Travelog

Nuansa Bali di Argosari

Konon pada awal masehi Hindu sudah merambah kawasan nusantara. Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan itu dibawa oleh pedagang, tentara yang yang kalah perang, hingga misionaris. Apapun itu, yang jelas Hindu telah memberi warna pada kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai dan Majapahit. Pengaruh terbesar Hindu terasa sekali sekitar abad ke-14 manakala Majapahit berjaya. Runtuhnya Majapahit karena serangan dari kerajaan utara membubarkan kerajaan besar tersebut beserta pengaruh Hindunya. Ada versi sejarah yang mengatakan bahwa sebagian rakyat Majapahit melarikan diri ke Bali, namun ada pula yang akhirnya berdiam di sekitar Bromo. Namun ada pula kisah lain yang mengatakan bahwa ketika Majapahit bergolak wilayah Lumajang nyaris tidak terkena dampak.

Siang itu saya mengobrol dengan Pak Marto, seorang pemangku Pura Mandara Giri Semeru Agung di Senduro, Argosari, Lumajang. Dia menceritakan sepenggal kisah tentang Hindu di Pulau Jawa bagian timur. Menurut cerita, memang banyak pelarian Majapahit yang ke Bali dan menetap di sana. Sementara sisanya masih bertahan di seputaran kerajaan Majapahit di Trowulan. Saat itu, Pak Marto baru saja menerima tamu-tamu dari Bali yang datang untuk beribadah ke Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pura ini adalah impian yang mewujud bagi warga Hindu Lumajang yang sejak tahun 1969 sudah ingin mendirikan tempat ibadah. Setelah melewati jalan yang panjang dan banyak rintangan, akhirnya berdirilah tempat ini.

Suasana Argosari/Dhave Dhanang

Makna filosofis pendirian pura ini berhubungan dengan mitos bahwa ketika Pulau Jawa terombang-ambing di lautan, Betara Guru memerintahkan memotong bagian puncak Mahameru di India dan menancapkannya di Tanah Jawa agar pulau ini menjadi tenang. Maka Gunung Semeru menjadi paku bumi Tanah Jawa.

Tahun 1992 di sisi timur Gunung Semeru berdirilah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Kemegahan bangunan ini sudah terasa saat memasuki pintu gerbangnya. Rasanya seperti memasuki sebuah istana kerajaan. Nuansa Majapahit begitu terasa saat melihat ornamen bangunan. Barangkali benar yang dikatakan Pak Marto tadi: “Hindu di nusantara dipengaruhi oleh kebudayaan setempat, salah satunya adalah model-model bangunan pura.”

Saat memasuki pelataran pura, ternyata sedang ada sesi pengambilan gambar. Ada sosok-sosok mirip raja dan permaisuri, di belakangnya beberapa dayang mendampingi. Mereka sedang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Meskipun tidak tahu persis kisah apa yang sedang difilmkan, saya kira tidak akan jauh-jauh dari tema Kerajaan Hindu di Tanah Jawa. Saya lanjut melihat-lihat sisi dalam pura. Namun sayang saya harus berhenti di gerbang sebab hanya mereka yang beribadah saja yang boleh masuk kawasan dalam pura. Untuk menghormati mereka yang beribadah, cukuplah saya sampai batas luar pagar saja.

Desa Argosari

Pura yang sudah didamba sejak 1969/Dhave Dhanang

Sebelum pergi ke sini, selama dua hari saya menyambangi desa Argosari yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hampir di setiap rumah terdapat candi kecil sebagai tempat sembahyang dan meletakkan sesaji [seperti pelinggih di Bali]. Saya seolah-olah sedang berada di Bali. Namun akhirnya saya sadar bahwa justru dari sinilah umat Hindu Bali berasal. Aroma dupa tercium begitu kental, aneka buah-buahan disajikan, kain diselimutkan pada arca, dan hiasan janur melambai-lambai terkena terpaan angin. Meskipun ini Tanah Jawa, saya sedang berada dalam nuansa Pulau Dewata.

Sayup-sayup terdengar obrolan pemuda-pemuda desa yang bergerombol di depan rumah sambil berteduh dari sengatan matahari. Mereka mengenakan sarung. Di Desa Argosari, meskipun terletak di ketinggian 2000 mdpl sehingga udara terasa dingin, terik matahari tetap saja bisa dirasakan. Para pemuda tersebut mengobrol menggunakan bahasa daerah, bahasa Tengger, sehingga saya tidah paham apa yang mereka perbincangkan. Namun ketika saya bertanya, mereka menjawab dengan bahasa Indonesia.

Di sembir desa tampak sebuah danyangan. Di sebuah lembah yang curam ada sebuah bangunan yang dikeramatkan oleh penduduk desa Argosarid sebab di sinilah roh-roh leluhur mereka ditempatkan. Tepat di belakangnya sebuah pura kecil sedang direnovasi. Salah seorang pekerja mengatakan bahwa tempat ini digunakan untuk ngaben. Ngaben di sini bukan membakar jenazah seperti di Bali, tetapi sebagai tradisi simbolis saja sebab umat Hindu di sini dimakamkan dengan cara dikubur. Ngaben dilaksanakan secara simbolis dalam sebuah prosesi ibadah.

Masjid Jabal Nur Hidayatullah yang berdekatan dengan pura/Dhave Dhanang

Saya memperhatikan saat seorang pekerja sedang membuat wajah raksasa di dinding pura. Sekarang sangat susah mendapatkan batu utuh sehingga ornamen candi dibuat dari campuran semen dan pasir. Mereka tak lagi memahat, melainkan mencetak. Salah seorang pembuat ornamen candi ternyata beragama Islam. Ia begitu lihai membuat benda-benda yang beraroma Hindu. “Saya tukang, sehingga harus bisa dan tidak ada hubungannya dengan agama.” Seseorang bisa melahirkan mahakarya bernuansa kepercayaan apapun, terlepas dari kepercayaan yang dianutnya. Lantas saya ingat bahwa yang mendesain Masjid Istiqlal adalah F. Silaban yang beragama Katolik.

Langkah kaki ini membawa saya pada sebuah bangunan di dekat pura yang tak lain tak bukan adalah masjid tertinggi di Pulau Jawa. Masjid Jabal Nur Hidayatullah ini terletak pada 2.264 mdpl, dekat sebuah pura. Dari sini kamu bisa melihat awan-awan yang berarak di bawah sana. Konon kampung ini begitu kondang sampai-sampai banyak yang menyebutnya sebagai Kampung Nirwana. Manakala sebuah pura dan masjid berjajar dan pemeluknya hidup berdampingan, saya tak habis pikir kenapa Majapahit bisa runtuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

I'm a Biologist who is trapped in photography world, adventure, and journalism but I enjoy it..!

I'm a Biologist who is trapped in photography world, adventure, and journalism but I enjoy it..!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *