Entah sudah berapa kali saya terbangun oleh goyangan perahu, seperti kena polisi tidur perumahan yang membujur setiap beberapa meter. Dalam perjalanan dari Pangkep menuju Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan, musim angin begini, tidur memang rasa-rasanya mustahil.
Juga, rasa-rasanya seperti hendak dilumat laut. Beberapa kali saya terkena hempasan ombak, tersemprot air asin.
Selain itu, agak susah untuk mengobrol santai, sebab suara mesin diesel Dongfeng membahana memekakkan telinga. Saat-saat begini, saya bersyukur punya satu kemampuan: bisa tidur di mana saja. Skill saya ini sering bikin teman-teman menggelengkan kepala. Pernah saya tidur di belakang speaker di sebuah konser di Jogja. Pernah pula saya tiba-tiba “tewas” pas memegang mikrofon saat mewawancarai seorang narasumber.
Jarak Pangkep kota dengan Pulau Kapoposang sekitar 40 mil. Rata-rata waktu tempuh 4-5 jam dalam kondisi normal. Tapi, kami sedang berada di kondisi tidak normal. Jadi, menurut perkiraan, perjalanan akan memerlukan waktu sekitar 6 jam.
Perahu nelayan berbadan kayu yang kami tumpangi ini biasa disebut joloro. Perahu tipe 2 GT ini jamak dijumpai di perairan Sulawesi. Panjangnya sekitar 15-20 meter dan lebarnya bisa mencapai 1,5 meter. Berhubung bukan didesain untuk penumpang, perahu yang saya naiki ini ibarat mobil bak terbuka yang lapang dengan segala macam isinya. Perlu kemampuan khusus untuk memosisikan diri tidur dengan nyaman di antara jeriken solar, kardus, dan karung logistik.
Gelap. Hanya ada lampu-lampu yang menyala redup dari kejauhan. Saya belum tahu apakah itu lampu kapal nelayan atau lampu rumah di pesisir pantai. Sukar dipastikan. Dalam suasana kebingungan entah-mau-ngapain ini paling enak memang melamun. Harapan saya, sih, lamunan ini bisa jadi kapal ke alam mimpi, yang bikin saya bisa tidur nyenyak.
Tema melamun kali ini ialah: Kenapa saya bisa sampai pada kondisi seperti ini?
Perjalanan ke Pulau Kapoposang ini tanpa rencana maupun ekspektasi. Saya sama sekali tidak tahu apa yang ada di sana. Dedi, yang merayu saya untuk ke Kapoposang, hanya bilang bahwa kami akan ke kampung halaman temannya yang sekarang menjadi Kepala Desa Mattiro Ujung, yang wilayahnya meliputi Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan. Tapi, katanya di sana listrik berasal dari panel surya. Dan tidak ada sinyal internet. Menelepon saja hanya bisa dilakukan di beberapa titik. Khas daerah tertinggal.
Saya antusias. Perjalanan ke suatu tempat akan makin seru dan menantang jika di sana tidak ada sinyal seluler. Untuk saya yang bergantung pada ponsel dan koneksi internet, pengalaman tanpa sinyal ini adalah “kemewahan” yang luar biasa. Waktu di Mekko, Flores Timur, saya sempat menikmati sensasi tinggal tanpa sering mengecek notifikasi ponsel. Hasilnya, beberapa buku yang sudah lama saya bawa jalan-jalan, tapi tak pernah saya selesaikan, bisa saya tamatkan. Mungkin di Kapoposang saya bisa terapi tidak-menggunakan-ponsel. Syukur-syukur bisa sekalian detoksifikasi dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan sinyal.
Berhasil. Lamunan itu membuat saya mulai menguap. Kantuk mulai datang. Semoga saya segera terlelap dan bangun ketika sudah tiba di pulau nanti.
Sepertinya saya baru tidur sebentar saat mata saya kembali terbuka dan melihat sekitar. Hari mulai terang. Dari ponsel, saya tahu sekarang pukul 6. Wah, ternyata lama juga saya tidur. Mungkin sekitar 3 jam.
Perahu mulai melambat. Kami pun memasuki perairan Kapoposang. Air laut yang jernih dengan penyu yang tampak jelas sedang berenang di bawah sana menunjukkan bahwa tempat ini masih terjaga dunia bawah lautnya. Saya jadi tidak sabar untuk segera menyelam.
Setelah sandar di pantai, saya disambut pemandangan pohon sukun yang diameternya mungkin cukup untuk dipeluk 3-4 orang. Usianya mungkin sudah ratusan tahun, seperti pohon beringin tua. Dan, hebatnya lagi, ternyata tidak hanya ada satu atau dua pohon sukun berukuran super jumbo di pulau ini—ada lebih dari sepuluh!
Lalu saya mendapat kabar itu: tower sedang dibangun di Pulau Papandangan oleh salah satu provider. Kata warga, memang sedang dilakukan uji coba sinyal. Sore hari warga tampak ramai bergembira. Ternyata sinyal sudah masuk dan internet lancar.
Dalam hati saya hanya bisa bilang, “Gagal rencana saya terapi tanpa gadget.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 comment
[…] berapa liter diguyur ke badan mereka. Harumnya bikin kepala saya pusing. Selama beberapa minggu di Pulau Kapoposang, memang baru kali ini saya melihat mereka berpenampilan senecis ini, mengalahkan dandanan mereka […]