Percakapan dalam Bahasa Mandarin terdengar dari satu meja di warung empal gentong. Saya penasaran dan menoleh. Terlihat tiga wanita muda berkulit putih sedang menikmati semangkuk kuah merah bersantan dengan irisan daging.

Penampilan mereka kasual, mengenakan pakaian tanpa lengan. Rambut lurus tergerai, di antaranya ada yang dicat merah. Saya mudah menebak, jika ketiganya turis asing asal Tiongkok.

Hari Minggu (1/12/2024), saya mengantar istri membeli bahan membuat kue. Kenapa ke Pasar Kanoman? Sebab, sekalian mengajak kedua balita putri jalan-jalan melihat ikan hias yang dijajakan. Sejak lama, pasar yang satu area dengan Keraton Kanoman ini dikenal sebagai pusat jual beli ikan hias di wilayah Cirebon.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Gerbang utama Pasar Kanoman/Mochamad Rona Anggie

Dari tempat tinggal kami di kawasan Perumnas Rajawali, Pasar Kanoman mudah diakses menggunakan kendaraan roda dua melewati Jalan Pangeran Drajat dan Kutagara. Melintasi pasar Jagasatru, terus menuju Keraton Kasepuhan hingga ke arah Alun-alun Sangkala Buana. Lanjut memotong Jalan Pulasaren, sampailah di kawasan Pasar Kanoman. 

Keraton Kasepuhan ada di sisi selatan, sedangkan Keraton Kanoman di utara. Keduanya memiliki jejak historis yang panjang dalam pengembangan Islam di tanah Jawa. Jika Keraton Kasepuhan kesohor dengan aktivitas pasar malam Muludan setahun sekali, Keraton Kanoman memiliki pasar tradisional sehari-hari yang menawarkan ragam kebutuhan masyarakat.

Kuliner lokal Cirebon, semisal empal gentong, tahu gejrot, dan docang juga mudah ditemui. Termasuk oleh-oleh khas kerupuk melarat, kerupuk kulit sapi, dan buah mangga gedong gincu, kerap menjadi incaran wisatawan yang berkunjung ke Pasar Kanoman.

Toko khusus oleh-oleh berderet di Jalan Kanoman arah Jalan Pasuketan. Sementara pedagang kaki lima berderet sepanjang trotoar. Berbagi tempat dengan pedagang durian, perkakas rumah tangga, dan perlengkapan akuarium.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Lokasi pasar satu area dengan Keraton Kanoman/Mochamad Rona Anggie

Mangga Gedong Gincu Banyak Peminat

Pagi itu cenderung teduh. Padahal, biasanya pukul 09.00 sinar matahari di langit Cirebon sudah terasa panas. Beberapa hari belakangan memang turun hujan. Namun, intensitasnya masih sedang. Ya, bersyukur saja tidak kegerahan. Baju tak basah keringat, enak dipakai aktivitas luar rumah.

Saya kemudian berbincang dengan seorang pedagang mangga gedong gincu yang tampak semringah. Namanya Madawir (39). Dia mengiyakan, jika hari Minggu lonjakan pengunjung di Pasar Kanoman lazim terjadi. “Pembeli otomatis bertambah,” kata lelaki asli Setu Patok, Kabupaten Cirebon.

Jika hari biasa, lanjut Madawir, mangga gedong gincu di lapaknya terjual sekitar 50–60 kilogram. Memasuki Sabtu dan Minggu meningkat hingga 100 kilogram. Harga per kilogram sekarang Rp30 ribu. “Penjualan meningkat karena kedatangan wisatawan luar kota,” ucap pedagang yang telah berjualan di Pasar Kanoman sejak 2000.

Dia tak menampik turis asing kerap terlihat di Pasar Kanoman. Mangga gedong gincu menjadi salah satu oleh-oleh “wajib” yang banyak peminat. “Wisatawan dari Bandung, Jakarta, dan luar negeri, suka sekali gedong gincu. Rasa yang manis dan wangi jadi keunggulan buah ini,” tuturnya. 

Bisnis Madawir yang memiliki nama Usaha Dagang (UD) Gedong Gincu Ateng mengungkapkan, puncak penjualan mangga gedong gincu adalah Oktober–November. Daerah penghasil gedong gincu terbanyak adalah Indramayu. Jika stok di sana menipis, kiriman datang dari Gemulung (Sindang Laut) dan Majalengka. “Nanti momen Tahun Baru, permintaan meningkat lagi,” ujar lelaki yang memilih berhenti sekolah di usia 13 tahun, mengikuti kakaknya berjualan gedong gincu.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Gedong gincu menjadi incaran wisatawan domestik dan asing/Mochamad Rona Anggie

Turis Asing Jajal Docang

Omzet berlipat ketika Minggu tiba dirasakan pula pedagang docang, Bu Neng (50). Menurutnya, hari libur membuat wisatawan luar kota antusias datang ke Pasar Kanoman. Mereka membawa anggota keluarga berlibur ke Cirebon. Menikmati kuliner lokal menjadi agenda wajib yang mesti ditunaikan. “Saya jualan sejak 1995. Hari biasa habis 20 porsi. Kalau Minggu bisa 50 porsi,” kata warga Plered itu, yang kini ditemani anak perempuannya, Putri (21), untuk melayani pembeli.

Putri menambahkan, selain wisatawan domestik, secara berkala pelancong mancanegara juga suka mampir ke warung docangnya. Tak terkecuali turis Asia, yang terlihat hilir mudik di kawasan Kanoman. Banyak yang mencoba kuliner lokal, terutama empal gentong, tahu gejrot, dan docang. “Dari Cina ada. Kalau yang bule biasa bareng famili orang Indonesia,” bebernya seraya menyebut sehari-hari mulai berjualan pukul 07.00 sampai 15.00 WIB.

Suguhan docang adalah semangkuk lontong dengan rebusan taoge, daun singkong, dan parutan kelapa. Lalu disiram kuah panas bercampur dage atau oncom. Warna kuahnya bening—kadang agak memerah—dan tanpa santan. Topping-nya kerupuk putih khas (bukan kerupuk yang biasa kita temui) sehingga cenderung keras jika dimakan langsung. Di sini kuah docang berperan melembutkannya. Bu Neng menjual seporsi docang Rp16 ribu. Rasanya lezat. Maknyus!

Pengunjung bisa menikmati tahu gejrot dan empal gentong di pedestrian pasar/Mochamad Rona Anggie

Belum ke Cirebon, kalau Belum ke Kanoman

Salah seorang pengunjung luar daerah adalah Sumaryati (60). Warga Cijerah, Kota Bandung itu sering mampir ke Pasar Kanoman jika sedang mengunjungi saudara di Cirebon. “Rasanya tak afdal [kalau] main ke Cirebon, [tapi] enggak ke Kanoman,” kata nenek lima cucu yang biasa datang bersama keluarga besar. 

Di Pasar Kanoman, Sumaryati menghabiskan waktu untuk berburu oleh-oleh dan memuaskan lidah, menikmati aneka kuliner khas Cirebon. Ia mengaku melupakan sejenak saran dokter terkait makanan pantangan. “Makanannya enak-enak, sih. Ada empal gentong pakai babat, usus, ampela. Tambah lagi kerupuk kulit, wah, enggak bisa nahan,” tuturnya lantas tertawa.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dispbudpar) Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya, mengaku mendengar informasi kehadiran wisatawan mancanegara ke Pasar Kanoman. Kabar tersebut didapat dari penggiat komunitas sadar wisata yang tinggal di kawasan Pecinan, satu area dengan pasar Kanoman.

“Mereka memberitahu, akhir pekan turis Asia kerap terlihat kulineran di Kanoman,” katanya kepada penulis, belum lama ini.

Kemunculan mereka, sambung Agus, berkat aksesibilitas menuju Cirebon yang semakin mudah. Baik dari Jakarta atau Bandung. Dari Jakarta hanya perlu 2,5 jam naik kereta eksekutif, atau bermobil via tol Cikampek–Palimanan (Cipali). Sementara dari Bandung hanya 1,5 jam lewat tol Cirebon–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu).

“Wisatawan dari Stasiun Kejaksan juga mudah mau ke Kanoman. Sepuluh menit lewat Jalan Siliwangi, Karanggetas, dan Winaon,” terangnya.

  • Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
  • Pasar Kanoman di Hati Wisatawan

Bagi turis domestik dan mancanegara, sejak lama Cirebon dikenal memiliki banyak peninggalan bersejarah. Ini menjadi daya tarik tersendiri. Tambah lagi, Cirebon sebagai daerah pinggir pantai yang memiliki beberapa pintu pelabuhan, berperan penting dalam akulturasi budaya Tionghoa, India, dan Arab.

“Orang luar (negeri), menaruh perhatian pada percampuran budaya demikian. Unik menurut mereka. Jadi penguat untuk datang ke Cirebon,” ujarnya.

Agus menyebutkan, tahun 2025 Pemkot Cirebon akan menata kawasan Pecinan, Winaon, dan Lemahwungkuk yang mengitari pasar Kanoman. Menyatu sebagai titik wisata kuliner, oleh-oleh khas, kerajinan lokal, serta seni budaya. Pihaknya sudah studi banding ke Surabaya, belajar mengombinasikan satu kawasan menjadi destinasi wisata budaya unggulan. 

Secara geografis, Surabaya dan Cirebon sama-sama kota pelabuhan. Banyak pendatang dengan latar suku dan budaya berbeda, kemudian berpadu dengan khazanah tradisi setempat. “Harapannya mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan ke Cirebon,” kata Agus.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Kepadatan di Pasar Kanoman, sampai tempat parkir nyaris penuh/Mochamad Rona Anggie

Dukungan Komunitas Walking Tour

Fenomena komunitas walking tour (jalan-jalan dalam kota) yang diinisiasi kawula muda, ungkap Agus, juga memberi efek positif pengenalan suatu tempat wisata kepada khalayak luas. “Karena aktivitas walking tour ini dibarengi membuat konten untuk media sosial. Cepat viral,” tuturnya.

Generasi kekinian yang belum tahu sebuah tempat wisata, jadi ingin tahu dan ikut jalan bareng akhir pekan. Nah, generasi tuanya jadi kilas balik, diingatkan kembali ada tempat wisata ini dan itu. Akhirnya mereka coba tapak tilas bersama keluarga atau rekan seangkatan.

“Tentu saja ini meningkatkan kunjungan ke sebuah tempat wisata,” ujar Agus senang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar