Pilihan EditorTravelog

Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko

Institusi-institusi pendidikan di negara-negara Eropa, mulai dari pendidikan usia dini hingga universitas, tiap tahun serempak merayakan musim panas. Musim panas memang patut dirayakan, sebab akhirnya orang-orang bisa terbebas dari suhu rendah yang bikin menggigil, angin yang ribut, dan awan tebal yang menghalangi pancaran sinar matahari. Libur musim panas lumayan panjang, yakni sekitar dua bulan.

Saya merasakan itu tahun 2016. Sebagian teman sekelas saya menghabiskan waktunya di Negeri Kincir Angin untuk belajar mempersiapkan remedi atau bekerja paruh waktu di kafe atau bar dekat kampus. Sebagian lainnya menganggap dua bulan adalah waktu yang cukup untuk bertualang dan memilih melancong ke negara-negara yang lebih hangat, entah di Uni Eropa atau wilayah lain. Saya termasuk golongan kedua.

Saya melancong bersama seorang teman perempuan selama tiga puluh hari. Perjalanan ini dimulai dari Eropa Barat, terus ke Mediterania, menyeberang ke Afrika Utara, kemudian berakhir di Eropa Timur. Sebagai generasi yang hidup di zaman internet, tak tebersit sedikit pun rasa takut untuk menyambangi wilayah-wilayah tersebut. Banyak aplikasi yang bisa diandalkan, seperti TripAdvisor, Skyscanner, Hostelworld, dan Google Maps. Bermodalkan aplikasi-aplikasi internet (yang mengakomodasi tabungan pas-pasan, kesoktahuan, dan kenekatan ala backpacker) itu, saya berubah menjadi turis cum pemandu perjalanan.

Dari tepi Laut Tengah ke utara Benua Afrika

Maka, tak terasa kami berdua sudah tiba di Mediterania bagian Spanyol. Kawasan itu membuat saya cukup terpukau, melihat perbedaan peradaban yang mencolok dari Eropa Barat. Beberapa kota yang saya kunjungi, seperti Barcelona, Sevilla, dan Cordoba adalah kota-kota dengan aktivitas pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Di tempat-tempat itu masyarakat berbaur dengan turis dalam kegiatan sehari-hari. Mereka mencari nafkah dari turis—sekaligus berebut public space dengan pelancong.

Di Barcelona, turis-turis dengan berbagai warna kulit dan negara bercampur, antre berdempet-dempetan di Sagrada Familia. Sementara di Sevilla dan Cordoba kebanyakan dari mereka adalah muslim yang melakukan napak tilas dan bernostalgia menelusuri kejayaan kerajaan Islam di Eropa. Saya sempat mampir ke sebuah masjid yang berubah menjadi gereja, Mezquita Catedral de Cordoba. Karena musim panas, saya berpakaian layaknya turis lain—kaus tak berlengan dan celana pendek di atas dengkul. Seperti halnya yang saya alami di negara-negara Eropa lain yang saya datangi, tak ada interaksi dengan orang lokal atau sekadar pertanyaan basa-basi “Where are you from?” Pun tidak ada petugas penyewaan kain di pintu masuk rumah ibadah ini. Semuanya terasa normal dan, entah kenapa, saya merasa aman.

maroko
Sagrada Familia di garis langit Barcelona via pexels.com/Aleksandar Pasaric

Lalu, dari Madrid, saya terus ke Maroko di bagian utara Benua Afrika. Memasuki Afrika, saya berpakaian selayaknya di Indonesia—tidak ketat, tidak minim, tidak bisa seenaknya. Sebenarnya tak ada review yang membahas tentang cara berpakaian, ini hanya kesadaran pribadi (atau insting) saja.

Penerbangan saya ke Marrakesh harus transit di Casablanca, sebab tidak dapat penerbangan langsung dari Madrid. Transit dua jam, saya dan teman memilih untuk tidak keluar bandara. Alih-alih kami memanfaatkan waktu untuk menukarkan euro ke dirham Maroko, juga—agar tak pusing kalau lost in translation—membeli kartu perdana sebab jaringan Lebara (penyedia kartu SIM prabayar Belanda) tidak menjangkau Benua Afrika. Di loket penjualan kartu SIM, kami memasang kartu baru dan paket internet, dipandu oleh petugas customer service yang ada di sana.

Seperti yang saya duga, percakapan dengan CS berlanjut sampai pertanyaan-pertanyaan: “Dari mana kamu berasal?” “Berapa lama di Maroko?” “Kalian hanya berdua saja?” Kedengarannya mungkin wajar, hanya ramah tamah lokal. Namun, bagi saya pribadi, basa-basi itu terdengar asing, sebab saya tak pernah disambut seperti itu saat menjadi turis di negara-negara Eropa. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membuat orang yang ditanyai tidak nyaman, sebab bisa saja disalahgunakan. Tapi, saya pikir lagi, ini ‘kan Afrika Utara. Maka saya jawab saja pertanyaan-pertanyaan itu.

Lalu kami pun kembali ke gerbang keberangkatan. Karena gerbang belum dibuka, kami punya waktu untuk sejenak mengistirahatkan punggung yang penat memikul backpack seberat tujuh kilogram. Saat punggung mulai relaks, tiba-tiba seorang pria paruh baya mulai bertegur sapa. Pertanyaannya sama seperti CS kartu SIM tadi. Saya mencoba memahami, apa mungkin kultur di sini seperti di Indonesia? Kami terjebak antara budaya Timur dan Barat di Maroko. Percakapan itu berjalan sampai ia meminta nomor telepon kami untuk berkomunikasi. Belum bisa memahami apa yang terjadi dan karena masih menerapkan adat ketimuran, akhirnya kami berikan nomor kartu perdana Maroko yang baru dibeli itu. Apa yang ia mau, entahlah. Yang jelas kartu SIM itu bisa kami buang saat hendak keluar dari Maroko.

SMS di Marrakesh

Lalu tibalah kami di Marrakesh, salah satu kota besar yang terkenal sebagai kota persinggahan menuju padang pasir dan tersohor dengan banyak souk (pasar tradisional) yang hingar bingar.

Setelah naik bis umum dari bandara, kami berhenti di depan Masjid Koutoubia. Di luar perkiraan, Google Maps ternyata tak bisa memunculkan saran rute transportasi umum dalam kota Marrakesh. Barangkali karena belum terjadwal dan rutenya belum terintegrasi. Alhasil, kami jalan kaki dua kilometer dari pusat kota ke hostel. Jam empat sore saat itu. Karena lapar, sebelum mencapai hostel—terima kasih untuk TripAdvisor—kami singgah dulu di sebuah restoran untuk menyantap chicken tagine sebagai makan malam.

maroko
Kafe di Marrakesh via pexels.com/Nicolas Postiglioni

Dari sana, hostel tinggal sekitar delapan ratus meter lagi. Namun kami harus jalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil—dan hari mulai gelap. Karena berjalan dipandu Google Maps, kami menarik perhatian sekelompok anak berusia tanggung. Mereka mencoba mengantar kami (juga dengan jalan kaki) ke hostel. Dengan agak memaksa, menggunakan bahasa Inggris yang patah-patah, mereka terus menawarkan dan membuntuti kami beberapa blok. Saya berusaha untuk tidak menggubris, sebab saya sudah tahu arah ke hostel.

Setiba di hostel, kami menuturkan pengalaman itu pada para pengelola. Mereka bilang, (sebaiknya) diamkan saja sebab mereka akan membuat kami berputar jauh dan mereka juga bakal meminta uang.

Di hostel kami baru menyadari bahwa di nomor baru Maroko itu ada beberapa pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Ternyata dari bapak paruh baya yang kami temui di Casablanca. Ia menanyakan sampai kapan kami di Marrakesh dan mengundang kami untuk ke rumahnya. Mungkin memang tak terlalu bijaksana untuk memberikan nomor ponsel ke orang yang tidak dikenal.

Akhirnya, sepanjang sisa hari pertama di Marrakesh, kami hanya beristirahat di hostel saja, sebelum esok menelusuri padang pasir selama dua hari.

Di perhentian pertama menuju Gurun Zagora

Hari kedua, operator tur untuk perjalanan ke Gurun Zagora (Zagora Desert) yang sudah kami pesat lewat internet sudah menunggu di lobi tepat pukul tujuh pagi. Di mobil pariwisata, kami bergabung dengan sekitar sepuluh turis lain—dari Selandia Baru, Australia, Inggris dan Spanyol. Hanya kami berdua dari Asia. Karena cukup jauh dari pusat kota Marrakesh, paket perjalanan ke Gurun Zagora mengharuskan untuk bermalam, entah 2 hari 1 malam atau 3 hari 2 malam. Pertimbangan biaya dan durasi membuat kami memilih paket 2 hari 1 malam (80 euro).

Menuju Gurun Zagora perlu waktu enam jam perjalanan darat dari Marrakesh. Kami transit beberapa kali di pusat oleh-oleh dan restoran untuk makan siang. Perhentian pertama adalah perhentian yang paling saya ingat.

maroko-03
“Chicken tagine”/Adiska Octa

Di perhentian itu tersedia rest area dengan toilet dan kafe. Setelah dari toilet, kami ke kafe membeli air mineral sebagai bekal perjalanan. Sang penjaga kafe, mengetahui kami dari Indonesia, lagi-lagi memberikan kami pertanyaan-pertanyaan seperti yang kami terima dari penjual kartu SIM dan pria paruh baya di Casablanca. Kami mencoba untuk menjaga keramahtamahan ala Indonesia dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun saat kami mencoba mengakhiri obrolan, penjaga kafe itu menyentuh dagu teman saya sambil tersenyum lebar.

Reaksi yang saya berikan adalah segera pergi dan kembali ke mobil. Keramahan saya langsung buyar dan berganti dengan amarah. Saya memahami bahwa Maroko adalah negara dengan komunitas muslim (yang besar), seperti Indonesia. Tapi apa yang dilakukan penjaga kafe itu sudah menyalahi aturan dan norma sosial yang seharusnya juga berlaku di Maroko.

Saya bayangkan mereka tidak akan berani melakukan physical contact dengan perempuan Maroko, atau white-woman travelers berpakaian minim. Tapi, dengan kami, mengapa mereka bisa semudah itu?

Pergi dari Maroko

Dua hari kami habiskan waktu menaiki unta di padang pasir. Hari keempat, kami menjelajahi souk. Lokasi souk yang kami datangi tak jauh dari hostel, sehingga kami bisa jalan kaki. Di pasar tradisional itu banyak bumbu dan kerajinan khas Maroko. Souk mengingatkan saya pada pasar di Ubud, Bali, di mana toko-toko berjajar berhadapan dengan tata kelola yang berantakan. Artinya, tak ada pembagian wilayah berdasarkan kategori produk.

maroko
Gurun Zagora/Adiska Octa

Kami meluangkan waktu sehari untuk mengelilingi souk itu, sebab arealnya cukup besar dan penuh lika-liku. Merasa tidak aman dari copet, saya tak berani mengeluarkan kamera mirrorless dan hanya mengambil foto (jika diperlukan) dengan ponsel. Sepanjang souk saya juga merasa tidak nyaman. Beberapa penjaga toko memanggil-manggil kami untuk singgah. Lucunya, mereka mengira kami dari Tiongkok. Padahal kami berdua bermata bundar besar dan berkulit sawo matang.

Hari kelima adalah hari yang kami tunggu-tunggu, sebab kami akan segera keluar dari Maroko dan meneruskan perjalanan ke tujuan berikutnya, kembali ke Eropa. Rentetan kejadian yang kami alami telah membuat kami rindu akan dinginnya Eropa Barat dan orang-orang yang acuh tak acuh.

Di Benua Eropa saya merasa jauh lebih aman melakukan perjalanan sebagai perempuan dibandingkan di Maroko. Kami mencoba untuk menghargai nilai-nilai agama dan sosial yang ada di Maroko dengan berpakaian tidak terbuka dan bersikap ramah. Akan tetapi, nyatanya pakaian tidak menjamin wanita bebas dari bentuk-bentuk pelecehan fisik atau verbal. Jelas ini bukan karena pakaian kami. Atau, apakah karena budaya Timur tidak bisa diterapkan di pucuk Afrika ini?

Buruh LSM yang terdampar di Labuan Bajo.

Buruh LSM yang terdampar di Labuan Bajo.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *