Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan sampah kresek pembungkus barang yang kita beli. Baik di pasar tradisional maupun supermarket. Sampah semakin bertambah, karena produk yang dibawa ke rumah juga sudah dalam kemasan, yang ujung-ujungnya kita lempar ke tempat sampah.
Saya juga mengamati bekas popok dan pembalut wanita sekali pakai. Sampah bawaan produk semacam ini ternyata mengerikan. Saat membeli barangnya kita diberi kresek, tambah kemasan produk. Selesai digunakan, kresek, plastik kemasan, si produknya sendiri berikut kotoran manusianya, akan menghuni tempat sampah.
Di bak sampah depan rumah, bercampurlah segala sampah. “Rajanya” tetap sampah plastik aneka rupa. Ada kemasan makanan dan minuman, dus-dus, sisa buah dan sayuran busuk, kulit telur, jeroan ikan serta unggas, tulang-belulang berbelatung hingga dedaunan kering hasil menyapu halaman.

Sebelum diangkut tukang sampah kompleks, biasanya sampah rumah tangga disatroni lebih dulu oleh para pemulung. Penampilan mereka khas: membawa karung di punggung, besi pengait, serta menutupi kepala dengan selembar kaus lusuh. Umumnya berjalan kaki keliling perumahan sejak gelap subuh. Ada juga yang naik sepeda, memodifikasinya, memasang dua karung di kanan dan kiri boncengan belakang.
Terkadang para pemulung membuat kesal pemilik rumah. Bagaimana tidak, sampah yang biasanya sudah dibungkus kresek besar dan diikat kuat—guna menghindari bau tak sedap—malah dibongkar memakai besi pengait. Mereka mencari sampah yang punya nilai ekonomis, seperti botol plastik (bekas air mineral) dan botol kaleng (bekas minuman ringan).
Para pemulung itu lantas pergi setelah mendapat apa yang dicari. Mereka tidak peduli sudah memberantakkan isi tempat sampah, sehingga bau sisa sampah makanan dan kotoran di popok menyeruak mengganggu penciuman. Saya pribadi, kalau mendapati pemulung hendak mencerai-beraikan sampah yang sudah terbungkus, segera menegur dengan suara keras, “Jangan diberantakin!”, membuat yang ‘disemprot’ lekas berlalu.

Pak Uri, Tukang Angkut Sampah Kompleks Kami
Dalam dua hari, biasanya tumpukan sampah di bak atau tong milik warga bakal meninggi. Tambah hari akan terlihat menyembul melewati batas tempat sampah. Setelah pemulung beraksi, selanjutnya petugas angkut sampah yang bercengkerama dengan sampah-sampah itu.
Tukang angkut sampah di kompleks kami, RW 04 Darmamukti, Rajawali Barat, bernama Uri. Badannya gempal. Dia bertugas mengangkut sampah warga seminggu tiga kali. “Tapi kalau lagi enggak fit, saya muternya sepekan sekali,” kata Uri kepada penulis, di sela aktivitas mengambil sampah.
Lelaki 69 tahun itu menggunakan sepeda motor yang disambung tak permanen dengan gerobak pengangkut sampah. Berkeliling dari satu bak sampah ke tong sampah yang ada di depan rumah warga. Jam kerjanya mulai dini hari sampai pagi.
Ketika ditanya mengapa tidak mengangkut sampah dari pagi ke siang? Uri menjelaskan kalau sampah warga beres terangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) sejak masih pagi sekali, dirinya tak perlu antre menunggu giliran buang di TPSS. “Sengaja dari jam dua pagi saya keliling ambil sampah. Paginya bisa langsung ke TPSS tanpa harus antre,” papar ayah enam anak itu.
Tujuan Uri dan gerobaknya adalah TPSS Rajawali yang bersisian dengan Sungai Kriyan. Di sana, kata Uri, tukang angkut sampah dari masing-masing perumahan atau RW, wajib memasukkan sendiri sampah yang mereka bawa ke kontainer penampung. Proses ini memakan waktu cukup lama. Tambah siang, akan semakin banyak tukang angkut sampah antre untuk membuang bawaannya ke kotak sampah raksasa.
“Bisa saja buang di sekitar kontainer, di bawah. Lebih mudah itu. Tapi harus bayar lima belas ribu,” sebutnya.
Tidak terasa, sudah 12 tahun Uri bekerja mengangkut sampah di kompleks kami. Sebelumnya, sejak 1976 ketika masih umur 20 tahun, ia menjadi petugas kebersihan jalan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon. “Saya pegawai honorer, pensiun tahun 2013,” ujar warga Pamengkang, Mundu, Kabupaten Cirebon.
Tugas keseharian Uri saat aktif berseragam kuning adalah menyapu pinggiran Jalan Rajawali. Hingga akhirnya kenal dekat dengan pengurus RW setempat. Tawaran jadi tukang angkut sampah datang saat dirinya purnatugas. “Biar tetap produktif di usia senja,” ucap kakek 15 cucu itu.
Ketika mengangkut sampah warga, Uri kerap dibantu anak ketiganya, Abdul Kholiq (37). Dia mengaku kalau bekerja sendirian, sering tak kuat membungkuk untuk mengambil sampah dari tempatnya. “Suka sakit pinggang,” keluhnya. Halangan lain yang membuat Uri terkadang hanya mampu sepekan sekali menjalankan tugas adalah masuk angin. “Maklum sudah berumur,” imbuhnya.
Memakai sepatu bot, slayer penutup setengah wajah, dan topi. Begitu tampilan Uri menyusuri tempat sampah warga. Sesekali dia terlihat mengisap rokok kretek. “Supaya enggak ngantuk sekaligus penetral bau sampah,” katanya memberi alasan akrab dengan asap nikotin.
Apakah penghasilannya saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Uri mensyukuri yang ia dapat. Terlebih ketika ingat awal jadi tukang angkut sampah, bergaji hanya Rp150.000 sebulan. “Sekarang sudah satu juta,” beber kepala keluarga dua rumah tangga itu. Ya, Uri tak sungkan mengakui statusnya yang beristri dua. “Istri saya yang muda, bekerja juga. Jadi, bisa meringankan beban saya,” tuturnya.


Motor roda tiga dipakai untuk angkut sampah (kiri) dan kontainer sampah di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie
Berikutnya: Urusan Truk Sampah
Saya kemudian mendatangi TPSS Rajawali. Siang itu sebuah dump truck parkir. Dua petugas berjibaku menyerok tumpahan sampah dari gerobak yang sengaja digulingkan. Petugas lainnya di atas mobil, menyambut operan ember berisi sampah. Terus mereka bekerja demikian, memasukkan sampah ke bak truk, sampai benar-benar tak menyisakan secuil ruang.
Di balik kemudi kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon itu, si sopir sedang memejamkan mata. Tapi tak marah begitu saya bangunkan. Namanya Taya (48).
Dia menyebutkan jam kerjanya pukul 07.00 sampai 13.00. Truk yang dibawanya biasa mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kopi Luhur setelah waktu zuhur, menunggu bak truk penuh maksimum. “Kapasitas (mobil) aslinya satu ton. Tapi kalau sampah dipadatkan bisa dua–tiga ton. Apalagi kalau musim hujan, air membuat muatan tambah berat,” paparnya.
Taya menerangkan ada lima kru yang menyertainya selama pengumpulan sampah di TPSS hingga pembuangan ke TPAS. Mereka tak punya jadwal libur. Kalau mau izin untuk suatu keperluan, mesti mengabari pimpinan sehari sebelumnya. Agar alih tugas kepada sopir lainnya tidak mendadak, demi menjaga layanan angkut sampah terus berjalan.
Taya bangga mendapat bagian tugas di TPSS Rajawali karena salah satu yang terbesar di Kota Cirebon. Menampung sampah dari sebagian wilayah Kecamatan Harjamukti, Kesambi, dan Lemahwungkuk. Dalam sehari, kata dia, ada hampir 50 gerobak sampah yang merapat. Sebenarnya beban angkut truk Taya hanya untuk 32 gerobak. Sementara satu gerobak bisa dua kali balikan membawa sampah ke TPSS Rajawali.
“Kelihatan, kan, berapa banyak kelebihan sampah yang mesti diangkut?” tanyanya coba berbagi kesah jika daya tampung sampah sudah over kapasitas. “Tapi ya, namanya juga tugas, tetap kami angkut ke Kopi Luhur,” imbuh pegawai berstatus ASN yang berdinas sejak 2012.
Tentang tukang sampah kompleks dikenai biaya ekstra jika membuang muatannya tidak langsung ke kontainer, sebagaimana penjelasan Uri, Taya menampiknya. Dia mengungkapkan itu sebatas ke-sukarela-an. Bentuk solidaritas kepada petugas kebersihan TPSS. “Kalau enggak ngasih, tidak masalah. Kami tetap bekerja profesional,” kata ayah tiga anak itu.
Taya menceritakan satu waktu pernah didatangi pengurus RW yang komplain soal biaya tak resmi tersebut. Menurutnya, kadang orang salah persepsi dan menganggapnya sebuah keharusan. “Setelah saya jelaskan, baru mereka paham. Jadi, tidak ada pungutan di sini,” ucapnya seraya menyebutkan selain Rajawali, Kota Cirebon memiliki TPSS Galunggung, Kimia Jaya, Buyut, Kalibaru, Sukalila Utara, Penggung, Evakuasi, Grenjeng, Sunyaragi, Tuparev, dan Krucuk.

Menyambangi Kopi Luhur
Besok siangnya, sengaja saya ajak Muhammad (10) ke TPAS Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya. Jaraknya 10 kilometer dari TPSS Rajawali. Mengarah ke ujung selatan wilayah kota. Melintasi jembatan di atas jalan tol Palikanci yang menuju Jawa Tengah.
Mendekati Kopi Luhur, jalan menanjak dan berkelok. Permukiman penduduk semakin jarang, berganti pepohonan dan belukar. Melewati lapangan tembak milik Korem 063 SGJ, terus naik lantas mulai tercium aroma tidak sedap, dan pemandangan bukit-bukit sampah. Ada gerbang masuk sekadarnya. Saya parkir motor dekat tenda semipermanen milik pemulung yang tengah memilah botol bekas air mineral.
Tak menanti lama, apa yang saya harapkan datang. Sebuah dump truck penuh sampah berpenutup jaring di atasnya menggilas jalan berlumpur yang dilewati. Hitungan menit, menguntit di belakangnya sebuah truk arm roll menggendong kontainer sampah. Lajunya menderu, mengepulkan asap pekat dari knalpot serupa bazoka. Muhammad takjub melihatnya. Pelajar kelas 4 MI itu tak berkedip!

“Ayo, ikuti truk-truk itu!” kata saya.
Setengah berlari, kami mengikuti jejak roda besar yang membelah tanah becek berlumpur hitam. Awalnya meniti pinggiran, lalu terhalang sampah botol beling yang sudah pecah setengah—bahaya! Mau tak mau melangkah agak ke tengah, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan terjadi: kaki terjerembap dalam lumpur berbau busuk. Show must go on, saya terus berjalan hingga melihat titik finis truk-truk tadi.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.