Sudah lama tampaknya sejak serial Nutrihiking kedua saya, Nutrihiking: Karbohidrat Tepat agar Pendakian Makin Mantap, tayang. Dalam tulisan itu sudah dikupas tuntas manajemen logistik dari sudut pandang zat gizi karbohidrat. Sekarang, mari kita beranjak ke all about pangan hewani saat mendaki gunung.
Tunggu, tunggu! Mengapa tidak menggunakan judul “Zat Gizi” seperti pada tulisan sebelumnya? Jawabannya, karena pangan hewani itu “hipernim” dari dua zat gizi yang akan kita bahas kali ini, yakni protein dan lemak.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, mari kita berkenalan dahulu dengan protein dan lemak itu sendiri.
Aktivitas mendaki tentu memerlukan fisik yang prima. Otot-otot kita ikut andil dalam perwujudan fisik yang prima tersebut. Tapi, omong-omong, bahan apa, sih, yang membentuk otot-otot kita, terutama betis sebagai andalan dalam menjelajahi gunung? Yak, kenalin: asam amino bernama leusin, isoleusin, dan valin.
Ribet, ya? Tak usah dihafal; tidak ada ujiannya, kok.
Ketiga asam amino di atas merupakan asam amino esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Terus dapat dari mana? Dari bahan pangan yang kita makan. Nah, asam amino esensial inilah yang menjadi alasan mengapa pangan hewani mesti dipilih sebagai bekal pendakian. Asam amino pulalah yang membuat pangan hewani dikatakan “protein biologis tinggi.”
But, wait. Apakah protein nabati (tempe, tahu, kacang ijo) tidak penting? Ya penting. Tapi kamu bisa mengonsumsinya sebelum atau setelah pendakian. Asam amino esensiallah yang sangat kita butuhkan dalam perjalanan mendaki gunung. Perjalanan panjang akan merusak sel-sel otot kita; si leusin, isoleusin, dan valin—yang tak dapat ditemukan di pangan nabati—inilah yang meregenerasi kerusakan sel otot.
Lalu bagaimana dengan lemak? Strereotype tentang lemak di masyarakat masih dianggap buruk. Padahal lemak juga dibutuhkan oleh tubuh dalam batas normal. Dalam pendakian sendiri maupun aktivitas lainnya, lemak ini berguna sebagai cadangan energi ketika glikogen (kumpulan glukosa, partikel terkecil karbohidrat) pada otot telah habis. Selain itu, lemak juga disimpan di bawah kulit kita, berfungsi sebagai isolator tubuh untuk menjaga suhu tubuh tetap normal. So buat kamu yang gendut seperti penulis, jangan insekyur tapi bersyukur karena kita punya sistem sleeping bag “built-in” kala menjelajah gunung.
Nah, kita sudah berkenalan dengan protein dan lemak. Lalu, bahan pangan apa aja yang kompatibel untuk dibawa ke gunung? Ada banyak. Namun sebelum masuk ke pembahasan bahan pangan, penting untuk mengetahui bahwa pangan hewani dalam ilmu gizi diklasifikasikan berdasarkan tingkatan lemaknya: lemak rendah, sedang, dan tinggi. Di tiap klasifikasinya ada kandungan gizi per satuan ukuran rumah tangga yang ada pada setiap bahan. Jadi, buat kamu yang mau naik gunung tapi lagi menjalani diet gorengan, simak, nih:
1. Lemak rendah (energi: 50 Kal; protein: 7 g; lemak: 2 g)
- Cumi-cumi: 45 g/2 ekor kecil
Belum pernah, ya, bawa cumi-cumi ke gunung? Padahal ini enak sekali kalau ditumis bareng saos tiram. Tapi, sebelum diolah, diblansir dulu pakai air hangat. Kalau tidak, nanti bisa jadi asin sekali.
- Ayam tanpa kulit: 40 g/1 ptg sedang
Ini mah sudah jelas enak. Bagian ayam yang tanpa kulit bisa kamu dapatkan di bagian dada atau ayam filet di toserba mini. Tapi, pas dibawa ke gunung harus dalam keadaan beku, ya. Kecuali kalau sudah diungkep terlebih dahulu.
- Ikan asin: 15 g/1 ptg sedang
Tak usah diceritakan sepertinya betapa endeusnya ikan asin featuring sambal terasi. Tapi, sebelum diolah, diblansir dulu juga, ya, dengan air hangat.
2. Lemak sedang (energi: 75 Kal; protein: 7 g; lemak: 5 g)
- Bakso: 170 g/10 biji sedang
Ini sudah pasti dibawa biasanya. Selain awet, olahan bahan pangan ini juga banyak. Bisa jadi tambahan sop, dijadikan bakso bakar untuk disantap saat ngobrol di perapian, dan, yang terakhir, bisa digoreng dadakan.
- Telur ayam: 55 g/1 butir
Ini juga mestinya sering dibawa saat mendaki, apalagi sekarang sudah ada egg holder yang bisa digunakan supaya telur tidak pecah saat packing. Telur juga dikatakan sebagai pangan hewani dengan asam amino esensial terlengkap. Tapi, kolesterolnya juga banyak, terutama pada bagian kuningnya. Jenis hidangannya juga tentu banyak. Coba, deh, sekali-sekali bikin semur di gunung.
- Daging sapi: 35 g/1 ptg sedang
Biasanya pendaki bawa bahan pangan ini dalam bentuk rendang, dendeng, atau abon. Tapi bisa juga dibawa dalam keadaan mentah asal dalam keadaan frozen. Sedikit tips juga nih: sebelum membekukan daging, dibungkus dulu dengan daun pepaya biar empuk pas dimasak. Mana enak kalau dagingnya alot pas dimakan. Sayang gigi juga.
- Telur asin: 50 g/1 butir
Ini, sih, paling ajaib. Telur asin bisa dimakan tanpa proses pemasakan terlebih dahulu alias bisa langsung disantap. Cocok sekali untuk bekal pendakian kalau mau makan siang di trek. Kamu jadi tak perlu repot-repot buka nesting dan kompor—sampahnya juga organik. Tapi kayaknya bahan ini jarang sangat masuk dalam pertimbangan untuk dibawa saat mendaki.
3. Lemak tinggi (energi: 150 Kal; protein 7 g; lemak: 13 g)
- Corned beef: 45 g/3 Sdm
Nah, ini salah satu yang paling sering dibawa. Kemasannya ringkas, awet—harganya saja yang agak lumayan. Biasa dijadikan campuran tumis sayuran atau tambahan saus Bolognaise. Ditumis biasa juga sudah enak, sih.
- Sosis: 50 g/2 ptg
Bahan ini juga umum dibawa. Ada yang masih mentah, ada juga yang siap santap. Jenis hidangannya juga sama bervariasinya seperti bakso. Tak bakal ribet mengolah bahan pangan ini.
- Sarden: 35 g/1 ptg sedang
Si ikan kaleng ini juga biasanya wajib dibawa pendaki. Selain sudah enak dari sananya, pengolahan sarden pun tak ribet. Pendaki pemula pasti bisalah. Iyalah, wong cuma dihangatkan.
- Ayam dengan kulit: 40 g/1 ptg sedang
Paha dan sayap yang paling banyak kulitnya. Saya, sih, biasa bawa ini dalam keadaan matang a.k.a beli di warung pecel ayam. Sampai kamp tinggal goreng, dah.
Total, ada sebelas (11) bahan pangan hewani yang kompatibel sebagai logistik kala pendakian. Dengan merujuk berbagai bahan pangan di atas, minimal kamu bisa menyusun enam (6) menu dengan pangan hewani yang berbeda. Dijamin takkan bikin bosan. Tapi, perhatikan pula ketahanan pangan tiap bahan. Untuk bahan pangan dalam bentuk beku atau ungkepan, baiknya dikonsumsi di hari pertama pendakian. Selebihnya gunakan bahan hewani yang lebih awet. Jadi, ya, saya harap kamu bis mix and match sesuai dengan skill memasak kamu.
Terkadang, saya mengeluarkan segenap kreativitas saat menyusun menu pendakian. Kenapa? Because good food is good mood.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 comment
[…] Nutrihiking: Pangan Hewani saat Mendaki […]