“Tujuh menit lagi, Mas,” ujar juru parkir Kopi Merapi sembari menyodorkan secarik karcis biru muda kepada saya.

Juru parkir itu tentu bukanlah time keeper seminar atau kultum (kuliah tujuh menit). “Tujuh menit lagi” yang ia maksud adalah batas last order di Warung Kopi Merapi.

kopi merapi
Suasana Kopi Merapi/Fuji Adriza

Di hari-hari biasa, tamu masih bisa memesan makanan dan minuman sampai jam 1 dini hari. Bulan Ramadan, pemesanan hanya bisa dilakukan sampai jam 11 malam. Sekarang sudah tujuh menit menjelang jam 11.

Untungnya, meskipun punya batas jam untuk melakukan pemesanan, Kopi Merapi tidak pernah benar-benar tutup. Para tamu dipersilakan nongkrong sampai lelah mengobrol atau sampai tak tahan lagi menahan udara dingin khas lereng Merapi.

kopi merapi
Meja kasir Warung Kopi Merapi/Fuji Adriza

Haviz dan saya bergegas memasuki Kopi Merapi. Malam itu lumayan sepi. Hanya ada beberapa rombongan yang tampak sedang asyik bercengkerama serta para pramusaji yang siap sedia meracik pesananan pelanggan.

Menikmati kopi robuta Merapi dan pisang goreng hangat

Menu Kopi Merapi bersahaja. Mereka menyediakan 12 jenis makanan dan 16 wedangan yang harganya berkisar antara Rp3.000 (teh panas) dan Rp12.000 (yogurt). Sebentar saja bagi kami untuk memilih makanan dan minuman yang hendak dipesan, yakni dua cangkir kopi robusta Merapi (Rp6.000) dan sepiring pisang goreng hangat (Rp7.000).

kopi merapi
Menu Kopi Merapi/Fuji Adriza

Usai memesan, kami duduk di sebuah pojok yang tak jauh dari ambang. Dingin memang. Tapi, dari sana kami bisa melihat lampu kota Yogyakarta yang bekerlapan di kejauhan.

Dilihat-lihat, rupa warung kopi itu sebenarnya tak jauh beda dari tempat-tempat nongkrong di Jogja pada umumnya. Ruangannya lega dan terbuka; perabotannya dari kayu; penerangannya temaram sebab sebagian lampu diberi tudung anyaman menyerupai caping.

kopi merapi
Bangku dan meja warung yang terbuat dari kayu/Fuji Adriza

Tapi, fitur yang paling menarik bagi saya adalah dinding luarnya yang sebagian hanya berupa jejeran kayu vertikal lazimnya pagar kebun di perdesaan. Inilah yang bikin Kopi Merapi tampak menyatu dengan suasana sekitar.

“Kalau lagi rame bisa sampai sejam nunggu (pesanan),” ujar Haviz. Ia memang sudah sering nongkrong di sini bersama kawan-kawan sekampusnya. Untungnya malam itu beda. Tak sampai lima belas menit, pesanan kami datang. Dua cangkir kopi hitam dan setumpuk kecil pisang goreng itu masih mengepul.

kopi merapi
Kopi robusta Merapi dan pisang goreng hangat/Fuji Adriza

Karena hanya datang berdua, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol ngalor-ngidul sambil sesekali menyeruput kopi dan mengunyah pisang goreng.

Tak terasa dua-tiga jam berlalu. Rombongan-rombongan pelanggan satu per satu undur diri, entah kembali ke kota atau malah meneruskan perjalanan ke atas, ke Kaliurang sana. Gelas-gelas dan piring-piring kosong ditinggalkan begitu saja di meja kayu. Suasana jadi semakin sepi.

Kami pun akhirnya kembali ke parkiran. Lalu pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar