Perjalanan bukan hanya tentang mengunjungi suatu tempat, melainkan juga perihal mengalami kehidupan tempat yang didatangi. Hal ini wujud dari gagasan mobilitas yang memandang tubuh sebagai “kendaraan” untuk merasakan emosi dan gerak.
Membuka November 2023, suasana masih remang saat kereta yang berangkat pada Subuh membawaku dari Stasiun Yogyakarta menuju Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo, lalu melanjutkan penerbangan ke Kalimantan. Pulau yang dihuni oleh tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dari YIA, sang burung besi terbang melintas di atas garis khatulistiwa selama dua jam sampai mendarat di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tujuan penerbanganku hari itu menuju Tarakan sebagai pintu masuk perjalanan ke beberapa daerah di Kalimantan Utara. Namun, belum ada layanan pesawat yang langsung terbang menuju Tarakan, sehingga pesawat mesti berhenti sementara di Balikpapan.
Satu jam menunggu di bandara, perjalanan dengan pesawat berlanjut dengan tujuan Tarakan. Durasinya kurang lebih satu jam. Karena tertidur, waktu penerbangan terasa berlalu cepat. Aku terbangun beberapa saat sebelum mendarat, yakni ketika petugas mengimbau kepada seluruh penumpang untuk menegakkan sandaran kursi dan mengenakan sabuk pengaman.
Tatapan mata kuarahkan pada jendela. Rasa kantuk yang menyerang karena mesti berangkat sejak Subuh sudah hilang. Terlihat dari luar sana mengalir sungai berkelok dengan air cokelat yang bermuara ke laut. Petak-petak empang tampak di pinggir sungainya. Deretan tanaman bakau tumbuh menjadi batas laut dengan empang warga tersebut.
Pesawat perlahan membelok ke kiri. Hamparan empang, bakau, dan laut mulai menghilang dan berganti deretan bangunan kantor, rumah-rumah warga, dan jalanan di antaranya. Bising terdengar, pesawat terguncang saat rodanya menyentuh landasan Bandara Juwata, Tarakan. Tidak lama, pesawat mulai melambat, arahnya berputar mendekati terminal penumpang. Turun dari pesawat, paparan sinar matahari terasa sedang terik-teriknya. Waktu itu pesawat yang kutumpangi mendarat saat bayangannya telah condong ke timur.
Dari bandara, aku menumpang mobil bergerak menuju sebuah kafe di Karang Balik untuk berjumpa Kak Mail, Kak Bata, dan Millah. Di sana kami santap siang dan mengobrol sebentar, sebelum bersiap kembali bergerak ke Pelabuhan Tengkayu untuk menumpang perahu cepat. Daratan Tanjung Selor, sebuah kecamatan di Kabupaten Bulungan yang sekaligus ibu kota provinsi, menjadi tujuan akhir perjalanan hari itu.
Tarakan, Kota Pertambangan Minyak yang Multietnis
Tarakan memiliki makna tempat singgah. Dahulu banyak pelaut yang singgah ke Tarakan untuk beristirahat dan makan di pulau ini. Tarakan sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Tidung, tarak (tempat singgah) dan ngakan (makan). Tarakan pada masa Perang Dunia II lewat buku yang ditulis oleh Iwan Santosa (2004) disebut sebagai “The Pearl Harbor of Indonesia” (1942–1945).
Tarakan terus mengalami proses perkembangan dan perubahan karena adanya aktivitas pertambangan minyak. Perubahan ini belakangan melahirkan representasi penanda identitas masyarakat Kota Tarakan yang multietnis. Kita bisa lihat dari penduduk yang menghuninya sebagian besar perantau, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Toraja, Palu, Manado, Buton, Batak, Padang, Aceh, Palembang, Ambon, Bali, dan Tionghoa. Tahun 2011, Polres Tarakan merilis data bahwa penduduk terbanyak datang dari etnis Jawa dan Bugis, masing-masing berjumlah 89.418 dan 75.941 jiwa, sedangkan etnis Tidung sebagai penduduk lokal sebanyak 5.900 jiwa.
Penduduk perantau yang lama hidup di Tarakan ini kemudian mendirikan perkumpulan sebagai upaya saling mencari, menjaga, dan merawat eksistensi budaya asal. Lembaga masyarakat memang satu dari sekian ekspresi budaya untuk menandai kehadiran migrasi warga. Sepanjang tahun 2020–2022, tercatat 23 kerukunan dan lembaga adat dari 156 organisasi masyarakat yang terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Tarakan. Selain itu, masih ada 20 paguyuban yang belum terdaftar dan ikut dalam pawai pembangunan tahun 2022. Artinya, sekurang-kurangnya ada 43 organisasi masyarakat yang bergerak meramaikan kelindan kebudayaan Kota Tarakan.
Sejarah perkembangan kota ini bermula pada tahun 1896, saat rombongan geolog Belanda yang bekerja untuk Nederlandsch-Indische Industrie en Handel Maatschappij (NIHM) datang ke Pulau Tarakan untuk melakukan penelitian, mencari potensi tambang minyak bumi. Tahun 1897, mereka memasuki wilayah hutan belantara di tengah pulau setelah mendapat informasi bahwa masyarakat menemukan rembesan cairan berminyak hitam, beraroma khas, dan mudah terbakar. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Pamusian. Saat itulah ladang minyak di Tarakan pertama kali ditemukan.
Sepanjang tahun 1897–1905, konsesi pertambangan minyak di Tarakan dimiliki oleh perusahaan NIHM. Periode tersebut adalah masa-masa perintisan tambang minyak di sana. Tahun 1905, konsesi NIHM berakhir dan ladang minyak Tarakan dialihkan ke Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Perusahaan ini kemudian memegang konsesi sampai tahun 1942. Namun, ketegangan karena Perang Dunia II membuat pemerintah Hindia Belanda memerintahkan untuk membumihanguskan sebagian besar fasilitas dan ladang minyak Tarakan agar tidak dikuasai oleh Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan “Bumi Hangus Tarakan.”
“Waktu itu, Belanda tidak mampu mengatasi gempuran pasukan Jepang. Akhirnya Tarakan jatuh ke tangan pasukan Jepang, bersamaan dengan pengelolaan tambang minyak yang turut diambil alih,” terang Pak Salam, kepala bidang kebudayaan Dinas Budporapar Kota Tarakan dalam suatu pertemuan dengannya.
Jepang kemudian menguasai tambang minyak Tarakan hingga tahun 1945. Kondisi tambang yang sebelumnya terbakar pun berhasil mereka pulihkan dan produktif kembali. Selanjutnya, ketika memasuki masa kemerdekaan, Indonesia melalui Permin— cikal bakal Pertamina—mengelola ladang minyak Tarakan.
Pertamina melakukan kerja sama dengan technical assistance contract (TAC) Tesoro, perusahaan minyak Amerika untuk mengelola kawasan tersebut dari tahun 1972 sampai 1992. Periode berikutnya (1992–2018) dikelola dengan pola TAC oleh Expan-PT Medco EP. Setelah itu, barulah Pertamina, melalui Pertamina EP mengelola lapangan minyak Tarakan hingga hari ini.
Berlayar Menuju Tanjung Selor
Tiba di Pelabuhan Tengkayu bersama Kak Mail dan Kak Bata, kami memesan tiket perahu cepat untuk pelayaran menuju Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Millah belum bisa ikut karena sakit. Dia akan menyusul sekitar dua atau tiga hari ke depan setelah pulih.
Perahu Sekatak AAA Express membawa kami menyusuri Laut Sulawesi, lalu memasuki Sungai Kayan yang mengalir di kawasan Bulungan selama satu jam lebih. Sungai Kayan yang berwarna cokelat, berhulu di Gunung Ukeng dan bermuara ke Laut Sulawesi, memiliki panjang hampir 576 km dengan luas 36.993,71 km. Aliran Sungai Kayan menjadi penghubung dan sumber pangan warga yang sering dimanfaatkan sebagai jalur transportasi dan kegiatan pertanian serta perikanan.
Pelayaran hari itu membawa ingatanku pada obrolan dengan Aan, seorang pemuda berdarah Bugis yang sudah lama menetap di Tarakan. Kami berjumpa pada 2022 saat kedatangan pertamaku di Bumi Paguntaka, sebutan lain Kota Tarakan.
“Kalau mau menikmati perjalanan di Kalimantan Utara usahakan jangan lewat udara. Mending lewat laut. Pasti terasa sekali itu, tidak bisa kita lupa,” ucap Aan waktu itu. Ia menyambut kesan pertamaku terhadap Kalimantan Utara yang sepertinya banyak dialiri sungai besar, karena melihat hamparan alamnya dari balik jendela pesawat.
Panas, sempit, dan segala kesibukan manusia dengan beragam tujuan di atas perahu adalah sepenggal emosi dan gerak yang mampu direkam oleh tubuh. Termasuk cerita dan hiburan dari tontonan “film” yang sedikit mengurai kebosanan berlayar sebelum tiba di tujuan. Pendingin dalam ruang kapal tidak berfungsi, jendela yang terbuka tidak mampu mengisi udara yang diperebutkan oleh puluhan orang. Aku hanya bisa pasrah. Keringat mengalir menembus pori-pori kulit. Beruntung karena aku duduk tepat di kursi belakang sehingga bisa berdiri dan berpindah duduk di buritan kapal dekat mesin. Namun, risiko duduk dekat mesin, hidung akan mencium aroma bahan bakar yang bisa membuat pusing jika terlalu lama dihirup.
Sesekali kuamati sempadan kiri dan kanan sungai. Bergantian kulihat tanaman bakau, nipah, pohon kelapa, dan hamparan hutan hijau. Beberapa kali perahu yang kami tumpangi berpapasan dengan perahu lain sedang hilir mudik di atas sungai yang sama. Terlihat juga penduduk yang sedang mencari penghidupan di sekitarnya.
Bukan hanya merekam emosi dan gerak, mobilitas juga memandang tubuh sebagai medium perekam bentang alam suatu wilayah. Kalimantan Utara misalnya, melalui pergerakan aku bisa merekam bahwa daratan ini bukan sekadar hamparan hutan seperti di media-media yang biasa terlihat, tetapi juga ditopang oleh aliran sungai dan laut. Peran penting hamparan air ini memiliki posisi sebagai penyatu antar wilayah dan manusia di dalamnya, menghubungkan mereka yang hidup dari hulu hingga hilir juga memberi sumber penghidupan.
Satu setengah jam pelayaran, perahu cepat yang kami tumpangi telah sandar di Dermaga Speed Besar Tanjung Selor.
“Malinau! Berau! Carter mobil, Pak?” sorak para sopir mobil sewa bergantian di tengah lalu lalang penumpang yang turun dari perahu. Mereka menawarkan jasanya dengan memadati pintu keluar dermaga. Satu pemandangan yang lumrah dijumpai selain jasa porter.
Kami berjalan menuju halaman depan dermaga dekat loket pembelian tiket perahu untuk menunggu mobil jemputan. Dari dermaga perjalanan kami lanjutkan menuju penginapan karena hari sebentar lagi malam.
Perjalanan panjang sejak pagi hingga sore dengan berbagai moda transportasi cukup mengundang keinginan untuk segera meluruskan badan. Saking lelahnya, tidak lama saat tiba di penginapan, mata sudah tertutup membawaku ke alam mimpi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Abdul Masli, kadang hidup nomaden. Menyenangi perjalanan dengan sepeda, jalan kaki, atau menggunakan transportasi warga. Suka memakai sandal jepit.