Sampul buku "Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan" karya Mumu Aloha
Sampul buku “Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan” karya Mumu Aloha/Indarka PP

Mengapa perlu memedulikan hal seremeh kucing jalanan, rutinitas minum teh hangat, atau tanaman tomat? Apakah semua itu berpengaruh terhadap hari-hari yang kita jalani? Kenapa juga kita perlu menggunakan perangkat jemala untuk menonton YouTube ketika berada di area umum? Setidaknya, pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab Mumu Aloha melalui buku Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan. 

Berangkat dari paradigma ‘terasing’, Mumu berhasil mengejawantahkan beragam fenomena ke dalam bentuk pemaknaan hidup sederhana namun bernas dan berkelas. Buku ini terbagi menjadi tiga kitab (bab) yang memiliki tajuk-tajuk unik: “Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan”, “Orang Shalih dan Sandalnya”, serta “Menyelamatkan Burung Layang-Layang”—masing-masing kitab berisi 15 (lima belas) esai. 

Membaca sepertiga halaman buku, kita akan menjumpai esai “Hidup yang Ringkas”. Mumu mengawalinya dengan prolog adegan seseorang yang sedang bersiap mendaki gunung dengan begitu bahagia. Ia memasukkan benda-benda yang kelak dibutuhkan selama mendaki ke dalam sebuah ransel. Begitu menuntaskan pembacaan esai tersebut, rupanya pesan yang terkandung tidak sesederhana judulnya. 

Keyakinan telah terpenuhinya kebutuhan selama menempuh perjalanan, diilhami Mumu menjadi sebuah pemaknaan bahwa hidup ini perlu dijalani dengan cara yang ringan dan ringkas. Sebuah kompor parafin, senter, mantel ponco, beberapa makanan dan minuman, menjadi seperangkat refleksi terhadap laku yang lebih luas, juga mendasar.

“… Hanya ada kita dan barang-barang yang benar-benar kita butuhkan. Tanpa hal-hal lain yang menyita waktu dan perhatian kita. Tak ada hasrat dan keinginan yang mengganggu. Semua sudah tercukupi dengan apa yang menyatu dengan badan kita…” (hlm. 27). 

Tempat untuk ‘Bersembunyi’

Kesadaran lain yang terangkum dalam buku setebal 266 halaman ini ialah pentingnya merawat kewarasan, seperti halnya esai “Bagaimana Cara Menghilang”. Esai tersebut berbicara soal pelarian atas carut-marut urbanisme. Mumu mendeskripsikan lewat penangkapan indrawinya tentang gerak-gerik para pengunjung hotel tersembunyi di balik bukit pinus. Satu (lagi) nasihat Mumu: kita perlu mencari tempat untuk ‘bersembunyi’, barang satu atau dua hari dari kebisingan dan hiruk-pikuk, kebosanan, dan kepenatan. 

Saya pun mengaminkan. Melewati hari demi hari yang memungkinkan saya bertemu dengan masalah-masalah baru di tempat kerja, rupanya begitu menguras emosi dan tenaga. Lebih berat lagi karena keadaan saya di rantau yang jauh dari keluarga.

Tentu makna ‘bersembunyi’ yang dituturkan Mumu sangat luas. Dalam hal ini, saya merasa beruntung karena saya bukan tergolong orang yang gila liburan dan keluyuran. Artinya, saya tak perlu repot-repot pergi ke tempat yang jauh dan asing. Di kamar indekos, ditemani satu cangkir kopi atau teh, beberapa batang rokok, sambil video call istri dan anak saya, adalah lebih dari cukup untuk sekadar memulihkan emosi dan tenaga yang telah terkuras sebelumnya.

Pada kenyataannya, di tempat yang paling sunyi sekalipun kita tetap tidak bisa lepas dari media sosial. Namun, paling tidak momen tersebut memberi kesempatan berharga bagi seseorang untuk menata kembali apa yang sudah dilupakan dan/atau terlupakan.

“Kita menikah, belanja bulanan, berlibur pada akhir pekan, memesan makan malam di restoran yang temaram, sambil menuntaskan obrolan yang kemarin dan kemarinnya lagi, sambil mengisap rokok, mengecek timeline, dan berkali-kali meyakinkan diri bahwa hidup yang hampa, hidup yang membosankan, hidup yang begini-begini saja, telah cukup dimaknai…” (hlm. 41). 

Etika Berteknologi

Tiba di kitab dua, kumpulan esai didominasi isu-isu yang lekat dengan teknologi. Sebagai insan yang hari ini sukar sekali jauh-jauh dari media sosial, kita diingatkan tentang penggunaan media sosial yang sewajarnya, sebab ketidakbijakan menggunakan ponsel cerdas bisa memicu hal-hal yang tidak baik.

Memutar video YouTube di ruang tunggu terminal dengan volume kencang, misalnya, tentu dapat mengganggu kenyamanan orang lain. Sekalipun itu ponsel cerdas milik kita sendiri, bahkan kuota internetnya pun kita sendiri yang beli, namun tetap saja perilaku tersebut menunjukkan minimnya empati kita terhadap urusan sederhana, seperti menjaga kenyamanan dan ketenangan di ruang publik.

Lagi-lagi saya sepakat. Jangankan di ruang publik, di ruang kerja pun memutar video YouTube terlalu kencang menurut saya bukanlah tindakan bijak. Saya pernah mengalami hal tersebut. Di ruang kerja dengan luas yang tak seberapa, rekan kerja saya sering memutar video debat agama di laptopnya tanpa mengenakan perangkat jemala. Celakanya rekan kerja saya itu jabatannya di atas saya dan usianya pun jauh lebih tua dari saya, sehingga saya tak bisa berbuat banyak kecuali membatin jengkel saja. 

Mumu menceritakan pengalaman tak menyenangkan macam itu dalam esai “Lawan Kejantanan Bukan Pengecut, tetapi Teknologi”. Ia menulis:

“Hari ini, teknologi komunikasi telah melahirkan kita kembali dalam sebuah tatanan yang semakin hari semakin memisahkan kita dari nilai-nilai dan hampir apa pun yang sebelumnya menjadi pegangan dan pijakan kita dalam kehidupan masyarakat…” (hlm. 108-109).

Salah satu esai Mumu Aloha
Salah satu esai Mumu Aloha/Indarka PP

Memperbaiki Hidup

Sebagian dari kita mungkin pernah membaca buku bergenre self improvement, yang berisi kiat-kiat jenius menggali kemampuan atau potensi yang ada pada diri seseorang. Dalam Good Vibes Good Life (2018), Vex King menyajikan cara berlatih menjaga diri sendiri, mengatasi hal negatif, memprioritaskan kesejahteraan hidup, mengubah keyakinan demi mengundang peluang besar, serta mengatasi rasa takut. 

Dalam Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan, secara eksplisit Mumu Aloha mengemukakan kembali hal-hal kecil yang begitu dekat dengan keseharian. Pada beberapa bagian, argumennya mungkin terkesan berpretensi atau bernada demotivasi. 

Dalam esai “Tomat, Ciplukan, dan Penyimpangan Populasi” yang terangkum dalam kitab tiga, Mumu sedikit kecewa lantaran tanaman tomat yang telah ia rawat dengan baik, pada suatu hari, mati sebelum berbuah. Akan tetapi, pada lain waktu pot-pot bekas tomat itu secara mengejutkan ditumbuhi tunas tanaman ciplukan (Physalis angulata L.). Tanaman itu pun tumbuh baik tanpa sedikit pun perawatan. Berbuah dan dapat dinikmati.

Kebanyakan orang—mungkin kita pun demikian, kata Mumu, menjalani hidupnya seperti pohon tomat yang perlu penanganan dan perlakuan khusus. Sebaliknya, sebagian lain layaknya ciplukan yang mampu hidup baik-baik saja dalam situasi apa pun. Setelah rampung membaca buku ini, betapa kita beroleh pemahaman bahwa tidak ada yang salah dari sikap menikmati hidup yang begini-begini saja. Lebih dari self improvement, Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan seperti mengajak kita melakukan perbaikan hidup (life improvement). Hal itu bisa berawal dengan mengingat-ingat segala yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan pada kehidupan yang fana nan riuh ini dengan cara yang teramat sederhana.


Judul : Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan
Penulis : Mumu Aloha
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Pertama, Januari 2023
Tebal : 266 halaman, 14 x 20 cm
ISBN : 978-623-293-764-2


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar