Kapas Biru adalah sebuah air terjun di Desa Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Lokasinya berbatasan langsung dengan Kabupaten Malang. Dari pusat kota Lumajang, kalau kamu naik sepeda motor, perlu waktu 1,5-2 jam untuk tiba di parkiran air terjun. Dari sana, mesti melanjutkan perjalanan lagi sekitar 1-1,5 jam menuju Air Terjun Kapas Biru.
Dari parkiran motor itu, aku dan adikku, Dewa, memulai perjalanan sekitar jam 12.30 siang. Di awal perjalanan, aku merasa semuanya baik-baik saja, tidak ada yang aneh. Sebab itulah aku hanya fokus pada jalan yang sedang kutempuh.
Namun tiba-tiba fokusku terpecah saat mendapati bahwa aku mesti menuruni sebuah tangga besi. Tapi, mau bagaimana lagi, itu satu-satunya jalan yang disediakan buat wisatawan. Maka, setelah mengumpulkan keberanian untuk melawan rasa takut akan ketinggian, sambil berpegangan erat pada beton di kiri-kanan, aku menuruni tangga tersebut dengan sangat hati-hati sampai kakiku menyentuh tanah kembali.
Melewati jalanan yang terjal dan basah akibat hujan, yang membuatku hampir terpeleset beberapa kali, aku jadi lebih berhati-hati. Tapi tak mengapa. Aku sedang berada di lanskap yang begitu elok. Lihat saja tebing itu. Tebing yang indah menyerupai gua berukuran kecil itu membuatku jatuh hati, terutama saat melihat mata air yang menyeruak membasahi permukaan tanah di samping kiri.
Beberapa kali aku harus berjalan jongkok karena takut terpeleset. Dan bajuku sudah penuh lumpur. Jalanan begitu sunyi dan yang terdengar hanya suara burung berkicau, tenggeret (semacam kumbang yang berbunyi), dan beberapa ekor anjing liar. Sungguh menegangkan memang. Semula kukira aku sedang tersesat, namun akhirnya aku berjumpa dengan rombongan wisatawan lain. Ternyata jalan yang kulewati memang benar.
Rasanya bak berada dalam hutan belantara. Aku melihat beberapa ekor monyet bergelantungan dan menyeberang dari satu dahan ke dahan lain di pepohonan sana.
Jika dihitung-hitung, barangkali sudah empat bukit yang kulewati. Namun air terjun itu belum tampak juga. Saat sedang menerka-nerka berapa lama lagi aku akan tiba, mataku melihat beberapa orang petani sedang memanen padi. Melihat itu, aku tak habis pikir. Bagaimana cara mereka ke sini? Apa tidak capek? Samar-samar aku bisa melihat cucuran keringat di wajah para petani itu. Muka mereka tampak lega dengan hasil panen kali itu.
Setelah itu aku melanjutkan perjalanan. Sekitar 15 menit kemudian air terjun tersebut mulai kelihatan. Pukul 14.00 saat itu.
Saat itu 25 Desember, tepat Hari Natal. Jadi pantas saja Air Terjun Kapas Biru ramai. Bersama adikku, aku melepas penat pada gubuk yang berada dekat air terjun. Kami membawa persediaan makanan dari bawah, plus satu botol air mineral kemasan 500 ml. Setelah menghilangkan rasa capek, kami mulai menyusuri areal air terjun tersebut. Kami mengambil beberapa foto, menaiki salah satu batu, lantas menikmati pemandangan sambil duduk di batu tersebut.
Pemandangan sangat indah. Air yang mengguyur ke bawah bak membentuk kapas. Awan bertaburan pada birunya langit. Suasana saat itu sangat sejuk, terik matahari pun tak begitu sebab mendung menyelimut, meskipun hujan tak sempat turun ke tanah.
Aku menghabiskan waktu selama 1 jam di sana. Karena takut kesorean dan tiba di rumah kemalaman, aku tak banyak bermain dengan air. Aku hanya membasuh kaki yang penuh lumpur; aku memang mesti melepas sepatu tadi ketika melewati beberapa mata air.
Saat hendak pulang, persediaan minum kami habis. Alhasil kami harus memutar otak agar tidak kehausan di tengah jalan. Aku memutuskan untuk mengambil air di air terjun tersebut. Adikku tak ingin mengambil air sembarangan sebab ia takut terkontaminasi kotoran—beberapa orang memang mandi-mandi di sana. Akhirnya, ia mengambil air di celah-celah bebatuan dekat air terjun.
Rasanya aku tak ingin meninggalkan tempat itu. Aku lihat beberapa orang mendirikan tenda di sekitar Air Terjun Kapas Biru. Namun, karena sudah terlalu sore, kami segera memulai perjalanan kembali ke tempat parkir.
Kami memulai perjalanan kembali ke parkiran Air Terjun Kapas Biru pukul 15.00 bersama rombongan-rombongan wisatawan lain. Di jalan, aku juga berpapasan dengan rombongan yang hendak naik. Salah seorang di antaranya bertanya, “Apakah masih banyak orang di sana?” Rupanya ia juga sama sepertiku, berpikir bahwa semakin larut tempat itu akan semakin sepi.
Entah kenapa, dalam perjalanan pulang aku merasa lebih bersemangat meskipun tenagaku hampir habis. Beberapa kali aku mesti istirahat dan berdiam sejenak untuk bernafas. Mungkin yang membuat aku dan pengunjung lainnya ngos-ngosan adalah jalanan yang terjal dan menanjak.
Motivasi diri sangat aku perlukan untuk menyelesaikan tantangan melewati jalan untuk pulang. Dengan tenaga yang masih tersisa, aku harus kembali melewati tangga besi tersebut.
Lalu kami bertemu dengan petani yang kami lihat ketika berangkat tadi. Aku mempersilakannya untuk naik tangga terlebih dahulu, sebab saya masih lumayan lelah. Kami sempat mengobrol dengan petani itu dan saya bertanya macam-macam. Mengapa memilih lokasi sawah pada area tersebut? Capek atau tidak sehari-hari jalan dari rumah ke sawah?
Jawaban petani itu singkat dan dituturkan dalam suara yang sedikit pasrah: “Nggih ngeten iki, Mbak. Bendino wira-wiri yowes biasa, mboten kroso payah maleh. Nggih tanah e wonten teng mriko, yaknopo maleh.” (Bagaimana lagi, Mbak. Tiap hari bolak-balik ya sudah biasa, nggak kerasa capek lagi. Ya adanya tanah di sana, Mbak, bagaimana lagi.)
Setelah petani itu berlalu, aku pun menaiki tangga. Adikku sudah menanti di atas. Saat itu kekompakan kami sebagai saudara diuji. Ketika aku kesulitan, ia membawakan barang bawaan dan memegangiku beberapa kali.
Di akhir perjalanan, aku ditawari seorang ibu penjual buah salak. Tiga kilogram hanya Rp10 ribu. Pikirku, “Pantas saja murah. Wong di sepanjang jalan aku melihat kebun salak di mana-mana.”
Dan saat itu pukul 16.00 WIB.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.