Sekiranya tengah hari, matahari terik, dan suara-suara kendaraan yang amat mengganggu gendang telinga. Kepala terasa pening, rasanya gelisah, bosan, semua yang dilakukan di kamar kos amat membosankan. Maklum mahasiswa yang tiap hari berhadapan dengan laptop. Kuliah. Kuliah online, bosan bukan?
Saya tentu harus jujur sangat bosan. Siapa coba yang tak bosan menghadapi tugas-tugas yang ruwetnya minta ampun, apalagi kalau materinya sulit dipahami, ampun dah. Canda.
Saya menghubungi seorang kawan lewat WhatsApp. Siang itu. Pesan terkirim, centang dua. Beberapa menit kutunggu, setengah jam, belum ada balasan. Setelah satu jam, masih sama juga, dua jam lewat kiranya, “Ayo, gas,” balasnya.
Menyiapkan tas, sepasang pakaian ganti, kompor portable, dan wajan kecil, untuk masak. Saya berangkat menjemput kawan yang baru saja ajak. Ada beberapa kawan lain di sana. Kami ajak beberapa kawan itu untuk ikut. Mereka sepakat mau ikut.
Satu dua hal yang harus disiapkan adalah tujuan. Mau kemanapun, yang harus jelas ya tujuan. Karena camping yang diadakan, tanpa direncanakan sebelumnya, hanya berselang beberapa jam saja, karena pengen saja, tempat memang belum kami tentu. Di sinilah memakan cukup waktu lama. Kami membuka Google dan Google Maps. Pilih-pilih tempat mana yang sekiranya cocok. Tapi, mungkin satu jam, tidak ada hasil pantai mana yang mau dituju.
Beberapa teman yang kami ajak akan menyusul pagi hari. Karena tidak mau ambil pusing, jadi kami tetap berangkat berdua saja. Kami kemudian mampir di salah satu tempat penyewaan alat-alat outdoor. Satu tenda dan dua matras kami angkut. Awalnya kami tidak ingin menyewa tenda, sebab beberapa hari ini sering hujan kami pikir benda ini akan diperlukan.
Pantai Sundak jadi pilihan
“Jalan saja, entar tak cari pantai sembari di motor,” ujar saya pada seorang kawan. Kebetulan saya bonceng.
Mencari-cari di Google, banyak pantai yang terlihat cukup menarik di Gunung Kidul—dipinggir pantai banyak warung yang menjajakan makan-makanan, yang tak akan kesusahan saat perut terasa lapar, tenda-tenda bercokol di sisi pinggir pantai, bukit-bukit, menjadi sangat kelihat apik di layar gawai saya yang sudah butut ini.
Sebab pertimbangan, tempat: tidak terlampau jauh, saya langsung membuka Maps, Google Maps maksudnya. Toh, dalam aplikasi ini lengkap menyajikan informasi tempat hingga foto lokasi. Klik ini, klik itu, klik lagi, hampir semua pantai yang ada di Gunung Kidul saya kunjungi, tentu lewat Google Maps. Saya tetap bingung pilih yang mana, masing-masing menarik dan indah. Ada yang asri sepi pengunjung, ada pula yang ramai dan sering jadi destinasi keluarga.
Tentu, buat camping kami harus memilih yang sepi, terpencil bahkan. Tapi tetap yang sedikit dekat. Sundak, ya, pantai Sundak. Itulah pilihan saya dan kawan waktu itu. Tepatnya saya sendiri yang pilih. Maps langsung saya aktifkan rutenya melalui panduan teknologi yang cukup cerdas itu. Teknologi yang amat membantu.
Pantai Sundak. Sekiranya dua jam lebih sedikit dari pusat Kota Yogyakarta, terletak di Desa Sidoharjo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Akses jalan ke pantai Sundak, dan mayoritas pantai Gunung Kidul sudah sangat baik. Aspal mulus. Ada yang parkir motor atau mobil langsung di tepi pantai, ada pula yang sedikit jauh, butuh jalan kaki sedikit ekstra. Tapi untuk Sundak, memang sangat bersahabat, tak perlu jalan kaki jauh-jauh, hanya beberapa meter saja.
Bermalam Di Pantai Sundak
Berangkat pukul 15.45—lebih atau kurang sedikit—dari Jogja, pukul 18.00 kami baru sampai. Sudah gelap, dan angin-angin pantai cukup syahdu. Gemuruh ombak yang cukup pelan dan bersahabat layak alunan nada-nada. Kami memarkirkan motor. Biaya parkir satu motor Rp10.000, dan biaya masuk kawasan wisata Rp10.000 per orang.
Kami tidak langsung mendirikan tenda. Kami duduk di pondok-pondok kecil di tepi pantai. Kalau malam gratis, tapi kalau siang ada biaya sewanya. Bisa dibilang pantai ini cukup ramai, sangat komersialisasi bagi anak kos seperti kami. “Ini kalau siang ditagih bayar,” ujar kawan saya sembari melepaskan asap rokok dari mulutnya.
Angin pantai yang tidak terlalu kencang. Kawan saya mulai memainkan kamera gawainya, merekam sudut-sudut malam pantai. Sesekali ia arahkan ke laut lepasan, sesekali ia arahkan ke tebing.
Beberapa saat duduk menghabiskan keripik singkong, kami memilih lokasi untuk menghamparkan tenda, dan mendirikannya. Beberapa saat tenda berdiri, barang-barang kami masukkan. Dan waktu itu pula panggilan perut cukup terasa.
Kami menghidupkan kompor dan mulai memasak. Sebab kami bukan lelaki yang punya banyak uang, lebih-lebih buat ongkos pulang. Mie instan, itu menu makan malam pilihan kami. Mie kuah diterpa angin laut dan suara ombak-ombak, terasa lebih nikmat.
Pagi. Cahaya masuk di sela-sela jendela tenda. Saat itu saya sudah diluar sebelum matahari nampak jelas. Dari bagian barat, dan timur, sisi kiri dan kanan, ternyata Pantai Sundak cukup indah juga. Sisi-sisi tebing bebatuan, sebagian dirambah bangunan, pasir-pasir putih coklat, dan para pasangan muda yang muncul dari salah satu penginapan. Sialnya saya diminta memotret pasangan tersebut. Ah, pas lagi bermesraan lagi!
Semasa corona ini, mari pandai-pandai memilih waktu berlibur. Untuk sekedar menghela nafas diantara kesibukan kerja dan kuliah. Tapi, tetap patuhi protokol kesehatan tentunya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.