ARAH SINGGAHINTERVAL

Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang

Di kawasan perkotaan Merauke, bahasa daerah Malind umumnya mulai terpinggirkan. Sepasang suami istri muda dan seorang guru dari Onggari berjuang melestarikan.  

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Penyunting: Mauren Fitri ID
Foto: Deta Widyananda


Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang
Bangunan sederhana yang menjadi kantor sekretariat Papua Paradise Center dan kelas kontekstual Sekolah Alam Paradise

Sabtu pagi (30/8/2025) suara belasan anak riuh mengisi kolong lantai bawah Papua Paradise Center (PPC), Jl. Gudang Arang, Kelurahan Maro, Kabupaten Merauke. Anak-anak seusia SD–SMP bersiap menerima pelajaran lanjutan dalam kelas bahasa Malind yang diampu Kristina Balagaize (42). Perempuan kelahiran Kampung Onggari, Distrik Malind, yang biasa dipanggil Mama Tina itu merupakan satu-satunya guru bahasa Malind di PPC. Kelas bahasa daerah ini berlangsung sekali seminggu di akhir pekan (biasanya Sabtu), di luar jam sekolah formal.

Yune Angel Anggelia Rumateray (29), co-founder sekaligus sekretaris merangkap manajer program PPC, mengungkap bahwa penyelenggaraan kelas bahasa Malind di PPC sempat mengalami proses panjang dan berliku. Ia bersama suami, Marthen Ayub Luturmasse, seperti berjalan sendirian. Tantangannya tidak hanya dari sektor pemerintahan, tetapi juga umumnya masyarakat adat Malind itu sendiri.

“Kalau saya pelajari, khusus suku Malind, mereka [memiliki anggapan] bahwa membicarakan bahasa berarti akan membuka rahasia mereka,” ungkap Une, sapaan akrabnya. Bahasa ibu itu hanya akan berputar di kalangan mereka sendiri sedari kecil. Bahasa menjadi sesuatu yang tertutup untuk dipelajari karena tidak sembarang orang bisa.

“Tapi satu hal yang ada di pikiran saya, ini [bahasa] sudah [banyak] punah. Tidak ada pilihan lain selain harus diteruskan, karena bahasa akan mati dengan manusianya. Karena bahasa hidup di dalam pikiran [dan] pengetahuan,” tuturnya.

Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang
Kosakata sederhana dari alam atau lingkungan sekitar diajarkan secara rutin oleh Mama Tina untuk anak-anak peserta kelas bahasa Malind di Sekolah Alam Paradise

Berangkat dari sekolah alam dan keresahan bahasa ibu

Berdasarkan keterangan Une, PPC awalnya lahir dalam bentuk sekolah alam. Ide pembuatan sekolah alam muncul sepulang dari Pelatihan Kewirausahaan Sosial Wirabangsa Tahun 2020 di Panaruban, Subang, Jawa Barat. Saat itu Une lolos seleksi menjadi bagian 75 peserta kegiatan yang dihelat Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Begitu pulang, ketika situasi COVID-19 dirasakan hampir merata secara nasional dan sekolah-sekolah diliburkan, anak-anak Merauke lebih sering membantu orang tuanya mencari makan ke pinggir sungai atau di dalam hutan. Padahal, anak-anak ini masih berada dalam usia-usia produktif yang penting sekali untuk tetap mendapatkan pendidikan. Situasi ini mendorong inisiatif Unie bersama suami, Marthen Ayub Luturmasse, mendirikan sekolah alam Paradise. Pendidikan menjadi fokus utama. 

Karena belum memiliki bangunan khusus untuk sekolah alam, anak-anak mulanya belajar di para-para di bawah pohon wakati (sejenis waru). Lokasinya di teras rumah orang tua Une, di kawasan Gudang Arang. Lalu sesekali belajar di kawasan hutan mangrove atau pinggir Sungai Maro. Area Gudang Arang memang dekat dengan salah satu sungai terbesar di Merauke yang bermuara ke Laut Arafura itu.

“Waktu itu yang mengajar hanya saya sendiri. Kemudian apa adanya buku yang kami punya, yang keluarga kami punya, kami keluarkan untuk adik-adik belajar di jaman COVID itu,” kenang alumnus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu. Mereka belajar apa pun, baik pelajaran-pelajaran di sekolah maupun pendidikan kontekstual di luar sekolah formal. Mereka belajar membaca, menghitung, praktik bahasa daerah, pendidikan karakter, dan banyak lagi.

Setelah hampir tiga tahun berjalan, Papua Paradise Center akhirnya resmi berbadan hukum pada 6 Februari 2023. Berkat bantuan sahabat semasa kuliah lewat program CSR salah satu BUMN, PPC bisa membangun kantor atau semacam base camp seperti sekarang. Setelah melihat kompleksitas isu di Merauke, PPC merambah ke sektor lain di luar pendidikan kontekstual, yakni masyarakat adat dan budaya, ekonomi kerakyatan, hutan dan lingkungan, perempuan dan disabilitas, serta kesehatan mental. Maka, bangunan panggung serba kayu itu lebih dari sekadar kantor, tetapi juga sentra pendidikan, kreativitas, dan ruang advokasi hak-hak masyarakat adat yang terpinggirkan. Komunitas adat yang menjadi fokus PPC di antaranya suku Malind dan Kanum (terletak di perbatasan RI-Papua Nugini).

Salah satu keresahan besar yang akhirnya menjadi perhatian Une dan Ayub adalah bahasa Malind. Berawal dari kepindahan Ayub dari Wamena ke Merauke, ia resah dengan perbedaan mencolok soal kebiasaan berbahasa ibu. Di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, mau itu orang rambut lurus, rambut keriting, kulit hitam, atau kulit putih, semua fasih berbahasa daerah. Bahkan sekadar menyapa dengan kosakata sederhana di pasar maupun tempat-tempat umum. Sementara di Merauke, terutama di kawasan kota, Une mengungkap Ayub terkejut dan resah menyaksikan situasi yang kontras. “Jadi, menurut Kak Ayub, kok Merauke ini rasanya kayak bukan [di] Papua? Kok dia tidak pernah mendengar orang berbahasa daerah?”

Berangkat dari keprihatinan itu, Une dan Ayub kemudian berusaha meniti jalan terjal untuk melestarikan bahasa Malind. PPC menjalin korespondensi dengan Balai Bahasa Provinsi Papua, kepanjangan tangan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang salah satu program unggulannya adalah revitalisasi bahasa daerah.

Seiring berjalannya waktu, proses-proses yang dilalui mempertemukan Ayub dan Une dengan salah satu narasumber atau penutur aktif bahasa Malind, yakni Mama Tina. Mereka membujuk dan merekrut perempuan suku Malind dari Kampung Onggari tersebut menjadi guru bahasa Malind di sekolah alam PPC. Une mengatakan, telah menyiapkan jadwal khusus untuk Mama Tina mengisi kelas bahasa Malind. Sejauh ini, tantangan yang dihadapi PPC adalah biaya operasional guru, mencakup di dalamnya gaji, ongkos transportasi, dan pulsa, yang ia akui masih terbatas. Per bulannya, dengan jatah empat kali mengajar dan durasi mengajar setiap sesi 1 jam 45 menit, Mama Tina digaji Rp700.000.

Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang
Anak-anak Sekolah Alam Paradise bernyanyi bersama di pinggiran hutan mangrove dekat sekretariat PPC. Terkadang Une, Ayub, dan Mama Tina membawa anak-anak belajar di luar kelas agar tidak jenuh. Selain itu, anak-anak bisa praktik berbahasa Malind dengan melihat pohon, tanaman, hewan, atau hal-hal lain yang ditemui di lapangan.

“Kami berjuang keras supaya orang-orang ini [Mama Tina dan guru-guru lain di PPC] diperhatikan,” Une menyampaikan komitmennya. Pihaknya sedang memperjuangkan ke Pemkab Merauke agar ada anggaran khusus untuk membantu meningkatkan honor mengajar guru-guru sekolah nonformal, seperti Mama Tina. 

Perjuangan panjang mereka, segala investasi biaya, waktu, dan tenaga yang dikeluarkan, akhirnya membuahkan hasil. Jerih payah riset, inventarisasi, hingga advokasi lintas sektor pemerintahan, mendatangkan pencapaian terbaik sepanjang PPC berdiri: Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Merauke Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Daerah. Perda ini mencatat 22 dialek atau subbahasa Malind, yaitu Bian Marind Deg, Engkalembu, Imbuti (Marind), Kanum Barkari, Kimaam, Kimagima, Kiwai, Komolom (Mombun), Konerau, Makleu, Mandobo Bawah, Marori (Morori), Motu, Ndom, Ngguntar, Ngkalembu, Riantana, Smarki, Tamer Tunai, Yabega, Yei, dan Yei Bawah.

“Itu [perda] yang membuat kami semangat untuk menumbuhkan kembali rasa cinta akan bahasa yang sudah hilang. Kemudian [tertantang] mengubah mindset anak muda [zaman] sekarang [yang kelihatannya] gengsi untuk berbahasa daerah,” ujar Une. Ia amat sedih karena kerap ditertawakan ketika berbicara dalam bahasa daerah.

“Padahal menurut saya, saya bangga [berbahasa Malind] karena itu identitas kami yang orang lain nggak punya. Kami coba mendorong [semangat berbahasa daerah] lewat buku saku yang kami punya, buku saku bahasa daerah dalam versi anak-anak. Jadi, lewat hal-hal kecil yang sekiranya kami bisa, kami lakukan agar [bahasa Malind] tetap hidup,” tambahnya.

Une dan Ayub kiranya sudah berada di jalan yang tepat. Sebab, bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga identitas adat dan budaya. Bahasa ibu menautkan hubungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya. Dengan bahasa, masyarakat adat memberi nama tempat-tempat sakral, ruang-ruang hidup di perkampungan dan perkebunan, yang biasanya mengacu pada nama-nama tumbuhan, hewan, atau peristiwa sejarah penting di lokasi tersebut. Pada akhirnya, bahasa memiliki makna atau filosofi yang luas, sekaligus menjadi cermin ekspresi kebudayaan.1 “Saat manusia mati, bahasa ikut mati,” terang Ayub. 

Sampai dengan saat ini, PPC telah menyusun 15 buku saku bahasa daerah dengan dialek subsuku yang berbeda-beda dari dua suku besar: Malind dan Kanum; yang ditulis dalam tiga bahasa, yakni Malind, Inggris, Indonesia. Kosakata yang termuat di dalam kamus mini itu relatif sederhana, seperti sapaan, panggilan ayah-ibu, nama tempat, kata kerja, dan kata benda.

Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang
Buku saku kamus tiga bahasa: Malind (dengan dialek masing-masing subsuku atau kampung), Indonesia, dan Inggris. Berisi kosakata-kosakata sederhana yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Mama Tina: “Awalnya saya menolak”

“Ketika direktur PPC (Ayub) meminta saya untuk menjadi salah satu guru bahasa dan penutur bahasa Malind pada 2020, awalnya saya menolak,” tutur Mama Tina. 

Penolakan Mama Tina bukan tanpa sebab. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam benak dan hidup seorang marga Balagaize untuk menjadi guru bahasa Malind. Bahkan bicara bahasa Malind dalam percakapan sehari-hari pun ia lakukan sembunyi-sembunyi. Bukan karena lupa atau enggan, melainkan trauma yang melekat pada tete (kakek) atau nenek Mama Tina di Onggari, karena adanya represi bahasa daerah oleh kolonial Belanda hingga rezim Orde Baru di masa lampau. Anak-anak hingga orang tua menjadi takut berbahasa ibu dan lebih memilih berbahasa Indonesia. Ditambah, seperti pernyataan Une sebelumnya, ada rahasia-rahasia yang tertutup rapat dan tidak bisa disampaikan secara bebas kepada orang-orang di luar suku besar Malind.

Sampai kemudian ia mengikuti orang tua pindah merantau ke kota Merauke pada tahun 1990, lalu bekerja, menikah, dan menetap di sana. Meski sudah tidak lagi tinggal di Onggari, ibu rumah tangga dan pengurus gereja itu masih mahir berbahasa Malind. Bisa dibilang, Mama Tina adalah segelintir orang Malind di kota Merauke yang masih aktif sebagai penutur bahasa Malind.

“Sampai di tahun 2022, kalau saya tidak salah, [akhirnya] saya mau [menerima tawaran mengajar]. Karena saya dikasih pencerahan [oleh Ayub] bahwa bahasa Malind ini sudah mulai hampir punah,” sambungnya, sehingga merasa terpanggil untuk menjadi guru bahasa Malind dan bergabung dengan sekolah alam PPC. Ia pun sempat tercenung ketika Ayub dan Une memberinya gambaran di masa depan, “Apa yang Mama miliki sekarang [fasih berbahasa Malind], ketika suatu saat Mama tidak ada, nanti bahasa ini juga punah.”

Lambat laun, Mama Tina tercerahkan dan memahami niat baik Ayub dan Une terhadap upaya pelestarian bahasa Malind. Selanjutnya, Mama Tina mendapat akses bimbingan teknis belajar bahasa, pelatihan mengajar, dan materi-materi lain dari Balai Bahasa Provinsi Papua. Saat itulah ia makin tersadarkan, bahwa dirinya memang harus mengajar karena suku dan bahasa Malind sudah mulai terpinggirkan. Tidak mengherankan karena Merauke sendiri merupakan daerah tujuan transmigrasi di masa Orde Baru, sehingga segala etnis bercampur di situ. 

Saat kelas pertama tahun 2022, Mama Tina mengaku terkejut karena anak-anak sekolah alam PPC sangat antusias dan semangat. Meskipun beragam berlatar belakang, ada yang keturunan asli Papua maupun non-Papua (kebanyakan perantau Jawa, Bugis, Manado), mereka penasaran dan ingin lebih mengenal bahasa Malind. 

Kegiatan belajar di dalam kelas bahasa Malind. Salah satu metode menghafal dan memahami bahasa Malind adalah dengan bernyanyi. Anak-anak Sekolah Alam Paradise melagukan nama-nama bagian tubuh mereka sehingga kelas berjalan menyenangkan.

“Sekarang kalau saya duduk sendiri, merenungkan [proses perjalanan menjadi guru bahasa Malind], saya merasa terharu. [Sebab], kalau kemarin saya tidak terima tawaran Kak Ayub, [sekarang] orang tidak [akan] tahu bahasa Malind,” sahutnya. Dengan berbagi dan mengajar, Mama Tina bisa menjadi berkat bagi orang lain lewat pendidikan bahasa daerah. Sampai sekarang, Mama Tina selalu menangis jika sekelebat mengingat masa-masa penuh pergulatan batin itu, bahkan di kelas saat mengajar di depan anak-anak.

Rasa harunya kian membuncah ketika ia menemani anak-anak didiknya di sekolah alam PPC melangkah lebih jauh keluar dari rumah mereka. Pada 2023, Mama Tina dan para murid kelas bahasa mengikuti lomba Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) di Jayapura. Setahun kemudian, mereka diundang oleh Badan Bahasa Kemendikdasmen ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian kegiatan dalam menyemarakkan perayaan Bulan Bahasa 2024. 

Perubahan roda kehidupan itu ia bagikan kepada keluarga dan kerabat saat pulang kampung ke Onggari, tahun lalu. Mama Tina datang bersama Une, Ayub, dan tim PPC, karena sekalian menggelar kegiatan pembagian buku saku kamus Malind–Indonesia (dialek Kampung Onggari)—yang ia terjemahkan sendiri—ke anak-anak sekolah. Kehadiran mereka disambut dengan suka cita dan berlangsung penuh haru. Masyarakat Onggari pun mendukung penuh perjuangan Mama Tina dan PPC melestarikan bahasa Malind yang terancam punah.

Pelestarian bahasa Malind sudah dilindungi payung hukum melalui Perda. Bertahap, muatan lokal bahasa ibu ini mulai diterapkan dalam kurikulum ajar di sekolah-sekolah formal. Ke depan, Mama Tina berharap dinas terkait bisa mengakomodasi metode sekolah alam PPC agar suasana belajar bahasa daerah bisa menyenangkan dan tidak membosankan.

“Harapan saya pribadi, kalau bisa yang mengajar itu harus orang asli Malind sendiri, supaya tidak salah memberikan ilmu [dialek dan kosakata bahasa] kepada anak-anak. Seperti saya, bahasa saya [memiliki] dialek Onggari, [sehingga] saya mengajar dengan dialek saya,” ujarnya. Begitu pun kampung-kampung dari distrik lain, yang memiliki dialek dan perbendaharaan kata yang berbeda-beda.

Nyala Terang Konservasi Bahasa Malind di Gudang Arang
Une dan lembaga yang ia dirikan bersama suaminya berharap bisa terus berjuang menyejahterakan dan melestarikan budaya Malind maupun masyarakat-masyarakat adat lainnya di Papua Selatan

Mengisi ruang kosong bersama-sama

Meski berkontribusi besar mengembangkan program yang tidak mampu digarap pemerintah, Une tetap berharap pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, bisa tergerak untuk mendukung inisiatif dan kepedulian dari masyarakat terhadap pelestarian bahasa daerah.

“Harapan saya adalah kita (bisa) kolaborasi bersama pemerintah,” ujar Une, “karena kalau kita bergerak sendiri, menurut saya (akan) sia-sia.” Ia justru melihat ruang kosong yang seharusnya bisa dikerjakan bersama-sama, karena sebenarnya pemerintah punya kekuatan (anggaran dan kebijakan), tinggal kemauannya saja. 

Ia bersama Ayub tampak gemas karena pergerakan lamban pemerintah daerah menghadapi bahasa dan budaya yang bergerak menuju kepunahan. Silang sengkarut birokrasi acap kali menjadi penghambat, sehingga tidak mengherankan jika inisiatif-inisiatif melalui lembaga swadaya masyarakat atau komunitas acap kali bergerak sendirian di jalan sunyi. Tak terkecuali PPC, yang berusaha melebur dan tidur dengan masyarakat, mencatat dan menginventarisasi kembali bahasa dan kebudayaan yang mulai tergerus modernisasi. 

Une pun mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada ego-ego sektoral, yang mengabaikan hak publik. Jangan sampai ada masanya harus menyesal ketika bahasa Malind benar-benar lenyap dari muka Bumi Anim Ha, gara-gara terlambat menyadari masalah kebudayaan di depan mata. “Kalaupun pemerintah punya anggaran, tetapi kekurangan (sumber daya manusia) untuk memikirkan program, ada kami dan kami siap untuk turun ke lapangan,” tegasnya, dengan tangan terbuka untuk menyambut kolaborasi antarlembaga.

Apa yang dilakukan Ayub, Une, dan tim PPC bukan bualan belaka. Hati mereka tulus untuk memajukan masyarakat adat Papua—khususnya wilayah Papua Selatan—mengejar ketertinggalan demi taraf hidup yang lebih baik. Nama ‘paradise’ (surga) yang tersemat bukan sekadar estetika, melainkan memuat doa. “Doa saya, (lembaga) ini akan menjadi surga atau rumah penolong bagi kaum yang membutuhkan pertolongan, seperti masyarakat adat, kemudian yang putus sekolah, dan orang-orang yang termarjinalkan.”

“Kita bicara perempuan, adat, dan hutan, semuanya ada di dalam paradise,” pungkasnya.


  1.  I Ngurah Suryawan, “Pemertahanan Bahasa Ibu tentang Tempat-Tempat Sakral dan Tantangan Perubahan Sosial Budaya Orang Marori dan Kanum di Kabupaten Merauke, Papua”, Jurnal Masyarakat dan Budaya,19(3), 397–418, https://doi.org/10.14203/jmb.v19i3.545. ↩︎

Foto sampul: Kristina Balagaize mengisi kelas bahasa Malind di Sekolah Alam Papua Paradise Center, Gudang Arang, Merauke

Pada Agustus–September 2025, tim TelusuRI mengunjungi Merauke (Papua Selatan), Jayapura (Papua), serta Tambrauw dan Sorong (Papua Barat Daya) dalam ekspedisi Arah Singgah: Tanah Kehidupan. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah2025.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Avatar photo

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Gandeng Tangan Menjaga Wilayah Adat Malind-Anim Imo Sanggase