“Maaf, teman-teman, saya harus pulang dulu,” sapa saya menghentikan keheningan. Sontak saja semua orang berdiri dan mengatakan salam perpisahan. Hanya dua hari satu malam saya merasakan suasana provinsi di ujung paling barat Indonesia ini, yaitu Aceh. Sebelum pada akhirnya saya harus meninggalkannya dan bergegas menuju Kota Bandung. Namun kesedihan saya segera sirna saat seseorang bersuara, ”Ayo, aku ajak jalan-jalan sebentar aja.” Saya dibuat kebingungan antara menerima ataupun menolak tawaran tersebut. Karena saya takut ketinggalan pesawat. Pada akhirnya saya mengiyakan ajakan itu.

Dengan menumpang sebuah mobil hitam, saya dan ketiga orang yang lain segera meluncur entah kemana. Saya hanya diam terduduk sembari terus-menerus menengok arah jarum jam yang melekat pada pergelangan tangan sebelah kiri. Hingga saya sontak mengangkat kepala saat seorang pria berkata, “Ini Masjid Baiturrahman, ikon kota kita, dulu aman dari Tsunami, tapi gak usah kesini ya.” Saya yang berharap untuk sejenak mengamati keindahan dan keagungan masjid, hanya bisa menelan pil pahit.

Perjalanan terus berlanjut hingga mobil membelokkan dirinya menuju sebuah bangunan yang terlihat cukup megah. Dengan tulisan besar berwarna biru, Museum Tsunami Aceh. Selanjutnya kami langkahkan kaki menuju sebuah gedung rancangan Gubernur Jawa Barat itu, Ridwan Kamil. Saat itu Kang Emil, sapaan akrab beliau, memenangkan sayembara desain gedung yang diadakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Walaupun kejadian yang menggoyahkan hati nurani dan mempora-porandakan Aceh telah berlalu 16 tahun yang lalu. Tepatnya pada 26 Desember 2004, tetapi seluruh peristiwa tetap membekas di hati seluruh penduduk Indonesia, terutama warga Aceh. Sehingga pembangunan museum ini, tidak hanya sebagai wujud mengenang saja, tetapi juga sebagai simbol kebangkitan diri.

Museum ini bertemakan Rumoh Aceh as Escape Hill yang memadukan unsur tradisional dari rumah adat Aceh dan bentuk gelombang seperti tsunami. Museum Tsunami Aceh terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Tiket masuknya berkisar antara 2000 hingga 10.000 rupiah yang terbilang terjangkau. Pada mulanya untuk masuk ke museum ini tidak dikenakan biaya. Namun semenjak kontrak kerja sama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah habis, alhasil pengunjung wajib membayar tiket masuk. Museum ini beroperasi dari pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB.

Terlihat gaya arsitektur yang sangat apik dengan tembok penuh relief. Benar saja karena pembangunan gedung ini menghabiskan dana mencapai Rp140 miliar. Museum ini memiliki 4 lantai dan berdiri di atas lahan seluas 2.500 meter persegi.

Ruang The Light of God/Melynda Dwi Puspita

Saat mulai melangkahkan kaki ke dalam ruangan, kami disambut oleh sebuah lorong kecil dan pencahayaan remang. Perasaan dibuat tertekan, takut, dan gelisah saat disuguhkan suara azan dan percikan air. Hal ini sebagai penggambaran suasana yang dirasakan warga Aceh saat tsunami dulu. Lorong ini disebut sebagai Ruang Renungan. Setelah itu, kami memasuki ruang kaca dengan fasilitas berupa monitor yang bisa digunakan untuk mengakses informasi terkait tsunami Aceh. Ruang kaca ini dikenal dengan nama Memorial Hill.

Selanjutnya terdapat ruangan bertuliskan nama-nama korban tsunami yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Nama tersebut tertulis pada dinding berwarna hitam dengan minim sumber pencahayaan yang mengibaratkan Cahaya dari Tuhan (The Light of God). Belum lagi dengan didengarkan suara lantunan ayat suci Al-Quran semakin membuat batin terasa tersayat. Dan tidak bisa membayangkan apa yang telah dialami secara langsung oleh warga Aceh. Pada bagian atas terdapat seni kaligrafi terukir lafadz Allah.

Jembatan Harapan/Melynda Dwi Puspita

Kemudian kami dihadapkan pada sebuah jembatan yang diatasnya terdapat 25 bendera negara yang berjasa karena turut andil membangkitkan Aceh. Jembatan tersebut disebut sebagai Jembatan Harapan. Untuk menuju jembatan ini, kami harus jalan memutar sebagai wujud perjuangan warga Aceh menghindar dari dahsyatnya terjangan gelombang tsunami. 

Foto Tsunami Aceh/Melynda Dwi Puspita

Selain itu, terdapat ruangan yang menyajikan 26 foto terkait tsunami Aceh, 22 alat peraga serta 7 maket berbentuk kapal, masjid dan sebagainya. Fasilitas yang tersedia juga sangat lengkap, mulai dari musala, toilet, tempat parkir, toko souvenir, pusat kuliner, perpustakaan hingga ruang geologi. Ruang geologi ini bertujuan untuk mempelajari dan mitigasi tsunami.

Atap museum dibiarkan terbuka dengan beberapa tanaman terlihat berjejer. Tujuannya adalah sebagai lokasi evakuasi apabila terdapat bencana alam kembali. Ruang evakuasi ini terletak di lantai teratas. Sayangnya masyarakat umum tidak diperbolehkan untuk masuk, agar tetap steril dan selalu siap sedia digunakan. Namun harapannya peristiwa kelam di masa lalu tersebut tidak terulang kembali.

Tidak terasa satu jam telah kami habiskan dalam ruangan penuh makna. Selanjutnya kami hanya bisa membayangkan seluruh peristiwa. Dan ternyata waktu masih banyak tersisa. “Ayo, sekarang kita ke Kapal PLTD Apung, sekalian beli oleh-oleh,” tutur seorang pria berkemeja coklat.

Tinggalkan Komentar