Travelog

Di Bawah Langit Balawaian

Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja yang semarak. Orang-orang berkumpul di balai adat dengan beragam rupa: ibu-ibu berdandan menor yang tampil bak Putri Indonesia ala Meratus, para pemuda dengan kaos oblong kebanggaan, juga anak-anak yang mengoceh dan berlarian sepanjang waktu.  

Kami menyalami satu per satu warga yang berada di depan balai. Orang-orang tua menyambut dan menyapa kami lekat penuh persaudaraan, sedangkan yang muda menyambung dengan senyum hangat, seperti baru menyeduh teh. Kami masuk ke balai adat yang penuh oleh cakap-cakap manusia yang sudah berkumpul. Sebelum memulai ritus suci, hadirin dipersilakan menikmati santap malam. Banyak yang hadir di sini, di antaranya warga sekitar, pemangku ritual, dinas-dinas terkait, dan tamu undangan dari desa lainnya. Balai adat tersebut berdiri kokoh di antara kebun dan sungai di Desa Balawaian. Desa ini terletak tepat di jantung Pegunungan Meratus, berdekatan dengan jalan poros yang menghubungkan Kandangan dan Batulicin.

Tidak sedikit yang saya tanyakan kepada Ujal, penghulu Balawaian, dan seorang Pinjulang bernama Lapuy. Ini adalah kedatangan pertama saya dalam acara ritual orang Meratus. Terus terang saja ada banyak hal berputar di kepala saya. Saya mulai terlibat pembicaraan intens dengan mereka: menyoal macam alat-alat ritual, nama dan makna dari masing-masing alat itu, hingga keluhan penghulu soal penerus Balian—rohaniwan dalam agama Kaharingan yang terkenal di kalangan suku Dayak Meratus—untuk generasi berikutnya. Malam semakin pekat. Ritual siap dimulai.

Dengung serunai mulai merambati udara di dalam balai adat. Gedebuk gendang sudah dimainkan. Para Balian yang dari tadi berkumpul, mulai mengarak kalangkang mantit keluar balai. Bentuknya seperti tiang dengan hiasan daun enau, buluh kuning, tumbu (sejenis bakul), dan kain kuning. Sambil menunggu Damang (ketua adat) bersiap, para Balian membakar dupa. Menebarkan aroma mistik yang memabukkan di sekitar kalangkang mantit

Mantra-mantra mulai menyeruak dari mulut para Balian. Cepat dan berirama, seperti rintik hujan yang beradu dengan aspal jalan. Seandainya ini diperdengarkan ke segala penjuru, akan sama menenangkan layaknya senandung nyanyian ibu kala menidurkan bayinya. Sampai beberapa saat mereka menghamburkan beras kuning ke udara berkali-kali dengan riuh, sebelum akhirnya semua melebur ke dalam balai.

Sorak-sorai mulai merebak dari langit-langit seng. Para Balian, dengan ketenangan bak air dalam gelas, mulai menggoyangkan gelang hyang di tangan masing-masing. Membentuk harmoni gaib yang mampu menegakkan sepasang telinga. Roh-roh para leluhur yang dipanggil mulai berdatangan mendengar gemerincing itu, seakan menyambut para hadirin dengan suka cita. Saya mulai bergidik. Inilah proses bamamang dalam ritual Aruh kecil di Balawaian. 

Proses bamamang selesai. Saatnya bagi para perempuan untuk unjuk gigi dalam Tari Babangsai. Goyangan pinggul mengiringi ayunan tangan nan gemulai, mengikuti tabuhan gendang dan siut serunai. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi langgatan yang berdiri layaknya pencakar langit di tengah balai. Lenggok perempuan adalah hiburan yang mengisi kejenuhan di tengah acara Aruh yang padat. Jika tempo gendang semakin cepat, maka makin riuh pula gerakan mereka. Malam semakin larut. Balian terus bamamang sementara saya tak kuat menahan kantuk. Saya melewatkan bahantu, akhir prosesi ritual yang berlangsung hingga saat fajar menjelang.

Di Bawah Langit Balawaian
Kalangkang Mantit yang ditaruh di halaman balai/M Irsyad Saputra

* * *

Saya setengah terbangun ketika mendengar gumaman asyik orang-orang dan bau kopi hitam yang teramat manis. Mereka adalah Pak Hairiyadi, Erwin, penghulu Ujal, beberapa pemuda, serta seorang kakek tua berpakaian singlet dan sarung. Kakek itu merupakan Damang daerah Tapin sekaligus penghulu Papitak, yang baru belakangan ini saya ketahui namanya.

“Di sini tidak ada babi. Terakhir saya lihat babi itu tahun 2005,” ujar Damang Rusdiansyah. 

Babi hutan di daerah Meratus telah menjadi langka akibat banyaknya manusia yang mulai menghuni teritorial mereka. Gerombolan babi tersebut pun kian terdesak entah ke mana.

“Dan sering diburu oleh orang-orang Maanyan dari daerah Tamiyang dan Pasar Panas,” tambahnya. Orang-orang Meratus—terutama di Balawaian—sudah tidak pernah mengonsumsi babi. Penyebabnya karena sering terjadinya percampuran antara dua kelompok berbeda, yaitu orang-orang yang masih menganut kepercayaan Babalian dan orang-orang Meratus yang sudah menjadi muslim ataupun pendatang. 

“Saya ini tinggal Islamnya aja lagi, kalau [soal] makan babi sudah lama nggak.”

Lebih lanjut, dalam ritual di balai di hilir Sungai Tapin, memang tidak mengenal penggunaan babi sebagai bagian perayaan ritual. Mereka hanya akan menggunakan babi kalau ada permintaan, seperti nazar atau pengobatan. Balai di hilir Sungai Tapin ini meliputi Hayangin, Lok Limau, Harakit, Mancabung (Papitak Jaya).

Tidak lama kemudian Rusdiansyah memalingkan punggung lalu berdiri. Ia memasangkan laung ke kepala, mengikat babat ke perut, dan melilit sarung ke pinggang. Gelang hyang yang menjadi aksesoris ritual pun sudah terpasang di pergelangannya. Bunyi gemerincingnya selalu menarik pikiran saya akan hal-hal di luar nalar, yang hidup berdampingan dengan kita di alam nyata.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan bamamang sebelum manyumpitan dimulai. Saya mencoba mendengar tiap-tiap kata yang terucap dari mulut Damang dan Balian. Beberapa kosakata saya pahami sebagai bahasa Banjar, sisanya terdengar seperti gumaman dalam bahasa yang terasa asing di telinga. 

Penghulu mengambil ancang-ancang dengan sumpit mengarah ke ayam kampung yang disediakan sebagai korban. Hush! Dalam sekejap mata sumpit penghulu tepat mengenai punggung ayam yang berbulu hitam itu. Ia meronta kesakitan dan mengeluarkan kokok seperti terkejut, tetapi masih bisa berdiri tegap dan bergerak.

Tanpa ba-bi-bu, seorang pemuda menyayat leher ayam dan menuangkan darahnya ke sebuah gelas plastik, lalu memberikannya kepada Damang. Sang Damang menaruh darah tersebut sebagai persembahan di dalam langgatan. Makin siang, balai layaknya rumah besar yang mulai kehilangan penghuni. Beberapa orang memutuskan untuk keluar, entah berkegiatan apa, menyisakan beberapa orang yang masih bertahan di dalam balai.

Kehidupan di antara ritual-ritual adalah permainan dan percakapan. Catur dan domino adalah permainan yang menghinggapi hampir semua tangan lelaki, perempuan, hingga anak-anak. Dua orang lelaki paruh baya mengedarkan pandangan ke papan hitam putih. Yang berbadan tambun melihat bidak catur dan seketika bibirnya menyeringai, seakan bisa membaca isi pikiran lawannya. Satunya lagi tampak lebih sibuk mengisap tembakau. Namun, setiap melangkahkan bidaknya, ia lakukan penuh kepercayaan. Entah siapa yang akan menang. 

Lalu arangan sudah terkumpul, saatnya penghulu mulai mengambil alih balai. Damang, penghulu, Balian, dan Pinjulang mulai duduk di tumbu sambil bamamang. Tumbu adalah sejenis bakul yang belum rampung dibuat dan diisi dengan beras segenggam, kemudian ditumpuk dengan berbagai jenis kain (selimut, sarung, dan baju). Setelah berkeliling langgatan, sesajen kemudian dimantrai. Mantra dimaksudkan untuk memberi berkah kepada persembahan. Tahapan ini disebut kahulu alai. Selesai ritual, sesajen tersebut menjadi rebutan warga yang berhadir ke balai. 

Gerimis menggerayangi Balawaian. Aroma rokok mengepung balai, menghibur para orang tua yang sedang bertukar pikiran. Saya mengangguk saja mendengar percakapan mereka seputar sakit jiwa, Balian sakti, hingga buah durian. Hujan di ketinggian berarti waktu berkumpul. Kedengarannya syahdu, tetapi tetes air yang mengenai genteng seng tetap mengganggu gendang telinga. . 

“Ayo, makan, sudah disiapkan,” kata seorang pemuda memanggil kami yang lagi asyik bercengkrama. Kami bergegas menuju dapur.

Di dapur yang berada tepat di bagian belakang balai, meja makan yang memanjang sudah terisi penuh. Makanan yang jadi menu hidangan kali ini adalah oseng bunga pepaya, pucuk pepaya, rimpang, kalimbung buntal, karawila (oyong), dan kerupuk. Semua sayuran tersebut berasal dari hutan dan ini adalah pertama kali saya memakannya.

Di Bawah Langit Balawaian
Penghulu Ujal sedang memberkati (tapung tawar) warga desa yang berhadir di balai/M Irsyad Saputra

* * *

Obrolan kembali berlanjut setelah makan. Damang Rusdiansyah, yang pernah bepergian ke Jakarta, menceritakan pengalamannya melihat manusia gerobak di Ibu Kota. “Ketika saya mau memberi makan mereka, ada yang bilang ke saya (kalau) mereka bisa mencari makan sendiri dari sisa-sisa,” tuturnya dengan gestur tangan yang menari. Ia seakan tidak percaya kehidupan di kota megapolitan begitu berbeda dengan yang mereka sering lihat di sinetron.

“Saya tidak tega. Ada kemanusiaan dalam diri saya yang tidak hilang melihat penderitaan mereka.”

“Bahkan ada yang mau ikut kita hidup di gunung,” ujar penghulu Ujal menambahkan. Kebetulan saat itu mereka melakukan perjalanan bersama-sama dalam rangka menghadiri suatu undangan. Jari jemari penghulu Ujal seolah ingin meyakinkan kami, bahwa kehidupan di seberang sana ada yang lebih nelangsa. Di gunung, kehidupan orang terjaga dengan keharmonisan alam. Alam menyediakan supermarket paling lengkap yang pernah ada: tumbuhan herbal, buah-buahan, hingga kayu untuk papan.

“Di sana jadi miskin karena tidak ada lahan untuk ditanami. Kalaupun ada paling cuma seukuran telapak kaki,” ujar Rusdiansyah. Ia menitikberatkan pada ketiadaan lahan sebagai salah satu unsur pembentukan masyarakat yang melarat.

Jakarta menyediakan apa pun. Gedung-gedung tinggi yang mencakar dan mengepung sebagian ruang langit, infrastruktur tanpa jeda, hingga fasilitas terlengkap. Tapi apakah Jakarta punya semua? Bukankah yang menikmati itu adalah orang-orang borjuis? Orang-orang yang hidup dengan modal mumpuni? Bagaimana dengan yang tidak bermodal? Apakah masih layak memanggil Jakarta sebagai “ibu” kota?

Jakarta berlari begitu cepat, meninggalkan Balawaian yang masih tertatih hanya untuk menyusul pengerjaan pengaspalan jalan. 

* * *

Prosesi bintang salaan dimulai. Mantra menggaung ke langit-langit. Mengisi setiap ruang hampa dengan penuh pengharapan, teriring gemerincing gelang hyang yang memabukkan. Sama dengan semua doa-doa dari agama apa pun di dunia, isinya tentang mengharapkan keselamatan, keberkahan, juga kebaikan. Apatah artinya doa bila tidak mencakup semua makhluk?

Ritual selesai. Para perempuan sibuk di dapur, bersiap menyediakan hidangan yang nanti akan tersaji sebagai sesajen. Asap dari kayu bakar menari mengikuti arah bayu, terbawa hingga ke tengah pohon karet yang berjajar rimbun di samping balai. Saya duduk di antara para ibu Meratus yang sibuk.

“Mencari pewaris nih nang ai disekolahkan dulu juga,” ujar salah seorang Pinjulang yang sedang membakar beras ketan dalam bumbung bambu. Kekhawatiran para Pinjulang dan penghulu adalah sama, yaitu sedikitnya jumlah penerus yang akan mengemban kewajiban ini setelah mereka. 

“Tapi kalau mau [melanjutkan] bisa, asal belajar dahulu, kayak orang sekolah juga,” ujarnya sambil membalik bumbung yang mulai gosong. Saya bertanya, adakah syarat lainnya untuk menjadi seorang pemuka ritual selain belajar? Ia menerangkan, siapa pun sebenarnya boleh menjadi Balian atau Pinjulang, tetapi orang-orang yang memiliki keturunan langsung akan lebih mudah dalam menyerap ilmu yang tetua ajarkan.

Mukriansyah adalah salah satu Balian muda yang ada di Balawaian. Dia sudah “magang” menjadi Balian selama dua tahun. Mengikuti jejak sang ayah, penghulu Ujal, yang sudah malang melintang menjadi penghulu. 

Nggak ada generasi yang mau melanjutkan [menjadi balian] karena gengsi,” ucapnya lirih.

Gengsi, karena banyak yang menganggap menjadi Balian adalah hal kuno. Dan hal-hal kuno mulai banyak masuk museum seiring kiblat dunia makin menghadap ke Barat. Banyak stereotip yang mengarah kepada para pemeluk kepercayaan sebagai orang-orang aneh, tidak relevan, ketinggalan jaman, atau pandangan negatif lainnya. Padahal nilai-nilai yang mereka anut pun sama baiknya dengan nilai-nilai yang agama samawi bawa.

Mukri, sapaan akrabnya, seringkali harus berkelahi karena anggapan miring tentang Babalian yang ia terima semasa sekolah. “Teman-teman bilang ‘ngapain pucuk disembah?’ Di situ akhirnya bikin saya bertengkar, padahal nggak usah saling menghina bisa, kan?” suaranya tercekat di antara embusan asap yang mengalir dari mulutnya.

” Kita ini [Islam dan Babalian] kakak adik, seperti kisah Bambang Siwara dan Ayuh.”

Bambang Siwara (atau Intingan) dan Ayuh adalah metafora dari persaudaraan antarpemeluk Islam dan Babalian, yang sejatinya di Kalimantan berasal dari nenek moyang yang sama. Matanya nanar memandang ke sekeliling balai. Tampak ada harapan yang membuncah dari kepalanya, ingin mengangkat harkat dan martabat orang-orang Meratus yang masih menganut kepercayaan tradisional. Namun, Mukri juga terjebak dalam satu hal lain, yaitu dia harus mencari uang untuk memenuhi kehidupannya. Dan pilihan yang menguntungkan baginya dengan gaji mentereng hanyalah tambang batu bara. Apakah ini pilihan yang akan kamu ambil nantinya, Mukri?

* * *

Ritus berlanjut. Prosesi ini bernama ancak ka gunung. Ancak ka gunung adalah persembahan yang ditaruh di ancak. Isinya berupa aneka buah pisang (pisang umbur, pisang amas, pisang kidung), berbagai macam telur (telur asin, telur ayam ras, telur ayam kampung, telur itik), beberapa jenis bubur (bubur merah, bubur putih, bubur kuning), kue-kue tradisional (lamang, cucur, surabi, wajik), serta sisanya berupa sayuran mentah, lintingan tembakau dan pinang, ketupat, dan ayam panggang. Semuanya mewakili hasil alam Meratus. Dan dalam ajaran mereka sudah sepatutnya membagikan itu kepada orang-orang yang berhadir—baik yang tak kasat mata maupun ada wujudnya.

Sama seperti ritual sebelumnya—memulai dengan bamamang dan musik yang mengiringi—Damang, Balian, dan Pinjulang berkumpul tepat di bawah ancak ka gunung yang menggantung, sudah lengkap dengan sesaji dan lilin. Seluruh Balian berdiri, lalu melemparkan beras kuning dan uang koin ke ancak. Semua orang mulai memutari ancak dengan membunyikan derap kaki yang mengentak lantai balai. Setelah istirahat sebentar, rangkaian acara terus berlanjut. Saya hanya sibuk memerhatikan.

Semua yang hadir menyisakan sungging senyum di pinggir bibir selepas prosesi ritual berhenti. Yang tidak berhenti malam ini hanya terbakarnya aroma tembakau, serta kesiur angin yang menerbangkan senyap dan dinginnya malam di antara dinding kayu. Tepat tengah malam, dua orang Balian menaruh ekor ayam di bawah langgatan dan membawanya sambil mengelilingi langgatan. Sesaat kemudian Balian yang sedang kerasukan menggigit dua kepala ayam itu sampai terputus. Inilah prosesi ritual bauria.

Di Bawah Langit Balawaian
Sesajen yang dimamangi (didoakan) dahulu sebelum dibagikan/M Irsyad Saputra

* * *

Desir sungai yang mengalir menjadi alunan melodi yang menyambut saat pagi tiba. Debitnya tidak sedalam kemarin malam. Beberapa ikan terlihat bersantai—tetapi siaga—di balik bebatuan. Bebatuan yang menjadi pijakan orang-orang desa saat mandi itu berwarna legam. Namun, saat sinar mentari menerpa sebagian wujudnya, batu-batu tersebut tampak berkilau bagai kumpulan emas-emas yang siap dijarah. Saya menginjaknya perlahan—takut-takut kalau pijakan saya tidak kuat mencengkeram permukaannya—kemudian mengambil air dengan kedua tangan untuk membasuh muka.

Hanya beberapa orang yang terbangun pagi itu. Banyak yang masih meringkuk pulas di dalam sarung. Harusnya ada prosesi ritual yang berlangsung pagi ini, tetapi kata penghulu Ujal terpaksa ditunda. Sebab banyak warga yang tidak berkumpul di balai dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.

“Terpaksa ritual ditunda ke siang dan sore hari,” ujarnya sambil memonyongkan bibir, meniupkan asap yang lari terbawa angin pagi. 

Desa Balawaian pada pagi hari berselimut dingin. Pepohonan di sini masih rindang. Sebagian adalah kebun yang sengaja warga tanam, sedangkan lainnya hutan alami yang penuh semak belukar. Rumah-rumah yang berdiri pun tidak berimpitan. Kadang hanya 2-3 rumah berdampingan, kadang sampai lebih dari lima rumah. Jalanan tampak lengang. Hanya anak-anak sekolah yang sibuk menyalakan motor supaya tidak terlambat ke sekolah. Jaraknya cukup jauh di Desa Batung. 

Siang berlalu. Tidak banyak warga yang berkumpul di balai, tetapi acara harus tetap jalan. Para pemangku adat melakukan prosesi ritual halang simbaran, halang manayaung, dan babangkuyan

Dua orang Balian mulai berjalan dengan dua tangannya. Perlahan dan pasti, tiang yang sudah terpasang hiasan daun enau dan pisang mulai mereka panjat. Pisang dimakan dan dihamburkan ke lantai. Para penonton tentu saja mengambil pisang-pisang yang berguguran. Begitu habis, Balian turun ke lantai. Dengan segera satu orang lelaki mulai menangkap Balian yang hendak berlari keluar balai. Ia kemudian mengumpulkan dua orang Balian tersebut di langgatan untuk dikembalikan kesadarannya.

* * *

“Tidak, saya tidak mau ikut kapamalian,” seru Fitri, anak bungsu dari penghulu Ujal, saat kami sedang menikmati santap sore bersama. Ia terlihat elok dengan rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai sampai bahu. Dari nada bicaranya, seakan-akan kapamalian adalah hal yang paling ia takuti saat ritual Aruh kecil. Kapamalian mengharamkan semua yang telah mengikuti prosesi ritual bararadenan untuk keluar dan melakukan aktivitas di luar balai—kecuali yang berkaitan dengan buang hajat. Mungkin anak-anak muda sudah kehilangan minat untuk menyelesaikan ritual secara paripurna. Saya mengerti, anak muda sepertinya tentu saja sangat tersiksa terkurung di balai seharian, apalagi gawai yang mereka punya tidak mendapatkan sinyal di sini. 

“Mukri ke mana?” Saya menanyakan kakaknya yang tidak terlihat di hari ini.

“Sama, dia tidak ikut kapamalian juga. Soalnya bosan, nggak bisa ngapa-ngapain,” serunya.

Barangkali, jika balai tersedia Wi-Fi gratis, anak-anak muda akan dengan senang hati ikut kapamalian. Tapi buat apa? Bukankah kapamalian bernilai ibadah? Nilai ibadah apa yang akan mereka dapatkan kalau seharian hanya berseluncur di dunia maya?

Ah, terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepala saya. Di malam terakhir, lelaki, perempuan, dan anak-anak berdiri dan memutari langgatan sembari berpegangan tangan. Saya ikut menyelinap di antara mereka, berpegangan erat dan merasakan kegembiraan yang mengalir dari jalinan tangan. Derap kaki membuat lantai kayu berdecit, seolah mengaminkan doa kami—keselamatan dan kedamaian semua makhluk di bumi—untuk terus mengepul menuju kaki langit hingga beranjak menuju Nang Kawasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Orang Baik Sape (2)