Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo, mencari posisi yang pas untuk memundurkan kontainer, lalu membuka pintu belakang. Sampah pun berhamburan.
Truk model dump truck membuang muatan dengan mengangkat bak terbukanya sampai sampah merosot keluar. Sedangkan truk arm roll yang membawa kontainer sampah, didesain bisa memundurkan gendongan hingga terlepas. Truk jenis ini punya belalai pengait untuk menaikkan kontainer ke punggung kendaraan. Saat melepas sampah, arm roll menurunkan separuh kontainer sampai miring. Sopir memainkan pedal gas, maju sedikit-sedikit, lalu sampah terjun ke tanah.
Ekskavator mondar-mandir di antara buldoser yang meratakan timbunan sampah. Para pemulung asyik saja menyambut kedatangan sampah yang masih “segar”. Seolah mereka sedang berlomba mencari “harta karun” dengan besi pengait. Saya membayangkan mereka adalah atlet anggar yang tengah memainkan pedangnya menusuk sasaran. Seru pokoknya!
Karena jalanan becek dan berlumpur, truk-truk yang sudah menunaikan hajatnya, kesulitan melaju. Terjebak. Saya sampai sangsi mereka bisa lolos dari jeratan lumpur. Sejurus kemudian, tak terpikirkan oleh “turis” seperti kami, operator dengan sigap menempelkan kepala belalai ekskavator ke bokong truk lalu mendorongnya. Sukses! Truk bebas dari kepungan lumpur, lanjut ngegas ke jalur aman.
Muhammad, anak ketiga dari lima bersaudara itu terpana. Ini pengalaman pertamanya menyaksikan truk besar pengangkut sampah membuang muatan di “markas besar”. Di sana segala sampah warga kota terkumpul. Kata “menjijikkan” dan “jorok” seketika kehilangan makna. Sirna begitu saja. Berganti pemandangan tentang ketabahan hidup dari para manusia yang mengais rezeki di lautan sampah. Mereka tak pernah sekolah tinggi. Tak kenal apa itu korupsi.
Dump truck hijau ketiga datang. Menunggu sebentar sebelum menumpahkan bawaan, menanti aba-aba dari “avatar” pengendali beko. Saat arm roll rampung mengosongkan gendongan, sopir muda truk ketiga segera mengarahkan kendaraan ke arena perpisahan. Sampah-sampah dilepaskan ke sebuah penjuru, lalu para pemburu sampah menyerbu.


Dump truck hijau menunggu giliran membuang sampah (kiri) dan ekskavator yang berada di medan berlumpur TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie
Cerita dari Pemulung
Saya lalu mengajak Muhammad ke seberang, tempat gubuk-gubuk milik pemulung. Kami waspada sebelum melintas. Saya perhatikan pergerakan belalai ekskavator dan dump truck yang sedang maju mundur. Setelah dirasa aman, jauh dari jangkauan keduanya, baru kami menyeberang. Melewati jalur lumpur yang sebelumnya dilindas roda truk.
Di salah satu gubuk beratap terpal rombeng, seorang pria paruh baya duduk dikelilingi tumpukan wadah plastik dan gelas-botol air mineral. “Namanya siapa, Pak?” tanya saya setengah berteriak, di antara bising suara ekskavator dan truk yang “batuk-batuk” berusaha melepaskan cengkeraman lumpur di roda.
“Abdul Hamid,” katanya terdengar sayup.
“Usia berapa?”
“Kelahiran 1964,” jawabnya.
Warga Kelurahan Argasunya yang satu kawasan dengan TPAS Kopi Luhur itu lantas berbagi cerita. Dia mulai jadi pemulung di sana sejak 1999. Persis setahun setelah TPAS Kopi Luhur resmi beroperasi. “Tadinya saya kerja di Jakarta,” ujarnya.
Abdul Hamid pergi memulung selepas salat Subuh. Dia pulang kembali ke rumah pukul satu siang. Sampah yang diincarnya adalah tempat makan plastik dan bekas kemasan air minum. Pembeli datang sendiri ke gubuknya. Biasanya para pengepul barang bekas yang akan didaur ulang pabrik.
“Sebulan penghasilan berapa, Pak?”
Abdul Hamid sejenak berpikir. “Sekitar empat juta,” sahutnya. Wow, lumayan besar juga, batin saya.
Ayah sepuluh anak itu kini ditemani anak bungsu yang juga pengumpul sampah. Jumlah pemulung yang terdata di sana, kata Abdul Hamid, ada 170 orang. “Tapi di lapangan bisa sampai dua ratus. Bergantian memulung, beda waktu,” terangnya.
Pemulung lain, lanjut dia, ada yang datang pukul 09.00 atau selepas zuhur hingga Magrib. Malamnya, juga ada yang memulung, tetapi tidak banyak. “Masing-masing sudah ada rezekinya. Kami di sini saling menghargai. Tidak berebutan,” tutur kakek delapan cucu itu.
Soal jalanan yang becek dan berlumpur, Abdul Hamid menyebutnya hanya di musim hujan saja. “Kalau kemarau, jalanan kering. Truk lancar melintas,” ucapnya. Saat disinggung sering beraktivitas di tempat sampah, apakah tidak takut kena penyakit? Abdul Hamid membandingkan dengan masa pandemi COVID-19.
“Waktu COVID-19 saja, alhamdulillah pemulung tidak kena,” katanya dengan senyum mengembang. Saya berseloroh, “Virusnya takut datang ke sini, Pak!” Lelaki bersepatu bot itu tergelak.
Ketika sedang serius menghimpun keterangan Abdul Hamid, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu membelit kaki. Saya tak berani langsung melihat ke bawah. Menerka-nerka dulu. Binatang melatakah (ular) dari tumpukan sampah merambat naik ke kaki? Berdebar saat memastikannya. Saya mengentak-entakkan kaki kiri, berharap yang menempel segera lepas. Pas dilihat, eh, anak kucing! Si meong menggelendotkan tubuhnya sambil mengusapkan buntut ke kaki saya. Huh, mengagetkan saja!
Pemulung di TPAS Kopi Luhur tidak didominasi kaum lelaki. Wanita juga ada. Salah satunya Keni (46). Ibu enam anak itu sedang memanggul keranjang berisi sampah kemasan air mineral dan menjinjing sekarung “sumber rupiah” lainnya, ketika saya ajak ngobrol. “Saya memulung bareng suami, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya.
Dia mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai pemulung. Selain karena rumahnya di Argasunya dekat TPAS, aktivitas harian di tempat sampah mampu memberinya penghasilan. “Sebulan bisa satu sampai dua juta,” beber nenek tiga cucu itu.


Kaum perempuan ikut memulung guna menyokong ekonomi keluarga. Seperti yang dilakukan Keni (kiri), nenek tiga cucu/Mochamad Rona Anggie
Usia TPAS Kopi Luhur Dua Tahun Lagi
Sudah 27 tahun beroperasi, TPAS Kopi Luhur kini masuk fase kritis over kapasitas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, dr. Yuni Darti Sp.GK., melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPAS Kopi Luhur, Jawahir Kusen mengungkapkan, hitungan di atas kertas umur area pembuangan akhir sampah itu tinggal dua tahun.
Solusi jangka panjang, kata dia, memindahkannya ke lokasi baru. “Tapi belum tahu di mana,” ucapnya lirih. Sementara untuk jangka pendek, DLH Kota Cirebon sedang mengupayakan kehadiran teknologi pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF), demi menyiasati perpanjangan usia TPAS Kopi Luhur. “Dari provinsi (Jabar) sudah survei. Semoga tak lama lagi terwujud,” ujar Jawahir kepada penulis, Rabu (26/2/2025).
Menurutnya, mesin RDF akan membantu mengurangi timbunan sampah, karena memiliki kemampuan memilah sampah organik dan anorganik. Mempercepat proses daur ulang hingga bisa dijadikan briket.
Jawahir menjelaskan, saat ini dalam sehari TPAS Kopi Luhur menampung 600 sampai 700 kubik sampah. Luasnya 14,2 hektare, tetapi hanya digunakan delapan hektare sebagai tempat pembuangan sampah. Lahan sisanya terlalu dekat permukiman penduduk. Jika dipaksakan rentan gejolak sosial.

Peduli Lingkungan dari Kecil
Senang bisa mendampingi buah hati ke TPAS Kopi Luhur. Saya berharap Muhammad mulai memahami, kenapa ibunya selalu membawa kantung berbahan kain setiap belanja ke pasar tradisional atau supermarket.
Termasuk mengapa kasir di beberapa swalayan kini tegas tak menyediakan kresek, dan menawarkan paper bag (kantung berbahan kertas) untuk membawa belanjaan? Tidak lain—semoga Muhammad mengerti—sebagai upaya global mengurangi sampah plastik.
Seiring waktu, kepekaan Muhammad dan rekan seusianya bakal terasah. Orang tua berperan penting mengedukasi anak-anaknya. Bagaimana turut aktif menjaga bumi dari gempuran sampah plastik. Kita biasakan mereka untuk memakai tas ramah lingkungan berbahan kanvas atau anyaman, ketika membeli kebutuhan sehari-hari.


Kaki saya dan Muhammad (kiri) sama-sama sempat terbenam lumpur/Mochamad Rona Anggie
Kami pun balik kanan. Melangkah ke parkiran. Eh, drama belum usai. Gantian Muhammad terperosok ke lumpur. Dia meringis. Kedua kakinya “disedot” lumpur. Cepat saya tarik tangannya, biar tidak semakin dalam.
“Angkat (kakimu)!” perintah saya. Ya, berhasil. Namun, sandal sebelah kiri menjadi martir (putus). “Sudah, pulang nyeker saja,” kata saya, dibalas dengan cemberut.
Begitulah petualangan kami di TPAS Kopi Luhur. Menziarahi persemayaman terakhir kasur jebol, sofa bodol hingga lemari ambrol. Sampah busuk yang berserakan adalah “permata” bagi setiap pemulung. Lalat-lalat hijau mendengung dan camar terbang rendah melepas kepulangan kami.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.