Garut. Sejak dahulu kala daerah ini tenar sebagai Swiss van Java. Bentang pegunungan yang mengelilinginya—Gunung Guntur, Papandayan, Cikuray, Haruman, dan Talaga Bodas—menjadi alasan di balik pemberian gelar tersebut. Daerah ini memang dikelilingi beberapa gunung, . Raja Leopold dan permaisurinya, Astrid, dari Belgia pernah berkunjung pada tahun 1928. Juga, bintang film Charlie Chaplin serta penyanyi asal Jerman, Renate Muller dan Hans Albers, pernah mengunjungi daerah ini. Pada kesempatan kali ini, saya, yang bukan artis, akan membagikan setitik cerita menuju salah satu gunung di Swiss van Java. Benar sekali, Gunung Cikuray.
Jam tangan menunjukkan pukul 9 malam. Telah habis berbatang-batang rokok untuk menunggu Bus Primajasa yang akan mengangkut kami berdua menuju Terminal Guntur. Pada perjalanan kali ini saya ditemani Fiqi, salah seorang partner saya kala pertama kali mendaki. Pendaki dengan skill lengkap dia. Namun, yang paling saya kagumi dari dia ialah skill fotografinya. Medsos saya penuh dengan foto-foto penuh trik yang ia ajarkan kepada saya.
Thank you, Piq.
Perjalanan saya ke Cikuray kala itu untuk melepas emosi yang terpendam. Saya habis putus dengan salah seorang pendaki wanita terbaik. Bukan yang terkuat, namun paling pantang menyerah.
Skip, skip.
Setelah satu jam ngalor-ngidul ngobrol tentang pendakian bersama Fiqi, datanglah bus berwarna putih dengan strip merah dan tulisan Primajasa di dinding. Tujuannya: Garut. Dari Terminal Lebak Bulus kami membayar Rp55 ribu/orang kepada kernet bus.
Roda bus pun berputar meninggalkan Lebak Bulus, tentunya dengan membawa penumpang yang perasaannya sedang tak mulus. Saya duduk di tengah bus, menghadap jendela sambil sesekali melihat genangan yang berubah menjadi kenangan.
Ah, elah! Skip, skip.
Saya menghabiskan waktu di bus dengan tidur. Maklum, hari itu saya masuk kerja. Jadinya, ya, sangat lelah. Fiqi begitu pula ternyata. Kami berdua terlelap sampai bus tiba di Terminal Guntur jam 3 pagi.
Saya lalu mengantre untuk mengambil keril bersama dengan pendaki lain. Mereka berkelompok, tertawa bahagia, tak seperti saya yang—ah, sudahlah—cuma punya Fiqi di samping saya saat itu. Usai mengambil keril, kami melipir ke warung nasi uduk untuk sarapan dan tentunya menyeruput kopi hitam. Kernet mobil bak sebenarnya sudah wara-wiri mencari penumpang, tapi saya cuek saja. Ini waktunya mengisi lambung yang pelintirannya sudah tak bisa ditolerir.
Setelah habis rokok berbatang-batang, waktu Subuh datang. Kami berdua salat bergantian karena harus menjaga keril. Setelah salat, kami langsung mencari sopir mobil bak yang akan membawa kami ke Cikuray via Pemancar. Beruntung logat Sunda Fiqi sangatlah baik. Kawan saya itu berhasil menawar ongkos, membuatnya turun dari Rp70 ribu/orang menjadi Rp50 ribu/orang. Sepakat dengan harga sewa, kami berangkat—tapi melipir sebentar ke toserba mini untuk membeli logistik tambahan.
Gerimis tipis dan kabut tebal menyambut kami kala mendekati Base Camp Pemancar. Tepat jam setengah 7 pagi kami sampai. Tak langsung menanjak, saya dan Fiqi menyesap teh tawar hangat sembari memandang hamparan kebun teh yang membentang sepanjang mata memandang. Sayangnya kala itu gerimis. Bau tanah bergenangan air sukses merekonstruksi kenangan kala dia tertawa bahagia melihat kebun teh saat kami bertandang ke salah satu gunung di Tanah Pajajaran.
Andai sama dia.
Jam 7 gerimis mulai reda. Setelah mengurus Simaksi, kami berdua langsung berjalan mendaki gunung. Vegetasi pertama merupakan kebun teh yang agak landai—hanya jika dilihat. Ternyata, jujur saya ngos-ngosan setelah melewati kebun teh itu menuju pos pertama. Saya dan Fiqi melewati kebun teh sekitar 30 menit. Napas yang tersengal-sengal membuat kami enggan berfoto di plang “Gunung Cikuray,” apalagi air hujan juga mulai turun perlahan.
“Apa salah bulan, ya, ini kita naek gunung?” Fiqi bertanya.
“Sabodo teuing, ah. Gua ga ngeliatin cuaca,” jawab saya. “Yang penting gua naek gunung, biar pikiran gua teralihkan.”
Kami berdua masih ingat betapa gagahnya kami dulu ketika mendaki Gunung Gede, dengan keril yang masih menggunakan frame dalam. Dibandingkan saat ini, bedanya jauh banget. Tanpa latihan fisik ditambah perut yang membuncit, siksaan bagi kami terasa bertambah ketika naik Cikuray. Padahal, back system keril saya sudah yang terbaru. Fisik memang tak bisa berbohong.
Selepas tugu selamat datang, kami menyisir beberapa pekarangan warga sampai masuk ke batas hutan. Hutan rapat dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Tak mau kalah, akar-akar pohon juga menggeliat keluar dari tanah. Akar-akar inilah yang menjadi teman saya selama pendakian—selain Fiqi tentunya. Tak terasa, sampailah kami di Pos 2. Treknya tidak terlalu curam padahal. Tapi mengapa rasanya sangat berat sekali? Barangkali karena kala itu saya juga membawa beban perasaan. Mungkin. Kami rehat tepat jam 8.30 pagi.
Tak mau berlama-lama, kami kembali jalan. Trek kian curam, diikuti pula dengan cuaca yang makin muram. Hey, plis bangetlah! Suasana pendakian jangan mengikuti suasana perasaan. Niat hati mau have fun malah makin runyam pendakiannya nanti. Kami berdua melewati trek ini sambil iseng ceng-cengan siapa yang lebih lemah di antara kami. Maklum, kami masih gengsi buat mengajak break. Tapi ini bukan buat sombong-sombongan, tapi hanya sekadar guyonan. Toh kami sudah sering mendaki bersama, sudah paham karateristik masing masing apabila sudah lelah.
Tak terasa, jam 9.30 kami sampai di Pos 3. Kami berdua sepakat untuk istirahat dan melepas keril yang menempel di pundak. Hening. Kami berdua tak saling berucap kata. Lelah. Padahal masih Pos 3, sementara Cikuray punya tujuh pos. Saya menyesap Gudang Garam sambil melamun bersama sang halimun. Konvergensi harmonik yang jarang saya temui. (Saat mendaki berkelompok, pastinya akan banyak canda tawa setiap kali berhenti untuk istirahat.) Senyap dan lembab. Sampai sesap keempat Gudang Garam, saya masih tak terima mengapa harus putus kala itu.
Setengah jam istirahat, kami beranjak. Suasana semakin dingin karena kabut pekat. Pos 3 menuju Pos 4 masih sama, trek curam. Kami berjalan kepayahan saat menyusuri trek ini. Jalan dua puluh menit, istirahat lima menit. Terus berulang-ulang. Ini tak biasa. Saya sendiri sebenarnya tipe pendaki yang jarang berhenti. Saya akan tetap jalan walau hanya perlahan. Namun kali ini beda. Total, dua jam kami menyusuri trek ini. Tepat jam 12 siang kami sampai di Pos 4.
Perut mulai keroncongan. Saya dan Fiqi pun membuka beberapa camilan. Usai ngalor-ngidul berbincang, kami segera beranjak menuju Pos 5. Akar-akar dari tanah senantiasa menemani perjalanan kami. Kemiringan trek? Oh, tentu masih tiada ampun, setidaknya selalu mampu membuat lutut kita membentuk siku-siku. Tenaga mulai terkuras habis-habisan, mengingat terakhir makan berat ialah tadi pagi jam 4. Menurut estimasi kami berdua, jam 2 kami sudah akan tiba di Pos 6 untuk mendirikan tenda. (Makan siang, menurut rencana, akan dirapel setelah mendirikan tenda nanti.)
Kenyataannya, tepat jam 2 siang kami baru sampai di Pos 5. Di pos, kami bertemu rombongan pendaki dari Jakarta yang sedang memasak. Akhirnya saya bisa berinteraksi dengan manusia selain Fiqi. Kami berdua pun mendekati tenda dan mereka menyambut hangat dengan segelas kopi. Oh, my Lord! Sudah jarang sekali nemu kopi gratis di trek pendakian sekarang.
Saya dan fiqi saling tatap; kami sepakat membuka kompor dan nesting untuk memasak. Ini hal yang tak pernah saya lakukan di pendakian-pendakian sebelumnya karena, ya, kami berdua tipe pendaki yang time keeper. Tapi kali ini mungkin tak berlaku. Kami menyantap mi instan yang tadinya untuk selingan malam. Tapi, yaudahlah, lapar.
Tak terasa sudah sejam beristirahat. Tepat jam 3, kami beranjak bersama rombongan pendaki dari Jakarta tersebut. Trek dari Pos 5 menuju Pos 6 sudah memberi ketenangan, setengah menanjak namun di akhir menuju Pos 6 melandai, lengkap dengan ilalang yang menjulang tinggi di kanan-kiri. Ketika sampai di trek landai, kami mempercepat langkah karena tak ingin bertemu malam di pendakian. Bukan karena tidak bawa penerangan, tapi karena Cikuray termasyhur akan babi hutannya yang aktif mencari makan di malam hari. Pikir saya saat itu, kami harus merampungkan makan malam sebelum magrib agar babi hutan tidak menyatroni tenda kami.
Jam 4.30 sore sampailah kami di Pos 6. Kami bergegas mendirikan kamp. Saya langsung memasak, sementara Fiqi mendirikan tenda sekaligus merapikan peralatan kami. Tepat jam 5.30 sore, santap malam kami selesai. Kami taruh sementara sampah logistik di pepohonan yang tinggi agar tenda tidak dikoyak babi hutan. Lalu kami setel lagu melalui ponsel.Tidak ada yang bisa dipandang di Pos 6 selain pohon-pohon yang rapat. Kami berdua lelah. Sangat. Fiqi tampaknya masuk angin. Tapi sudah ia tenggak tolak angin dan sudah dibalurnya kulitnya dengan minyak angin. Tak perlu waktu lama, kami terlelap.
Jam 3.30 pagi alarm berbunyi. Ini kali pertama saya terlelap panjang dalam pendakian. Fiqi masih asyik bergumul dengan sleeping bag-nya. Saya bergegas bangun lalu memasak air untuk menyeduh kopi dan menyiapkan sarapan berupa roti bakar. Kala harum roti mulai tercium, Fiqi terbangun. Kami berdua langsung sarapan lalu berkemas untuk muncak.
Tepat setengah 5 pagi, kami beranjak. Trek tentunya gelap. Kami sendiri tak melihat Pos 7. Tak disangka-sangka, kami sampai di Puncak Cikuray jam 5 pagi.
Masih kepagian.
Menurut estimasi awal, kami akan tiba di puncak jam 6 pagi. Tapi, ternyata puncak sangat dekat dari tempat kami mendirikan tenda. Angin berseliweran ke sana kemari. Namun, kami bersyukur, mencapai puncak terlalu pagi memberi kami kesempatan melihat Garut dan gemerlap lampu kotanya. Rasanya seperti melihat sebuah kunang-kunang dalam kuali besar. Di pinggir-pinggir kuali menjulang berbagai pegunungan, mulai dari Papandayan hingga Guntur. Tak kuat berlama-lama di luar, kami langsung masuk ke selter permanen yang ada di puncak lalu memasak kopi untuk menghangatkan tubuh dan suasana.
Garis oranye mulai terlihat di cakrawala. Para pendaki pun mulai keluar dari selter lalu asyik berfoto. Sementara, saya masih asyik berkhayal…. Andai dia ada di sini menikmati hidangan awan yang bergumul lengkap dengan sunrise sebagai garnish-nya.
Saya sendiri masih tak menyangka bisa tiba di sini. Saya hampir dibuat menyerah oleh gunung ini karena treknya yang tak kenal ampun. Gunung ini saya beri predikat kecil-kecil cabe rawit. Telah habis berbatang-batang, saya memutuskan untuk berfoto-foto bersama Fiqi, juga tukar tawa dengan para pendaki lain.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Tinggal bahagia di Kecamatan Sawangan. Gemar mengemas keril walaupun tidak ada pendakian yang dilakukan. Seneng aja packing-nya.