Mentari pagi perlahan menyapa Kota Makassar, sinarnya mulai terpancar saat motor ini menelusuri jalanan yang mulai ramai. Saya melaju dengan semangat baru menuju Dermaga Kayu Bangkoa. Sesampainya di sana, terdengar suara mesin kapal yang menderu dan teriakan para pekerja saling bersahutan. Beberapa penumpang terlihat menunggu giliran untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar Makassar.
Ada banyak pappalimbang (kapal penumpang) yang siap di dermaga, salah satunya akan ke Pulau Kodingareng. Penyeberangan reguler ke Pulau Kodingareng hanya sekali dalam sehari dengan jarak tempuh sekitar sejam. Di luar itu ada waktu tertentu kami bisa menaiki kapal ini untuk menyeberang.
Ini perjalanan pertama saya menyeberangi pulau yang ada di Makassar. Saya merupakan salah satu peserta kegiatan bertema “Literasi Maritim” yang diadakan Komunitas Antropos. Tujuannya mengenalkan kepada generasi muda terkait kemaritiman melalui penguatan literasi. Saat ini kita lebih sering melihat dunia metropolitan bekerja tanpa mengetahui bagaimana kehidupan lainnya, khususnya masyarakat maritim. Semangat pembangunan acap melupakan suara penduduk pulau dan nasib ekosistem laut yang terancam.
Setelah menerima beberapa materi, kami pun melakukan residensi ke Pulau Kodingareng. Angin laut menerpa wajah saya dan membawa aroma asin yang menyegarkan. Sambil menunggu rekan-rekan lain, saya duduk di tepi dermaga, menikmati suasana pagi yang penuh harapan. Rasa penasaran dan antusiasme mengiringi perjalanan baru ini, yang membawa saya jauh dari hiruk-piruk kota menuju kehidupan pulau yang berjarak sekitar 17,4 km.

Menikmati Perjalanan di Laut Lepas
Perkembangan teknologi membuat keberadaan pulau-pulau di sekitar Makassar terekspos ke publik. Dampaknya, kunjungan wisatawan ke Pulau Lae-Lae, Pulau Samalona, dan Pulau Kodingareng meningkat pesat. Dermaga Kayu Bangkoa menjadi salah satu gerbang utama menuju pulau-pulau tersebut.
Perjalanan ini dimulai ketika saya dan rekan-rekan menaiki kapal sewaan bertuliskan “Kodingareng”. Pukul 10.16 WITA, kapal sewaan kami meninggalkan dermaga menuju Pulau Kodingareng, ditandai guncangan kecil dan suara mesin kapal yang menderu.
Laut lepas yang seolah tak berujung menjadi pemandangan utama sepanjang perjalanan. Kapal berkapasitas 20–30 orang ini menjadi saksi bisu aktivitas para penumpang yang beragam; ada yang menikmati kebersamaan dengan keluarga, ada pula yang beristirahat sambil menikmati embusan angin laut. Kebetulan laut sedang bersahabat, gerakan kapal mengikuti ritme ombak-ombak kecil.
Di sisi lain kapal, saya melihat beberapa penumpang membawa barang dagangan, seperti sayuran segar, yang akan dijual di Pulau Kodingareng. Kehidupan di pulau-pulau kecil ini tidak terlepas dari aktivitas perdagangan karena laut menjadi penghubung utama. Selama perjalanan, ada banyak pertanyaan muncul dalam benak saya. Kehidupan seperti apa yang ada di pulau? Apa saja hal baru dan menyenangkan yang akan saya dapatkan selama dua hari ke depan? Seindah apa pemandangan laut di sana?
Di tengah berbagai aktivitas yang mengisi perjalanan, mulai dari berbincang, tidur, hingga menjaga barang dagangan, waktu seolah terbang sampai saya tidak menyadari begitu cepatnya puluhan menit berlalu. Ketika kapal mendekati dermaga Pulau Kodingareng, suasana di atas kapal mulai berubah. Beberapa penumpang mulai merapikan barang bawaan mereka, bersiap turun.

Hari Pertama: Menyusuri Lorong-lorong Pulau
Sesampainya di pulau, hal pertama yang menarik perhatian saya adalah panorama pantai yang dihiasi kapal-kapal nelayan. Di bibir pantai, kapal-kapal kayu bersandar dengan jala-jala yang terlipat rapi, menjadi saksi kehidupan para nelayan yang sehari-hari mengarungi lautan untuk mencari nafkah.
Lebih jauh ke daratan, terlihat rumah-rumah penduduk yang berdiri kokoh. Sebagian besar bangunan terbuat dari kayu dengan atap seng, memancarkan kehangatan dan kekeluargaan. Di pulau, saya melihat hal unik. Penduduk di sini lebih banyak menggunakan sepeda listrik dibandingkan kendaraan bermotor. Berdasarkan data pencatatan penduduk seperti dikutip Mongabay (28/5/2021), Pulau Kodingareng dihuni oleh 4.522 jiwa, terdiri dari 2.271 laki-laki dan 2.251 perempuan.
Saya dan rekan-rekan peserta—Arif, Kak Hasra dan Ucup—serta instruktur dari Antropos, Kak Sahima, Kak Agus, dan Kak Sultan, melangkah ke rumah Manda, salah satu warga pulau, yang telah lama menanti kedatangan kami. Rumah Manda akan kami tumpangi selama dua malam.
Setibanya di rumah, keluarga Manda menyambut hangat, menyuguhkan makanan dan minuman dingin yang sangat menyegarkan di tengah cuaca terik. Tepat saat khotbah Jumat berkumandang, rekan-rekan pria yang beragama Islam bergegas menuju masjid. Sementara itu, saya dan rekan lainnya beristirahat sejenak sebelum mulai mengeksplorasi pulau.
Pukul 13.22 WITA, kami mulai menjelajahi Pulau Kodingareng. Lorong-lorong kecil yang diapit rumah-rumah berdiri rapat menciptakan suasana padat, tetapi hangat. Penduduk tampak duduk santai di bale-bale (tempat duduk berbahan bambu atau papan kayu) depan rumah mereka, bercengkerama dengan penuh keakraban. Ada yang membakar ikan bersama keluarga, ada juga yang bermain karambol.
Sore hari tiba dengan langit oranye keemasan, menciptakan suasana yang begitu indah. Kehidupan sederhana di pulau ini memberikan kesan mendalam tentang nilai kebersamaan dan saling mendukung antarpenduduk.

Hari Kedua: Menyelami Kehidupan Penduduk
Keesokan paginya, saya kembali menyusuri lorong-lorong pulau. Namun, kali ini berbeda. Lebih banyak warga perempuan (ibu-ibu) yang terlihat menghabiskan waktu dengan duduk di bale-bale.
Biasanya, mereka berbincang membahas penghasilan atau cerita tetangga. Anak-anak kecil berlarian riang di bawah sinar matahari, menghidupkan suasana dengan tawa mereka.
Saat menelusuri pulau saya sempat merasa kelelahan. Saya pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan mendatangi perempuan paruh baya yang sedang duduk di bale-bale bersama tetangga lainnya. Sebut saja namanya Bu Eti.
Wanita paruh baya itu bercerita cara mereka menghabiskan waktu setiap harinya. “Setiap hari ngumpul begini, duduk-duduk, cerita-cerita bahas penghasilan sama tetangga,” katanya sambil terkekeh-kekeh bersama ibu-ibu lainnya.

Kehidupan Senggang Nelayan: Main Karambol dan Merawat Kapal
Saat kembali berjalan, seorang pria tiba-tiba bertanya, “Mahasiswa, Dik? Apa [yang lagi] dibuat (dikerjakan)?”
Langkah kaki saya terhenti saat itu juga. “Iya, Kak. Ini lagi keliling. Rencana mau lihat orang main karambol, tapi nda ada saya lihat,” jawab saya. “Oh, biasanya sore pi. Pulang pi dari melaut.” Mendengar jawaban itu, saya memutuskan berhenti sejenak untuk kedua kalinya. Saya, dengan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kehidupan senggang nelayan, kemudian melontarkan beberapa pertanyaan padanya.
Saya baru tahu, hari Jumat selalu menjadi hari yang paling ramai di Pulau Kodingareng. Tidak seperti hari-hari biasa. Kebanyakan nelayan sibuk melaut sejak pagi buta, tetapi pada hari Jumat mereka memilih untuk beristirahat di daratan. Hari Jumat adalah waktu bagi para nelayan untuk merajut kembali kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman. “Kalau hari Jumat itu nda ada orang turun (melaut), hari Minggunya mi nelayan itu (melaut), karena ada salat Jumat sama [sudah] jadi kebiasaannya mi orang di sini,” jelas Kak Ikhsan.

Satu hal lagi yang saya ketahui. Selain berkumpul di bale-bale, penduduk Pulau Kodingareng juga memiliki cara lain untuk mempererat hubungan sosial mereka, bermain karambol di waktu senggang. Permainan favorit ini sering dilakukan, terutama di kalangan nelayan yang baru saja pulang melaut. Di sela-sela rutinitas yang berat, karambol menjadi pelarian sederhana yang menawarkan hiburan sekaligus kesempatan untuk berkumpul dan berinteraksi. “Kalau sudah semua [pekerjaan] dikerjakan, baru ki main karambol, untuk senang-senang saja sama kumpul-kumpul daripada tidak ada dibuat,” ucap nelayan lain yang kerap disapa Irfan.
Hal lain yang unik juga saya lihat ketika saya berjalan sore hari. Penduduk Pulau Kodingareng kerap mengadakan acara bakar-bakar ikan di depan rumah. Setelah seharian melaut, para nelayan membawa pulang ikan tangkapan segar yang kemudian dibersihkan dan disiapkan untuk dibakar bersama-sama. Sore menjadi waktu yang sempurna bagi mereka untuk menikmati hasil tangkapan. “Setiap hari memang kumpul begini, kalau dapat ikan pasti dibawa pulang biar ada juga [yang] dibakar-bakar kalau sore.”
Selain bermain karambol atau berkumpul, para nelayan juga memanfaatkan waktu senggang untuk merawat kapal mereka. Saya melihat beberapa nelayan membersihkan lambung kapal dan memeriksa bagian-bagian yang perlu diperbaiki. Aktivitas ini tidak hanya menjaga perahu tetap dalam kondisi prima, tetapi juga menunjukkan hubungan mendalam antara nelayan dan alat penghidupan mereka.

Renungan di Akhir Perjalanan
Malam terakhir di Pulau Kodingareng memberikan waktu bagi saya untuk merenungi perjalanan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat terlintas di awal perjalanan kini terjawab dengan jelas.
Kehidupan masyarakat Pulau Kodingareng begitu sederhana, tetapi penuh makna. Keakraban antarpenduduk, lalu cara mereka memanfaatkan waktu senggang menjadi pelajaran berharga.
Dari lorong-lorong kecil hingga bale-bale sebagai tempat berkumpul, semuanya mencerminkan nilai kebersamaan yang kuat di Pulau Kodingareng. Perjalanan ini mengajarkan bahwa kehidupan yang sederhana pun dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian yang mendalam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.