Gunungsitoli padahal sudah pukul 6 pagi, tapi masih gelap. Sandi, kawan baru saya, sudah menunggu di depan tempat saya menginap. Pagi ini dia akan membawa saya pergi ke Alasa, Nias Utara. Sekitar dua jam perjalanan kata dia.
Perjalanan dari Ibu Kota Nias, Gunungsitoli, menuju Alasa membelah bukit dan memang penuh tantangan. Jalanan yang tidak terlalu lebar itu hanya cukup untuk dilewati dua mobil, rusak layaknya permukaan bulan, dan tidak banyak penunjuk arah. Tapi, semua itu bukan halangan bagi Sandi untuk pergi. Dia sudah berulang kali mengendarai motor matic sewaan ke Alasa.
Sandi seperti sudah hafal ruas-ruas jalan mana saja yang berlubang. Kami meliuk-liuk menari saja di atas motor. Juga, tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Makanya saya dan Sandi bisa mengobrol santai, mulai tentang kehidupannya di sebuah kampung di Berastagi, bagaimana ia terkenal sebagai pembalap jalanan lalu bertobat karena kecelakaan, dan serangkaian cerita kenakalan dia lainnya saat sekolah.
Tapi sekarang dia sudah berbeda. Menurut dia, lebih baik kerja cari duit. Sudah dua bulan anak Berastagi ini “nyasar” ke Nias bekerja sebagai teknisi lapangan pemasangan internet di Lintasarta. Tugas dia adalah memasang jaringan internet di sekolah, puskesmas, hingga kantor kecamatan. Targetnya kali ini adalah memasang jaringan internet di SMP 1 Alasa guna menunjang sarana pendidikan di sekolah yang terhitung cukup terpencil itu.
“Yahobu!” teriaknya pada anak-anak sekolah yang jalan kaki di pinggir. “Yahobu!” balas mereka lagi serempak. Sandi mengatakan bahwa itu adalah sapaan orang sini saat bertemu, seperti manjua jua kalau di kampungnya. Selama berada di Nias, Sandi mengagumi keramahan masyarakat di sini. “Yang penting tau caranya, Bang,” kata dia penuh kode. Hmmm… Saya mulai paham maksud dia saat melewati warung makan dan sepintas melihat orang-orang di sana menikmati tuak.
Perjalanan menggunakan sepeda motor menyusuri jalanan Alasa seperti memutar waktu ke belakang. Rumah-rumah modern dengan dinding semen lambat laun berubah menjadi rumah-rumah kayu tanpa jendela kaca dan teralis besi. Beberapa rumah panggung bundar khas Nias juga tampak masih berdiri tegak. Saya bisa melihat jelas ruang-ruang dalam rumah sepanjang jalan, sebab jendela kayu mereka terbuka dari berbagai sisi. Melihat rumah-rumah kayu dan aktivitas mereka di pagi hari membuat saya tersedot dalam lamunan; sepertinya saya dapat merasakan sensasi tinggal di rumah itu.
Sebagai orang yang pernah tinggal di kota besar layaknya Jakarta, saya terbiasa dengan rumah-rumah serba tertutup. Entah karena alasan keamanan atau menghindari panasnya kota, pagar-pagar rumah di sana tinggi-tinggi, pintu dan jendela rapat seperti sudah lama dilas Iron Man. Kesannya, tak sembarang orang boleh berkunjung. Tapi rumah-rumah sepanjang jalan menuju Alasa punya aura yang berbeda. Pekarangan-pekarangannya asri dan jendela-jendela besar terbuka membuat saya seperti disambut oleh pemilik rumah untuk singgah sekadar minum teh hangat di pagi hari. Beberapa orang tua tampak menikmati paginya, santai tanpa beban.
Lamunan saya dibangunkan hentakan motor. Ternyata Sandi gagal lolos dari lubang.
Sambil nyengir dia bilang, “Maaf, Bang. Ternyata ada lubang baru. Kayaknya kemaren gak ada itu.” Ngeles.
Memasang “jendela dunia” di SMP 1 Alasa
Saya jadi mengerti, selain infrastruktur jalanan, sarana komunikasi dan akses internet juga perlu. Bayangkan bagaimana jadinya kalau sudah aksesnya jauh terus informasi juga susah.
Setiba di SMP 1 Alasa, kami masih menunggu Andi, seorang teknisi yang lebih senior dari Sandi. Sekolah yang berada di Jalan Pendidikan ini ternyata cukup luas, dua kali lapangan sepak bola. Dari obrolan dengan salah seorang guru saya jadi tahu ternyata ada 700-an siswa yang rata-rata adalah anak peladang. Para guru berharap akan ada banyak perubahan positif dengan adanya internet gratis untuk sekolah ini. Guru tidak boleh gaptek informasi.
Saya sempat berbincang dengan Rachel, siswi kelas 3, yang bercerita bahwa selama ini mereka hanya mengandalkan buku sebagai bahan belajar. Jadi agak susah mengikuti perkembangan materi terbaru. Ketika tahu akan ada internet gratis di sekolah, dia dan teman-temannya sangat antusias. Media sosial tentu sudah terbayang-bayang oleh mereka, juga beragam informasi soal dunia luar karena memang banyak dari siswa-siswi di Alasa yang belum pernah keluar Pulau Nias.
Tak sampai sejam, mobil Andi sudah sampai. Mereka pun mulai bersiap kerja. Perkakas dan peralatan mulai dikeluarkan. Anak-anak dan para guru mulai mendekat dengan antusias. Yang saya liat, sih, prosedurnya seperti memasang antena parabola. Tapi, setelah saya amati lebih lama, ini bukan pekerjaan yang gampang. Berulang kali mereka pointing antena agar sesuai koordinat dan mengutak-atik perangkat VSAT.
Sekolah yang semula ramai oleh murid lama-lama menjadi sepi, tanda hari sudah mulai sore. Para murid yang tadi setia menunggu, sebab sudah tak sabar mendapat sambungan internet, sudah bubar. Tinggal beberapa orang guru yang masih terlihat.
Akhirnya pemasangan selesai. Besok tinggal menyetel pengaturannya. Sandi dan Andi pun mengemasi perlengkapan mereka. Kata Sandi, kita harus pulang sebelum terlalu malam. Tak ada lampu jalan. Jalanan juga “semi off-road.” Akan sangat berisiko jika hujan tiba-tiba turun dalam perjalanan.
Untuk pulang menuju Gunungsitoli saya yang mengendarai motor. Saya penasaran menguji keahlian yang saya dapat selama bermanuver indah di Jakarta. Jiwa touring saya terpanggil untuk mengeksplorasi daratan Nias naik sepeda motor.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.
1 Comment