Peluit tanda kereta akan diberangkatkan dibunyikan oleh petugas stasiun. Suaranya memecahkan keheningan stasiun di pagi hari. Suasana masih lengang sekali. Keretaku perlahan mulai melaju, meninggalkan areal stasiun. Kereta berangkat dari Yogyakarta pukul 6 pagi dan akan tiba di Banyuwangi pukul 6 sore.
Suara-suara seperti inilah yang aku rindukan. Ketika roda kereta api bergesekan dengan rel dan kereta dipacu dalam kecepatan tinggi, akan muncul suara khas yang takkan bisa kita nikmati ketika menaiki bis, mobil, motor, bahkan kapal laut atau pesawat sekali pun.
Gerbong yang sedikit bergoyang dan cuaca hujan di luar membuat bulir-bulir air menyelimuti kaca jendela. Di balik kaca, hamparan persawahan hijau yang jadi ciri khas jalur kereta di Indonesia bergerak semakin cepat. Perjalanan ini pun terasa semakin penuh makna.
Menuju Banyuwangi menumpang KA Mutiara Timur Tambahan
Dua belas jam perjalanan aku tempuh dari Yogyakarta menuju Banyuwangi menumpang KA Mutiara Timur Tambahan. Ini aku lakukan demi budget traveling murah meriah menuju Pulau Sumba. Maklum, sedang high season. Harga tiket pesawat jadi tak masuk akal.
Suasana kereta tak terlalu ramai. Kursinya juga empuk dan dinginnya pas sehingga perjalanan lumayan panjang itu tak terasa melelahkan.
Kereta yang kutumpangi adalah kereta ekonomi premium, jenis baru dalam dunia perkeretaapian Indonesia. Kursinya tidak tegak sembilan puluh derajat seperti kereta ekonomi biasa, bisa diatur kemiringannya seperti bangku kereta eksekutif. Dan, yang paling penting, harganya lebih ekonomis ketimbang eksekutif.
Dalam perjalanan panjang menuju Sumba itu, aku ditemani seorang sahabat yang selalu mau kuajak jalan-jalan susah selama dua tahun ini. Namanya Abel, teman sekantor.
Akhirnya kami pun tiba di Stasiun Banyuwangi Baru pukul 6 sore. Hujan masih menyelimuti ketika kami menginjakkan kaki di stasiun paling ujung Pulau Jawa itu. Bau tanah yang khas ketika hujan melengkapi akhir dari etape awal perjalanan kami. Tak menunggu lama, aku bergerak melangkahkan kaki menuju Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Bali.
Setiba di Gilimanuk
Hembusan angin laut dan bau asap mesin kapal menyambut kedatanganku di Gilimanuk. Jangkar kapal dilempar. Deru suara mobil mulai terdengar.
Petugas dan beberapa orang polisi sudah menunggu di pintu pemeriksaan. Identitas seluruh penumpang yang turun dari kapal mesti diperiksa demi alasan keamanan.
Setelah itu aku pun bergegas keluar dari kapal menuju terminal untuk nyambung naik bis hingga Terminal Ubung Denpasar, Bali. Terminal Gilimanuk malam itu sangat gelap. Anjing-anjing yang berkeliaran membuat terminal itu tampak semakin menyeramkan.
Para agen dan kondektur bis wara-wiri menawarkan tumpangan. Tapi bis-bisnya tampak menyedihkan, tak satu pun yang menarik untuk dinaiki.
“Ayo! Ini bis ke Ubung. Masnya mau ke mana? Nanti kalau malam-malam udah nggak ada lagi bisnya,” tawar seorang kondektur bis pada kami. Saya bilang padanya bahwa kami mau makan dulu, mengisi perut dan menambah tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Lagian, entah kenapa Abel dan aku juga tak yakin dengan penawaran itu.
Kami pun buru-buru pergi meninggalkan areal terminal untuk mencari restoran atau warung makan. Perut kami sudah keroncongan. Maklum, selama 12 jam belum ada suplai makanan berarti yang masuk ke dalam tubuhku.
Menginap di sebuah warung di Gilimanuk
Tidak henti-hentinya anjing menggonggong saat aku melewati jalan keluar terminal yang minim penerangan. Abel ternyata takut sekali dengan anjing. Aku tak tahu, entah dia punya pengalaman buruk dengan anjing sewaktu kecil atau memang sudah fobia anjing sejak lahir.
Kujatuhkan pilihan pada warung makan yang tak terlalu jauh dari areal terminal. Di warung itu kami menandaskan dua porsi nasi goreng dan satu botol besar air mineral.
Selesai makan malam, suasana sekitar jadi semakin sepi. Tak lama kemudian, orang-orang yang tadi menawarkan bis kepada kami kembali menghampiri. Dia datang tiba-tiba—tentu saja aku kaget.
Kembali kutolak tawaran mereka seraya menambahkan dengan hati-hati bahwa kami berdua ingin istirahat dulu sampai esok pagi. Suasana jadi semakin tak enak. Dadaku berdetak cukup kencang, bingung memikirkan bagaimana nasib kami besok.
Jadi, ceritanya sebelum orang-orang itu datang ibu baik hati yang menjaga warung itu memberi saran pada kami untuk melanjutkan perjalanan esok pagi saja. Menurutnya tidak aman kalau pergi sekarang. Kami pasti akan dioper-oper. Setelah mempertimbangkan, akhirnya kami menuruti nasihat sang ibu.
Paham bahwa kami sedikit terintimidasi dengan kehadiran orang-orang itu, ibu itu pun mencoba melindungi kami dengan menyebutkan nama anaknya yang katanya cukup disegani di sekitar Pelabuhan Gilimanuk.
Ia juga mempersilakan kami tidur di warungnya. Langsung saja kami menggelar lapak di bagian belakang warung agar tersembunyi dari orang-orang terminal dan anjing-anjing yang berkeliaran di sana. Untung kami makan di warung ibu itu. Kalau tidak, entah ke mana nasib akan membawa kami malam itu.
Meninggalkan Gilimanuk, menuju Denpasar
Waktu di jam menunjukkan pukul empat pagi. Kami bergegas bangun. Setelah memastikan bahwa situasi aman, kami menyelinap masuk lewat samping terminal. Alasannya jelas, yakni agar tidak bertemu orang-orang yang semalam marah-marah ke kami berdua karena tidak jadi menaiki bisnya ke Ubung.
Untungnya kami berdua tidak bertemu mereka. Seorang petugas pelabuhan yang punya kenalan supir juga mencarikan tumpangan buat kami. Bis itu pun segera menderu kencang membawa kami meninggalkan Gilimanuk. Kanan-kiri sepanjang jalan sepi. Semua masih terlelap dalam selimut hangat masing-masing.
Bis itu cuma sampai Terminal Mengwi. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan ke Terminal Ubung naik Bis Damri. Di dalam bis umum “plat merah” itu lagi-lagi Abel dan aku dipertemukan dengan orang baik yang mempermudah perjalanan kami. Ia dari Probolinggo, hendak ke Nusa Dua di Kabupaten Badung.
Pagi itu Ubung diguyur hujan lumayan deras. Setiba di sana, kami langsung berteduh—pilihan terbaik kala itu. Lalu, orang yang kami ajak ngobrol dalam Damri tadi menawaran sesuatu pada kami, yakni tumpangan ke Bandara I Gusti Ngurah Rai. Dari bandara internasional yang sibuk itu, kami akan naik pesawat jam 12 siang ke Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Tentu saja tawaran itu kami terima.
Setelah melaju selama sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di Bandara Ngurah Rai. Hujan masih deras, tapi bandara itu tetap saja ramai. Tampaknya, Bali yang beberapa waktu lalu kelabu karena letusan Gunung Agung memang masih jadi magnet bagi manusia-manusia yang perlu undur diri sejenak dari dinamika dunia. (Mungkin juga karena sekarang adalah masa liburan Natal dan Tahun Baru.)
Akhirnya terbang juga ke Sumba
Suatu kali, seorang politisi Amerika Serikat dari Partai Republik, Roy Matz Goodman, pernah berkata seperti ini, “Remember that happiness is a way of travel, not a destination.” Dalam perjalanan panjang ke Sandalwood Island (Nusa Cendana, julukan Pulau Sumba), aku baru bisa memahami perkataan Goodman.
Tujuan traveling barangkali memang bukan hanya sekadar mengunjungi sebuah destinasi lalu mengambil foto setiap sudut tempat yang kita kunjungi, namun mengalami perjalanan itu sendiri kemudian mengambil makna dari momen-momen baru yang tercipta.
Yang lebih penting lagi, traveling mengeluarkan seseorang dari zona nyaman, mengantarkannya ke pengalaman-pengalaman baru yang akan bisa membuat kepribadian seorang individu berkembang.
Pengumuman-pengumuman silih berganti disuarakan di corong bandara. Beberapa menit lagi, pesawatku akan take-off menuju Pulau Sumba, tujuan utama kami. Aku membatin, “Belum sampai di Sumba saja sudah banyak hal tak terduga dan memompa adrenalin yang terjadi padaku.”
Apakah nanti di Sumba aku juga akan mengalami momen-momen luar biasa? Apakah akan masih ada orang baik yang akan “mengawal” perjalananku? Ah, biarkan saja waktu yang menjawabnya. Tapi, aku selalu yakin bahwa selama aku di Indonesia akan selalu ada orang baik yang kujumpai di jalan.
Satu setengah jam berlalu sejak pesawatku tinggal landas. Tak terasa burung besi itu sudah melayang-layang di langit Pulau Sumba. Kuintip lewat jendela, tampaknya cuaca cukup cerah di Tambolaka.
Pesawatku perlahan mulai menurunkan ketinggian, bersiap-siap untuk mendarat. Dari bawah, terdengar bunyi khas yang keluar dari roda pesawat sedang dikeluarkan. Sebentar kemudian pesawat mendarat sempurna di Bandara Tambolaka. Aku pun berdebar-debar membayangkan petualangan yang akan kulakukan di Sumba.
Baca tulisan Oky Hertanto yang lain di sini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menyukai ecotourism, fotografi, menulis, membaca, dan bercerita.