“Kalau ada niat belajar, diajarin [pasti] bisa,” ucapnya sambil menghela napas dengan berat. Kemudian ia beralih menceritakan anaknya yang lain.

“Yang paling tua, punya suami orang Jawa.”

Tiba-tiba Ipau menyambar omongan Balian Makirim, “Coba yang menantu Jawa itu ajarin bebalian.”

“Sudah diajarin betetamba kemarin itu, lampahan [semedi] yang buat tetamba. Cuma beberapa hari dia ngambilnya..”

“Terus gimana, bisa jadi?” Pak Hairiyadi turut penasaran.

“Tiga kali aja mana mau jadi!” keluh Balian Makirim sembari mengepulkan asap ke langit-langit dari lorong napasnya. Dengus amarah istri Yulianus masih terdengar, walau suaranya sudah perlahan menurun—hampir menyerupai orang yang hendak menangis. Tak lama berselang, Balian Makirim pamit untuk mempersiapkan ritual malam ini.

Permata di Belantara Meratus
Berkumpul bersama di rumah Yulianus/M. Irsyad Saputra

Ritual Malam

Kala malam sudah mulai kian pekat, motor dan mobil justru datang dari berbagai penjuru, terparkir di setiap sudut jalan. Orang-orang sudah berjubel memenuhi halaman depan balai kepunyaan Balian Makirim. “Las Vegas” adalah daya tarik orang-orang selain ritual yang akan berlangsung malam ini. Semua orang; laki-laki dewasa, anak-anak, hingga perempuan paruh baya menggandrungi permainan adu nasib dengan lemparan angka tersebut.

Ritual Balai Jelapah dan Tumban pun mulai. Balian Makirim dan Balian Malimpar berputar mengelilingi hiasan dedaunan enau yang berbentuk seperti empat sudut mata angin sembari memegang nyala api di lilin yang berhias dedaunan. Nyala api berpendar di remang malam yang riuh dengan iringan kalimpat, suasana ramai dan sakral bercampur. Para balian juga mondar-mandir di hadapan sangkar ampatung, memohon pelaksanaan ritual selalu diberkahi oleh para punggawa kasatmata, datuk-datuk, dan leluhur. 

Tiba-tiba saja, sesosok perempuan lewat melintasi kerumunan yang sedang menyaksikan ritus. Saya baru melihatnya lagi setelah acara kemarin malam, dan rupanya dia tidak beraksi di ritual pada malam terakhir kali ini. Dengan kikuk, saya mencoba menegurnya.

“Kak, ada waktu? Boleh saya bertanya sesuatu?” kalimat tersebut meluncur dari mulut saya.

Matanya melihat saya penuh heran, kemudian tersenyum saat saya bilang saya ingin lebih banyak tahu perihal balian perempuan di Gadang. Saya masih menunggu jawabnya. Beberapa saat kemudian dia berucap, “Baiklah, tapi tunggu sebentar, ya. Nanti saya kabarin kalau sudah senggang,” ucapnya sambil tergesa berjalan ke arah dapur.

Permata di Belantara Meratus
Tihang rajaki, salah satu unsur esensial dalam kegiatan aruh/M. Irsyad Saputra

Balian Bah Perempuan

Tak lama, ritual pembuka di malam penutup ini sudah usai. Saya bergegas ke dapur balai, menunggu perempuan tersebut tak lagi beraktivitas. Setelah cukup senggang, saya kemudian menyapanya kembali. Sarian memperkenalkan dirinya.

“Apakah menjadi balian karena kemauan sendiri?” pertanyaan tersebut menyeruak dari mulut saya. Menelisik.

“Saya ingin sendiri [menjadi balian] agar bisa menamba’i [mengobati] anak-anak saya,” jawabnya polos. Ia mengakui bahwa baru ritual pada tahun ini ia mengikutinya sebagai balian.

“Memang berapa lama agar bisa dianggap balian yang benar?”

“Kira-kira sekitar lima tahun mungkin. Kan, belajar dulu, baru hafal.”

Sarian tidak pernah mengenyam pendidikan formal sampai tuntas karena di tempat tinggalnya dahulu, Sampana’a, tidak ada institusi pendidikan yang berdiri. Ia sempat mengecap pendidikan dasar kelas satu. Sehari-harinya ia membantu orang tuanya sampai ia menikah di usia muda dan meniti hidupnya sendiri.

Ketika saya bertanya kenapa perempuan harus juga menjadi balian, ia menjawabnya dengan sederhana. Keluarga. Baginya, menjadi balian diperuntukkan untuk melindungi keluarga.

“Saya mau menjadi balian Bah, ai. Agar bisa menenamba’I keluarga ulun,” ucapnya suatu hari pada Balian Makirim, yang akhirnya membukakan jalannya menjadi balian.

Sarian mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah duduk di bangku SD dan SMP. Besar di dunia yang penuh dengan gawai cerdas dan video TikTok berseliweran. Anak-anak yang mungkin saja suatu saat punya mimpi yang lebih besar daripada mimpi ibunya yang bersahaja. Sudikah bila anak-anaknya suatu saat menjadi balian?

“Itu tergantung mereka. Hati mereka niat nggak jadi balian. Jadi, tidak bisa dipaksa. Walaupun orang tuanya balian, tetapi kalau di hati tidak ada kemauan jadi balian, tidak akan jadi balian.” Bunyi tabuhan kalimpat makin membahana di seantero balai. Suara kami menjadi samar, sesamar dusun ini dari peta Kalimantan Selatan. Meskipun malam ini tidak tampil ritual, Sarian tetap sibuk membantu persiapan di dapur. 

Saya juga berbicara dengan Santi dan Katrina tentang akses pendidikan, cita-cita, juga harapan mereka menyangkut Gadang di masa depan. Santi dan Katrina adalah keponakan Yulianus yang mengejar pendidikan tinggi hingga Kotabaru. Mereka mengenyam pendidikan di kampus yang sama STIKIP Paris Barantai Kotabaru. Santi mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Katrina mengambil jurusan Pendidikan Jasmani dan Rekreasi.

Mengapa mereka ingin mengenyam pendidikan tinggi? Bukankah orang-orang seringkali mencibir bahwa seharusnya perempuan cukup di rumah saja? Apakah pemikiran kuno ini juga membayangi mereka?

“Ibaratnya saya ini di kampung, tetapi kan kampung nggal selamanya menjadi kampung, kemungkinan suatu saat pemerintah bakal membangun di sini. Nggak mungkin, kan, kita bisa kerja di pemerintahan kalau kita nggak sekolah. Dengan kuliah, kita menambah wawasan,” cerocos yang keluar dari mulut Katrina menyiratkan semangat untuk belajarnya. Berbeda dengan Santi, awalnya dia tidak mendapat izin kuliah. Kemudian dia mendaftar diam-diam. Setelah diterima, barulah orang tuanya menyetujui keputusannya berkuliah. Bagi mereka berdua, pendidikan adalah salah satu jalur untuk mengentaskan ketertinggalan.

Kala Sarian adalah wajah Meratus yang masih menuktohkan Meratus dengan religi lama yang sarat akan petuah-petuah bijak yang tersembunyi di laku dan tutur, Santi dan Katrina adalah wajah Meratus masa depan yang menatap moderenitas adalah keniscayaan yang mengambang.

Permata di Belantara Meratus
“Las Vegas” Gadang, tempat mengadu nasib dalam putaran dadu yang diguncang/M. Irsyad Saputra

Adu Nasib di “Las Vegas”

“‘”Las Vegas” dengan penerangan bohlam-bohlam 25-watt penuh dengan semua orang yang mengadu nasib di gelanggang. Uang merah dan biru yg berlipat ganda menjadi taruhan dengan nilai yang tak terperi. Sekali menang, pulang ke rumah dengan senyum menggelegar. Sekali kalah, siap-siap saja dengan omelan istri yang pedasnya akan mengalahkan nasi goreng karet dua. Uang instan memang selalu menggiurkan.

“Bagaimana cara mainnya, paman?” tanya saya pada seorang lelaki bermata cekung yang sedang duduk santai di dalam balai.

“Begini, bila kamu mau taruhan, pasang angka yang kira-kira akan sering muncul. Nah, kalau mau dapat uangnya lebih banyak, kamu pasangnya palang,” mulutnya berbuih menerangkan kepada saya alur mainnya. Namun, saya hanya bertanya. Saya tidak tertarik untuk mencoba—selain karena memang tidak punya uang

Saya menyadari bahwa rombongan Pak Hairiyadi tak satu pun yang berada di balai ataupun di sekitar balai. Begitu juga dengan Balian Makirim. Ke manakah mereka? Saya yang sendirian kembali memandangi dadu-dadu yang terkocok. Lama menunggu, mata saya mulai terasa berat. Acara di balai juga belum mulai. Saya menunggu dalam tidur yang membuyarkan lamunan tentang prosesi ritual kanyaru dan terlelap hingga fajar menjelang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar