri kedua gang itu selama beberapa waktu akhirnya kami menemukan sebuah inn yang punya kamar kosong dan harganya sesuai dengan bujet yang sudah kami persiapkan (kalau tidak salah Rp 60 ribu/kamar/malam, tempat tidur ganda). Kami tinggal dua malam di penginapan itu.

Selama tiga hari dua malam di Bali, sebagian besar waktu kami habiskan di sekitar Pantai Kuta untuk jalan kaki atau duduk santai beralaskan sandal jepit di pasir mengamati orang-orang meliuk-liuk bersama papan selancar. Kami tidak menyewa sepeda motor, tidak nongkrong di kafe, tidak party, tidak pijat, tidak ngumpul bareng komunitas (yang memang belum bermunculan di masa itu).

Kami hanya pindah kos selama dua malam ke Poppies Lane II. Sama sekali tidak produktif. Saking tidak produktifnya, setiba di Jogja saya sampai kebingungan harus menulis apa di blog.

Hari ketiga, kami kembali naik elf ke Terminal Ubung, menumpang bis kecil ke Gilimanuk, lalu menyeberangi selat kecil untuk pulang ke Pulau Jawa.

Berjumpa dua orang senior baik hati di ujung timur Pulau Jawa

Di Stasiun Banyuwangi Baru, teman saya sukses ditakut-takuti oleh janitor yang saat itu sedang kebagian tugas membersihkan ubin. Katanya, malam hari di stasiun itu sangat berbahaya. Bahkan beberapa waktu lalu ada orang yang barangnya dicolong ketika ia tidur. Mendengar itu, malam itu juga teman saya itu, dengan dalih harus segera bertemu adiknya, naik kereta api kelas bisnis ke Surabaya.

Uang saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta ekonomi ke Yogyakarta. Dikurangi biaya untuk tiket, sisa uang saya hanya seribu rupiah, hanya cukup untuk membeli beberapa tusuk sate kerang di gerbong kereta keesokan hari. Maka tak ada yang bisa saya lakukan selain mencari tempat untuk menunggu pagi di Stasiun Banyuwangi Baru. Saya pun melipir ke tingkat dua dan menggelar mantel di lantai dingin yang ubinnya penuh kotoran kelelawar.

nostalgia bali
Matatahari terbenam di Pantai Kuta/Fuji Adriza

Pagi-pagi sebelum jam 6 saya antre membeli tiket kereta api. Dulu, kesempatan masih terbuka lebar untuk “go show” tanpa harus takut kehabisan tiket, kecuali menjelang libur panjang atau Hari Raya Idul Fitri.

Begitu dapat tiket, saya langsung kembali ke peron dan duduk di salah satu bangku besi. Waktu duduk-duduk santai menunggu jadwal keberangkatan, dari kejauhan saya melihat dua orang pemuda yang menggendong ransel yang kalau dinilai dari muka lebih tua dari saya. Dugaan saya benar, mereka lebih tua. Tapi yang membahagiakan bukanlah fakta bahwa mereka lebih tua dari saya, namun kenyataan bahwa mereka senior saya di kampus, dua tahun di atas saya. (Saya lupa-lupa ingat mereka kuliah di fakultas apa, yang jelas antara kedokteran hewan dan peternakan.) Mereka anggota mapala fakultas yang baru saja turun dari Gunung Rinjani.

Karena dulu tiket Sri Tanjung masih seperti kupon Time Zone, belum ada nomor bangku, penumpang bebas duduk di bangku mana saja asalkan tidak ada orang di sana. Saya duduk dekat kedua senior saya itu. Waktu sarapan, mereka berbasa-basi menawari saya makanan. Karena masih gengsi—padahal lapar—saya bilang saja bahwa saya sudah makan. Tapi, pas di Sidoarjo, ketika makan siang, mendapati bahwa saya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengonsumsi apa pun, mereka sepertinya insaf kalau saya kehabisan kepeng. Mereka belikan saya nasi rames dan sate kerang. Nasi rames dan sate kerang paling enak yang pernah saya makan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar