Events

Bersama Mengkampanyekan Perjalanan Lestari lewat Sekolah TelusuRI (2)

Kesadaran akan mitigasi krisis iklim perlu sebarkan lebih luas lagi, tak kecuali untuk para pejalan yang pasti meninggalkan jejak karbon signifikan. Bumi yang kita tempati sekarang berbeda keadaannya dengan bumi pada puluhan bahkan ratusan tahun lalu.

Lapisan ozon semakin menipis, es-es di kutub perlahan mencair, suhu bumi pun menjadi lebih hangat. Kita mungkin tidak dapat menghilangkan pemanasan global, tapi kita dapat menguranginya sedikit demi sedikit laju krisis iklim ini.

Climate Positive Trip

Byanmara, selaku Sr Social Impact and Carbon EcoTrip Manager, memulai sesi dengan pemaparan sebuah gambar yang disadur dari laman NASA. Gambar tersebut memperlihatkan perubahan jumlah karbon dari tahun 1884 hingga 2020 yang ada di atmosfer bumi. Terlihat karbon semakin tahun semakin menguasai bumi seiring dengan meningkatnya kegiatan industri, termasuk pariwisata.

Krisis iklim adalah tanggung jawab semua, termasuk para pejalan. Faktanya, pertumbuhan kelas menengah yang semakin pesat dan harga tiket pesawat yang semakin terjangkau, membuat pertumbuhan pariwisata meningkat 3-5% per tahun. Berbanding lurus dengan fakta sebelumnya yang menyatakan bahwa turis menyumbang 8% karbon dunia.

Padahal kalau ditelusuri lebih dalam, krisis iklim juga berdampak terhadap sektor pariwisata. Salah satu contoh dampaknya yaitu coral bleaching yang terjadi di Kepulauan Seribu. Ketika karang-karang di sana rusak, aktivitas pariwisata akan lumpuh. Tak ada lagi wisatawan datang karena warna-warni karang memudar. Masyarakat yang bekerja sebagai penggiat pariwisata pun pada akhirnya tak punya banyak pilihan.

Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menahan laju perubahan iklim yakni dengan menjalankan climate positive trip.

“Saat traveling, kita bisa mengurangi jejak karbon melalui konservasi. Tidak hanya sekedar ‘menebus dosa’ dari karbon yang dihasilkan, namun memberikan lebih banyak [upaya tebus dosa]. Secara tidak langsung, hal ini akan mensejahterakan masyarakat lokal,” tambahnya dalam menjelaskan climate positive.

Byanmara menjelaskan climate positive trip tidak harus dilakukan secara beregu tetapi setiap individu dapat memulainya sendiri. Sebagai pejalan, kita dapat memulainya dari membuat perencanaan perjalanan yang matang seperti memilih alat transportasi, memilih produk lokal, diet plastik, hingga menghitung jumlah karbon dihasilkan dan ditebus.

Carbon Ethics mempunyai organisasi lain yaitu Carbon Ecotrip, yang menjadi wadah buat para pejalan berkontribusi secara positif untuk masyarakat dan lingkungan. Dari Agustus 2020—Februari 2021 Carbon EcoTrip berhasil memberdayakan lebih dari 30 masyarakat lokal dan mengedukasi lebih dari 400 individual.

“Kedepannya kita juga akan banyak berkolaborasi dengan operator tur di seluruh Indonesia, agar membawa climate positive trips sebagai hal yang umum dilakukan ketika bepergian,” pungkas Byanmara.

Melestarikan Destinasi Wisata Daerah Berbasis Ekowisata

Asa yang diusung Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) sangatlah mulia, membantu memberdayakan UMKM lokal berbasis ekowisata. LTKL merupakan asosiasi pemerintah kabupaten yang fokus membangun ekonomi dengan memberdayakan lingkungan dan masyarakat lokal. Ada 9 kabupaten sebagai anggota aktif dan 20 jejaring mitra nasional dan lokal. Berlandaskan gotong royong, LTKL bertekad mewadahi para umkm lokal untuk mengembangkan bisnis. 

Oke Fifi yang menjabat sebagai Koordinator Unit Inovasi Lestari di LTKL menyatakan dukungan oleh anak-anak muda dan masyarakat kepada mereka sebagai sarana untuk membangun daerahnya. ”Potensi-potensi daerah punya peluang untuk dikembangkan menjadi suatu produk bernilai tambah untuk berbagai sektor turunan, bisa dari sektor kesehatan, industri, kecantikan,” jelas Fifi.

Salah satu tempat yang tergabung dalam LTKL adalah TWA Bukit Kelam. Bukit Kelam terletak di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Bukit yang merupakan salah satu monolit terbesar di dunia ini ditampilkan sebagai ikon wisata Sintang. Salah satu area Bukit Kelam ada wisata budaya yang bisa dilihat langsung pembuatan kain dengan pewarna alami. Rumah Betang, rumah komunal masyarakat Dayak digunakan juga sebagai tempat menenun kain oleh ibu-ibu Suku Dayak. 

Pewarna kain yang digunakan adalah pewarna alami yang didapatkan dari alam, tanpa menjaga alam mustahil rasanya kain tenun tersebut akan kita dapatkan. Pewarna alami juga tidak mengandung efek samping untuk para penenun maupun lingkungan. Harga kain yang diwarnai dengan pewarna alami bisa mencapai harga 2 juta rupiah, begitu tinggi nilai ekonomi yang didapat apabila salah satu sumber dayanya bisa kita jaga.

Fifi menyarankan untuk setiap perjalanan yang kita lakukan membeli oleh-oleh khas daerah tersebut. Tujuannya untuk menstimulus ekonomi lokal dengan harapan produk tersebut tetap bertahan. Jasa titip (jastip) yang populer dikalangan anak muda juga bisa menjadi opsi lainnya. 

Jantung wisata adalah alam, nadinya adalah masyarakat tradisional. Mengampu keberadaan mereka sama berharganya dengan menjaga nyawa sendiri. Ada hal-hal yang perlu kita renungi sejenak, sudah sampai mana perjalanan kita membawa perubahan? Apakah kita sudah mengedukasi dan teredukasi menjadi pejalan yang baik? Apakah kedatangan kita membawa manfaat bagi masyarakat lokal?

Melihat pemaparan para narasumber membuat gejolak di hati saya, sudah seharusnya saya menebus dosa saya sebagai pejalan dengan membuat alam lebih baik ketika saya meninggalkan tempat yang saya datangi.

Bagaimana dengan kamu?


Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Bersama Mengkampanyekan Perjalanan Lestari lewat Sekolah TelusuRI (1)