Perjalanan kami mulai lepas tengah hari. Agar tidak terjebak macet, kami melipir lewat Ring Road yang lebih lengang ketimbang jalan protokol Kota Yogyakarta. Setiba di perempatan Jalan Parangtritis, kami berbelok ke selatan.
Lalu-lintas menuju ke arah Pantai Parangtritis lumayan ramai. Beberapa kali kami berpapasan dengan bis pariwisata yang baru kembali dari pantai legendaris itu. Untung saja tujuan kami bukan Pantai Parangtritis.
Selepas RS Rachma Husada, saya menghidupkan lampu sein kanan untuk memberikan tanda bahwa saya akan berbelok ke Jalan Ganjuran. Betapa terkejutnya saya mendapati bahwa jalan itu putus karena sedang ada perbaikan. Untung Nyonya sudah hafal daerah itu sehingga ia bisa memandu saya lewat jalan kampung.
Singgah sebentar di Ganjuran, dari sana kami terus ke Jalan Samas. Udara segar menyambut, begitu juga perbukitan hijau dan selokan besar di sebelah barat yang dipagari oleh beraneka ragam pohon. Kecuali sukun, saya tidak tahu persis itu pohon apa saja.
Di pertigaan sebelum loket penarikan retribusi Pantai Samas, saya mengarahkan motor ke arah barat, menuju salah satu ruas jalan yang paling saya suka di D.I. Yogyakarta. Jalan itu hanyalah sebuah jalan kecil di pesisir selatan Bantul yang baru-baru ini saja jadi semulus sekarang. Dari areal pesawahan yang sudah menguning—yang suasananya mengingatkan saya pada Kampung Kumbe di Merauke—kami berdua bergerak semakin dalam ke areal permukiman.
Rasa penasaran membuat saya enggak belok kiri di perempatan biasa. Alih-alih, saya terus melajukan motor ke arah barat. “Eh, ada buaya!?” Celetukan Nyonya membuat saya kaget. Semula saya kira benar-benar ada buaya—ternyata cuma patung. Pantas ada patung buaya, soalnya sebentar kemudian kami lewat sebuah dusun bernama Sorobayan.
Jalan sepi menuju Pantai Goa Cemara
Dari Sorobayan, kami ikut jalan aspal yang akhirnya berujung pada sebuah loket retribusi. Beberapa orang berseragam tampak berjaga di sekitar pos itu. (Entah kenapa loket itu mengingatkan saya pada adegan di Pos Lintas Batas Bulgaria-Rumania dalam film Im Juli.) Karena hari libur, kami menebus tiket dengan harga yang sedikit lebih mahal ketimbang hari biasa (Rp 10.000/orang).
Saya membawa motor ke jalan mulus, lebar, dan sepi yang menghubungkan Pantai Baru dan Pantai Samas itu; jalan paling pas untuk memacu longboard di sekitar Yogyakarta. Deretan kincir angin di Pantai Baru masih memesona seperti dulu, begitu juga jejeran cemara laut yang masih menciptakan kontras spektakuler dengan langit biru.
Pertama kali saya ke jalan ini adalah lima atau enam tahun yang lalu semasa kuliah. Waktu itu saya dan kawan-kawan sedang gemar-gemarnya bersepeda. Bersama seorang kawan yang “anak fixie,” saya memendam hasrat untuk nggowes ke Pantai Samas dan sekitarnya. Lama keinginan itu cuma jadi angan-angan.
Lalu, ketika mendengar sassus bahwa ada seekor paus yang terdampar dan dikeringkan di Pantai Baru Pandansimo, kami tidak membuang kesempatan itu. (Pantai Samas dan Pandansimo bisa dibilang berada dalam satu komplek.) Hanya saja, akhirnya kami ke sana naik sepeda motor butut, bukannya sepeda. Momen itu memang sudah lama lewat, namun foto-foto B/W saat kami ke sana masih tersimpan dalam akun Flickr saya.
Matahari terbenam di Pantai Goa Cemara
Sekitar tiga kilometer kemudian, kami berbelok ke selatan di sebuah perempatan. Setelah membayar karcis parkir Rp 3.000, kami menerobos lewat deretan kios menuju parkiran. Karena Sabtu, pantai itu lumayan ramai. Dari kejauhan, saya lihat ada beberapa tenda yang sudah didirikan di bawah naungan cemara-cemara pantai.
Saya dan Nyonya bergandengan tangan menuju pantai. Semua sudah kami persiapkan. Dalam tas lipat sudah tersedia alas duduk, minuman, cemilan, dan buku untuk dibaca sambil menunggu matahari terbenam. Kami mengembangkan kain piknik dekat menara cum gazebo SAR di mana kami pernah duduk—juga melihat mahatari terbenam—sekitar satu atau satu setengah tahun yang lalu.
Sudah banyak orang yang berkumpul di atas pasir. Ada yang hanya duduk-duduk saja, ada yang mencelupkan kaki ke air laut, ada yang foto-foto, dan—ternyata—ada satu orang yang sedang mempraktikkan teknik-teknik memancing. Karena matahari sudah semakin condong ke cakrawala, mereka hanya tampak sebagai siluet—atau objek dalam lukisan Seurat.
Sambil menunggu matahari terbenam, saya membenamkan diri dalam buku sejarah yang sudah lama saya beli namun baru rampung setengah. Nyonya melanjutkan Crazy Rich Asians yang kemarin lusa dibelinya. Buku itu saya tutup sekitar lima puluh halaman kemudian ketika matahari sudah semakin turun dan memendarkan rona jingga. Sayang sekali sore itu mega menghalangi matahari tua untuk bersentuhan langsung dengan garis langit senja.
Akhirnya saat gelap mulai turun kami berdua segera beres-beres dan kembali ke arah parkiran. Untuk pulang, kami mengambil rute yang berbeda, yakni ke timur sebelum kembali ke utara di Jalan Samas, lewat perkebunan bunga matahari yang pasti akan tampak indah sekali ketika ditimpa cahaya keemasan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] Download Image More @ telusuri.id […]