Saya awalnya sempat ragu, tapi saya teringat budaya tumpang-menumpang di Pulau Sumbawa adalah hal yang lazim. Saya segera mengiyakan tawarannya dan berkenalan dengan dua orang di dalamnya; pertama adalah Bang Muhajir atau Kaka Bintang, yang kedua adalah Bang Firin atau Kaka Fir. “Kami rencana mau ke Sondo, mau bawa Kaka ini berobat,” jawab Bang Muhajir sambil menunjuk Bang Firin di samping kemudinya. Bang Firin tampak memegangi perutnya, apakah ia sakit perut?
“Kata dokter sih maag akut,” ucapnya seraya merintih.
Jalanan Sape–Bima yang naik turun bukit membuat Bang Muhajir harus menghentikan mobil di tepi jalan. Saya yang awalnya duduk di belakang kemudian harus berpindah ke depan, agar Bang Firin bisa merebahkan badannya. Tentang pengobatan di Sondo, saya pernah mendengar Pak Zainuddin berbicara tentang itu. “Pokoknya kalau orang berobat ke situ dijamin sembuh,” cerita Pak Zainuddin kala itu.
Saya jadi penasaran, apakah orang itu dokter, ustadz, atau dukun?
Ternyata bukan ketiganya. Latarnya, kata Bang Muhajir, memang berasal dari akademisi dan dia tahu mengenai obat-obatan. Tapi seperti biasa, dalam pengobatan tradisional pasti ada diselingi kisah klenik. “Beliau tu cuma kita bilang sakitnya doang bisa tahu penyebab sakitnya karena apa.”
Kami bercerita banyak hal sepanjang perjalanan. Salah satunya adalah bagaimana Sape terkenal sebagai daerah yang berbahaya di Pulau Sumbawa. Sape, menurut Bang Muhajir, orang-orangnya bernyali tinggi dan seringkali terjadi perkelahian antar sesama maupun dengan orang luar. Saya baru tahu reputasi Kecamatan Sape sebegitunya, tapi karena saya datang tanpa ekspektasi apapun, jadi tidak ada masalah dalam benak saya.
“Di sini [Sape] banyak keturunan habaib-habaib. Hampir semua ada darah habaibnya meski dari wajah sudah tak nampak,” ujarnya. Ketika saya menanyakan marganya, dia dengan lugas menjawab BSA (Bin Syekh Abu Bakar). Marga BSA merupakan keturunan dari Syekh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman yang berasal dari Hadramaut, Yaman, yang kemudian keturunannya tersebar sampai ke Indonesia seperti Habib Sholeh Tanggul, Habib Salim Jindan, bahkan hingga Habib Umar bin Hafiz yang terkenal merupakan keturunan dari BSA.
Matahari mulai terseok-seok ditelan bukit di sepanjang jalan menuju Bima. Sekali lagi Bang Firin merintih kesakitan. Bang Muhajir kemudian menepikan mobil, saya dan Bang Firin kemudian bertukar tempat duduk. Sakit perutnya tidak tertahankan hingga ia harus merebahkan diri di kursi belakang. Sementara Bang Firin mencoba untuk tidur, kami melanjutkan pembicaraan.
“Kamu udah nikah belum?”
“Belum, Bang.”
“Nanti kalau nikah jangan sama orang jauh. Dulu paman saya memberi nasihat begitu.”
“Mengapa?”
“Nanti apa-apa sulit kalau jauh.”
Bang Muhajir menceritakan pengalaman salah satu temannya yang mempunyai istri dari luar pulau. Ketika istrinya rindu kampung halaman, terpaksa sang suami menahan sang istri agar tidak pulang dengan alasan nunggu anak pertama lahir. Konon, sampai anak ketiga lahir, sang istri juga belum bisa pulang dan terpaksa menahan tangis di tanah Bima. Kemudian kisah berlanjut bagaimana kisah cinta Bang Muhajir dan istrinya kala bertemu di konter pulsa. Kisah kasih mereka telah membuahkan satu orang putri. “Semoga nanti kamu cepat nyusul ya,” doanya. Saya hanya terkekeh mendengarnya, padahal baru sebulan yang lalu saya putus cinta.
Di tengah asyiknya pembicaraan kami sepanjang jalan, saya memutuskan untuk ikut mereka ke Sondoh. Berkali-kali saya menghubungi nomor salah satu teman kuliah saya, memastikan saya bakal bertemu dengan dia dan tidak kesepian. Selain karena bingung harus tinggal di mana kalau sampai di Bima, saya juga penasaran bagaimana pengobatan ini terkenal sampai seantero NTB–NTT.
Langit sudah mulai gelap kala kami mampir untuk makan di salah satu rumah makan di Bima untuk mengisi perut yang sudah berdendang. Kami semua ditraktir Bang Firin.
Mobil melaju dengan kecepatan yang tidak main-main. Kota Bima yang temaram dalam lampu jalanan layaknya mata kucing hanya mampu mendengkur diterjang knalpot mobil yang meraung-raung. Di luar sedikit dari Kota Bima, suasana sudah seperti kota hantu Silent Hill–meski tanpa kabut. Beberapa titik kadang ramainya seperti ada hajatan, di beberapa titik sunyinya seperti kuburan. Saat mata saya mulai terpejam karena kantuk yang menggantung terlalu berat. Kami sampai di sebuah rumah dekat tanah lapang yang gemerlap lampunya hampir sama dengan alun-alun Kota Bima. Saya tidak menyangka pengobatan ini bakal sepopuler ini.
“Bang ini beneran tempatnya?”
“Iya, ini tempatnya.”
Saung-saung kecil berdiri di depan rumah yang ramai dengan para pengunjung dan warung! Warung di sana berjejer sudah seperti di tempat wisata, menjual minuman, kopi, hingga mi instan. Bang Firin langsung mengantri untuk masuk ke dalam rumah sederhana yang menjadi tempat praktik. Saya dan Bang Muhajir lantas minum kopi di saung.
“Rame juga ya Bang yang datang.”
Kendaraan segala jenis terparkir di lapangan: bus mini, mobil bak, Avanza, hingga sepeda motor terparkir rapi di tanah lapang. Pengobatan tradisional selalu memenangkan hati rakyat kecil yang enggan ke rumah sakit karena takut biaya yang besar. “Dulu pernah ada orang datang, saya tanya ternyata dari Bali,” Bang Muhajir membuka obrolan. Selain yang sakit, tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam tempat praktik, jadi kami hanya bisa menunggu di sini. Antrian pasien malam itu cukup banyak, kami terus mengobrol dan memesan kopi sampai giliran Bang Firin tiba.
Seusai berobat, Bang Firin bercerita hasil pemeriksaannya. “Maagnya karena sering minum alkohol dan begadang,” ucapnya. Ternyata memang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai kru salah satu agen wisata. Dari raut mukanya yang sumringah, tampaknya gejala maag tadi mulai membaik. Kami kembali ke Bima, dan saya harus berpisah dengan mereka dan memutuskan untuk bermalam di halaman Museum Asi Mbojo.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.