Setiap hari, Pasar Lama Tangerang selalu ramai. Terlebih saat musim liburan. Kebetulan saya mengunjunginya di akhir pekan. Tentu saya harus berhadapan dengan kemacetan Kota Tangerang dan menyelam di tengah lalu-lalang warga.
Namun, kalau masuk gang-gang sempitnya mungkin bisa sedikit bernafas lega. Seperti yang saya lakukan tempo hari, guna menghindari keramaian di ruas utama Pasar Lama Tangerang. Gang-gang sempit dengan segala keriuhannya setia menemani setiap langkah saya.
Yang menjadi kekhawatiran saya adalah keberadaan copet yang beraksi di tengah-tengah kerumunan. Untungnya selama penelusuran di Pasar Lama Tangerang saya diberikan keselamatan lahir batin. Pun saya mendapatkan kenikmatan seusai berkeliling. Rasanya tidak cukup satu minggu atau satu bulan untuk menjelajahi tempat ini.
Keterbatasan waktu membuat saya hanya memiliki tujuan utama, tepatnya berada di balik pertokoan Jalan Kisamaun atau ruas utama Pasar Lama Tangerang.
Museum Benteng Heritage: Rekam Jejak Peranakan Tionghoa Tangerang
Perjalanan saya ke Pasar Lama Tangerang sebenarnya sekadar iseng untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek lalu (22/01/2023). Selepas mengantar saudara ke Bandara Soekarno-Hatta, saya putuskan menuju Pasar Lama di Sukasari, Kota Tangerang.
Karena bertepatan dengan akhir pekan dan perayaan Tahun Baru Imlek, kawasan Pasar Lama Tangerang penuh lautan manusia dan stan jajanan kekinian. Setelah memarkirkan kendaraan, saya lanjut berjalan kaki menyusuri Pasar Lama. Saya sudah memiliki target destinasi di sekitar Pasar Lama, sehingga tidak butuh waktu lama mencapai tujuan. Berbekal rasa penasaran, saya masuk gang sebelah ruas utama Pasar Lama.
Gang di sepanjang Jalan Cilame Pasar Lama merupakan akses tercepat menuju Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage. Dua tujuan utama saya. Kunjungan pertama saya adalah Museum Benteng Heritage Tangerang, sebuah museum peranakan Tionghoa milik pribadi, yaitu Udaya Halim.
Setelah menyampaikan izin dan maksud kedatangan, pengelola mengizinkan saya masuk untuk menikmati setiap detailnya. Namun sayang, ketika di dalam saya tidak boleh mengambil gambar. Saya memaklumi karena museum pribadi tersebut penuh dengan memorabilia peranakan Tionghoa Tangerang.
Menginjakkan kaki ke dalam, rasa kagum dan senang campur aduk menjadi satu. Bagi saya Museum Benteng Heritage adalah satu dari sekian banyak rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang masih terawat. Nuansa dan gaya bangunan khas peranakan Tionghoa sangat kentara terpampang di seluruh sisi museum.
Museum yang dahulu merupakan rumah peranakan Tionghoa ini awalnya milik keluarga Tionghoa bermarga Loa. Sebagaimana rumah milik taipan kala itu, rumah marga Loa pun sangat mewah. Rumah berlantai dua dengan elemen kayu jati utuh dan dua pasang daun pintu di setiap lantai.
Pada ventilasi terdapat ukiran dan epitaf karakter Tionghoa. Lalu empat pilar persegi berukir menopang bagian tengah ruangan. Tujuannya supaya rumah tidak lembap dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Bagian tengahnya terdapat relief Sie Jin Kui, bercerita mengenai jenderal perang Kwan Kong (160—220 M) yang hidup di masa Dinasti Tang pada abad ketujuh—kesepuluh. Dalam relief tergambar sang jenderal sebagai sosok pahlawan yang sangat dihormati lantaran kemenangan yang dia peroleh.
Namun, tidak ada catatan lebih lanjut tentang sepak terjang sang jenderal karena hanya sebagian relief yang ditemukan. Terlepas dari itu, rumah seorang taipan Tionghoa setidaknya terdapat satu altar sembahyang. Museum Benteng Heritage memiliki dua altar.
Setiap altar terpampang foto keluarga awal pemilik rumah, di antaranya Loa Tiang Lie, Khouw Pit Nio, Loa Siong Lim, dan Loa Pek Yam. Ketika di masa kepemilikan Loe Tiang Lie, rumah ini pernah digunakan sebagai rumah lelang dan gudang ikan asin. Sedangkan keluarga lain berdagang kelontong.
Tidak menutup kemungkinan fungsinya sebagai rumah lelang dan gudang ikan, mengingat lokasinya tepat di pinggiran aliran sungai Cisadane, pusat nadi perekonomian Tangerang abad ke-18 hingga masa kemerdekaan. Semua itu terekam kuat di museum ini.
Adapun cerita mengenai masyarakat China Benteng di Tangerang sendiri cukup rumit dan kompleks. Sudah banyak peneliti dari luar negeri yang risetnya mengkhususkan mengenai masyarakat China Benteng.
“Kalau saya ceritakan hari ini, tentu Mas Benu tidak pulang!” canda Udaya Halim. Faktanya memang demikian. Kunjungan pertama kali tersebut membuat saya merasa tidak ingin pulang dan ingin mengenal lebih jauh kehidupan mereka. Namun, apa daya waktu berlalu cukup cepat dan saya harus segera melanjutkan perjalanan.
Saat keluar museum, mata saya tertuju pada tiga pintu utama museum. Tentu aneh apabila museum peranakan Tionghoa memiliki daun pintu layaknya warung makan. Ternyata, memang sejak dahulu pintu tersebut ada.
Sejak pertama kali dibangun, Museum Benteng Heritage Tangerang tidak banyak berubah. Hanya saja saat pihak keluarga sempat mengosongkan rumah ini selama puluhan tahun karena pindah ke Jakarta, terjadi penjarahan di beberapa sudut.
Udaya Halim sejatinya tetangga depan rumah keluarga Loa—sekarang Museum Benteng Heritage. Udaya menjadi pemilik museum lantaran keluarga Loa menjual rumah leluhur mereka. Ia yang lahir dari kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang sudah mengenal betul keluarga Loa.
Masa kecil Udaya Halim dikenal sebagai keluarga miskin, hingga tuan tanah mengusir mereka dari tempat mereka tinggal. Kini keluarga Udaya Halim, yang menaruh perhatian besar terhadap Museum Benteng Heritage, tengah mengumpulkan artefak mengenai sejarah China Benteng Tangerang untuk koleksi museum. Serta mengembalikan marwah Pasar Lama Tangerang, dengan komunitas China Benteng yang terkenal kala itu.
Menurut dia, “Artefak yang dibutuhkan tidak harus benda antik peninggalan jaman itu. Sepasang baju atau sandal, kalau pemiliknya memiliki cerita di dalamnya, bisa dimasukan dalam museum.”
Reproduksi foto dan silsilah keluarga Loa juga tengah berlangsung. Besar harapan agar rumah keluarga Loa tidak kehilangan sejarahnya dan diselamatkan untuk generasi mendatang. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bangunan tertua di kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang maupun tempat lainnya.
Kelenteng Boen Tek Bio: Wujud Persatuan dalam Perbedaan
Puas bercengkerama di Museum Benteng Heritage, perjalanan saya berlanjut ke Kelenteng Boen Tek Bio. Kelenteng tertua di Tangerang yang sudah ada sejak 1684. Pertama kali berkunjung, saya kira awalnya hanya lalu lalang teman-teman yang sembahyang saja. Ternyata lebih dari itu.
Tentu banyak yang beribadah di Hari Raya Imlek. Banyak pula rekan seperjalanan dan fotografer yang tengah mengabadikan kegiatan di luar kelenteng. Saya pun ikut lekas merekam momen yang ada. Tidak perlu keahlian khusus untuk mendapatkan momen terbaik. Tentu tetap harus mengutamakan tata krama. Selama saya hunting tidak sampai mengganggu jalannya ibadah mereka.
Di tengah asyik mengambil gambar, tiba-tiba rasa iseng saya muncul. Saya masuk ke kelenteng dan ikut menyalakan hio di hiolo. Tentu saya mendapat izin melakukan itu setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan kedatangan saya kepada pengurus.
Puas menyalakan hio tidak lupa saya mengucapkan terima kasih dan memohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya buat. Saya pun kembali ke halaman kelenteng untuk mengabadikan momen-momen dari sudut pandang lain. Di sinilah awal mula saya kena iseng dari salah satu pengelola kelenteng.
Ia tanpa basa-basi mempersilakan saya untuk mengobrol dan mengambil buah-buahan yang tersaji di sisi kiri kelenteng. Awalnya saya ragu untuk mengambil, karena waktu itu saya berpikir sajian tersebut untuk keperluan upacara di dalam. Ternyata yang berada di luar, siapa pun itu, boleh mengambil secukupnya.
“Mas, tadi kamu masuk kelenteng, ya? Kalau iya, silakan ambil ini buah-buahan. Dari mana asalnya?” tanyanya sambil mempersilakan saya mengambil buah.
Setelah saya memperkenalkan diri, ia tertegun sejenak dengan apa yang yang saya sampaikan. Ia tidak menyangka, saya yang datang dari Jawa Tengah memang sengaja iseng main ke Tangerang buat ikut perayaan Imlek. Apalagi saya seorang muslim dan mengunjungi kelenteng.
Ternyata saya sangat dihargai, karena tidak semua orang berani melihat ke dalam klenteng. Rekan-rekan fotografi mengabadikan momen hanya di halaman depan. Namun, balik lagi ke pembaca untuk menyikapi. Bukan menilai, tetapi ini fakta yang terjadi. Saya termasuk di antara ratusan rekan Tionghoa yang masuk ke kelenteng Boen Tek Bio.
Mengetahui hal tersebut, akhirnya ia memberi saya dua buah apel dan satu buah pir untuk bekal perjalanan. Setelah kira-kira 2,5 jam mengambil gambar di kelenteng, saya pun berpamitan dengan pengurus dan melanjutkan perjalanan ke Bogor.
Rasanya sangat menyenangkan melihat kerukunan antarumat beragama, suku, dan daerah asal setiap orang. Besar harapan saya tahun depan dan yang akan datang kerukunan seperti ini tetap terjaga. Tidak hanya saling bertoleransi, tetapi juga rukun dalam bermasyarakat. Seperti yang saya alami selama di Pasar Lama Tangerang.
Semoga.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Hello mas Benu, saya sangat tertarik dengan sajian tulisan2 mas Benu disini, kalau boleh usul mungkin di websitenya tulisan2 ini diberi counter juga supaya bisa kelihatan berapa banyak yang sudah mengunjungi website mas Benu. Tq