Untung saya mengunggah beberapa fotonya ke blog. Kalau tidak, saya pasti akan lupa kapan pertama kali mendaki Gunung Merapi. Sudah lama sekali soalnya, tahun kedua kuliah.
Saya mendaki tanggal 8-9 September 2007. Masih musim kemarau. Saya ikut pendakian massal (penmas) Mapala Satu Bumi FT UGM. Informasi soal pendakian Gunung Merapi itu tak sengaja saya dapat waktu sedang isi perut di burjo langganan di Pogung Kidul, lewat sebuah poster lusuh yang ditempel dengan kanji di pintu kayu warung andalan mahasiswa itu.
Waktu mengisi formulir pendaftaran di markas Satu Bumi, mata panitia yang menyambut tampak sedikit nanar mendapati bahwa saya adalah mahasiswa fakultas sebelah. Wajar saja: saya adalah “ikan salah pancing.” Penmas ini sebetulnya adalah modus mereka untuk menjaring calon anggota baru, yakni anak-anak FT UGM. Jika melamar, saya jelas akan gagal di tahap seleksi administrasi.
Tapi saya cuek saja. Poster penmas itu toh ditempel di burjo, sebuah ruang publik komersil yang bukan cuma ditongkrongi mahasiswa-mahasiswa teknik.
Bersemangat sekali saya menunggu hari pendakian Gunung Merapi. Maklum saja, sudah tiga semester kuliah tapi belum sekali pun saya bertandang ke Merapi. Bagi saya yang saat itu masih jadi freelancer, Merapi masih terkesan seram meskipun begitu menawan jika diamati dari Merbabu. Baru satu setengah tahun lalu (pertengahan 2006) gunung itu erupsi hebat.
“Sebelum Cahaya” dari bawah sampai puncak
Sore hari tanggal 8 September 2007, dari Jogja kami naik truk ke base camp pendakian Gunung Merapi. Rutenya standar, lewat Muntilan, Sawangan, Ketep Pass, lalu menelusuri jalan menanjak-menurun sampai ke pertigaan menuju New Selo.
Dari pertigaan legendaris itu truk mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk menempuh jalan yang miring minta ampun, sebelum berhenti di salah satu rumah yang sudah disewa sebagai Base Camp Pendakian Massal Satu Bumi.
Tiba di sana hari sudah malam. Tapi kami tak langsung mendaki. Panitia mempersilakan kami untuk istirahat, barangkali satu, dua jam. Sebelum mendaki, tentu badan harus diaklimatisasi terlebih dahulu supaya tidak kaget dengan perubahan suhu dan tekanan yang tiba-tiba.
Setelah agak terbiasa dengan dingin, barulah panitia meminta kami untuk bersiap-siap, kemudian membagi kami ke dalam kelompok-kelompok pendakian kecil yang terdiri dari empat sampai lima orang. Masing-masing kelompok ditemani seorang pemimpin di depan dan “tukang sapu” di belakang.
Sekitar jam 11 malam satu per satu kelompok dilepas, diberi jarak beberapa menit supaya tidak menumpuk di jalan. Kami mulai melangkah di jalan aspal menuju New Selo yang bikin ngos-ngosan itu. Keterjalannya menghajar saya tanpa ampun.
Karena sudah pemanasan, kaki saya tidak kram—tapi keringat mengucur deras. Rasanya senang sekali ketika akhirnya kaki saya mulai menapaki jalur tanah di samping areal gardu pandang. Dibanding aspal yang industrial, trek tanah yang alami itu terasa empuk sekali bak spring bed.
Dari awal trek alami itu, salah seorang senior Satu Bumi yang jalan bareng kami mulai memutar sebuah lagu lewat tape yang dibawanya di pundak. Lagu itu diulang-ulang terus tanpa henti sampai kami tiba di puncak keesokan harinya. Lagu itu adalah: “Sebelum Cahaya.”
Kawah mati yang hilang karena erupsi
Banyak yang tak suka mendaki Merapi karena itu gunung minim bonus. Nanjak selalu. Tapi saya beda. Sejak pendakian perdana itu saya malah jatuh cinta pada Merapi. Setelahnya hampir setiap tahun saya mendaki gunung itu—sampai beberapa tahun yang lalu. Bagi saya, keterjalan Merapi bukan representasi kegarangan, tapi kejujuran.
Tapi saya senang juga ketika malam itu akhirnya kami menginjak tanah rata di Pasar Bubrah. Tim advance sudah bersiaga di samping sebuah batu raksasa. Beberapa tenda sudah berdiri, perapian hangat sudah menyala, dan makanan dan minuman hangat sudah tersedia, siap untuk disantap.
Kami tidur dulu selama beberapa jam. Ketika semburat sudah mulai muncul di ufuk timur, kami digugah dan diajak untuk ke puncak. Pelan-pelan, kami jalan beriringan mengikuti leader di depan. Di atas sana, di angkasa, gemintang yang keras kepala masih bertahan meskipun langit sudah semakin terang.
Kondisi trek dari Pasar Bubrah ke Puncak Merapi tahun 2007 berbeda sekali dengan yang sekarang (meskipun waktu tempuhnya relatif sama, yakni sekitar satu jam). Kalau sekarang pendaki mesti melipir agak ke timur melewati trek pasir-kerikil, dulu jalurnya lebih ke tengah, lewat batu-batu besar yang dari celah-celahnya menyembur solfatara yang menguarkan bau belerang.
Sebelum puncak, ada pemandangan spektakuler: Kawah Mati. Seperti namanya, itu adalah kawah yang sudah tak lagi aktif. Lumayan besar dan dasarnya tertutup pasir. Kalau mau turun ke sana, ada jalurnya. (Waktu pendakian perdana itu, kami diajak turun oleh anak-anak Satu Bumi.) Sayang sekali Kawah Mati sudah hilang akibat erupsi 2010.
Sekitar jam 7 pagi kami tiba di puncak. Saya terkagum-kagum melihat Gunung Merbabu yang seperti mangkuk hijau raksasa terbalik, terpana melihat Triple S (Sumbing, Sindoro, Slamet), dan terbius oleh Puncak Lawu yang misterius. Maklum, pendaki anyaran.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
1 Comment