Aroma ayam salted-egg KFC masih menguar samar-samar saat pesawat Lion Air yang kami tumpangi mulai memacu laju. Nyonya, yang saat itu jelas-jelas masih mengantuk, mulai terkulai. Tapi tidak tidur.
Kami berdua menyaksikan bulir-bulir air yang memenuhi kaca jendala perlahan menyibak disapu angin. Langit kelabu berganti biru. Sebentar saja kami sudah lupa bahwa pesawat itu tinggal landas di bawah guyuran hujan.
Adisutjipto sudah tak kelihatan. Gantinya, yang tampak dari jendela pesawat adalah permukiman yang menggugus di sekitar persawahan. Lalu pesawat mulai melambung menembus awan. Lapis demi lapis. Gerombolan kumulus kecil itu tampak seperti biri-biri di padang gembala—entah siapa gembalanya.
Tak terasa, pesawat makin mendekati sirus yang masih di atas tapi rasa-rasanya bisa digapai oleh tangan. Ah, andai saja tangan ini tak terhalang dua lapis jendela pesawat itu.
Ini adalah kali kedua saya naik pesawat ke Pulau Dewata. Sebelum-sebelumnya, dari sebagian besar perjalanan ke Pulau Bali, saya lewat jalur darat—naik kereta, bis, sepeda motor. Tapi yang paling sering adalah naik kereta.
Pertama kali ke Bali naik pesawat, seingat saya adalah di paruh akhir 2015 dalam penerbangan menuju Lombok. Karena waktu itu perjalanan saya disponsori Komunitas Kretek—Jelajah Negeri Tembakau—saya tak punya kuasa menentukan posisi duduk. Jadi, saya tidak duduk di bangku favorit, di samping jendela.
Sebenarnya tak masalah. Tapi, ternyata saya melewatkan banyak hal.
Buah manis dari kekeliruan
Semalam, Nyonya agak lama berkutat dengan ponselnya. Tiba-tiba saja terpikirkan olehnya untuk online check-in, jaga-jaga kalau kami tiba terlambat di bandara.
“Kita mau duduk di mana?” Ia bertanya. Tentu saja saya menjawab, “Mau yang dekat jendela.”
Ia pun menjelajah layar ponsel dan memilih-milih bangku. “Udah,” ujar Nyonya ceria. “Eh, tapi kita yang E-F, lho.”
Malangnya, saya lupa memintanya untuk memilih bangku di sebelah kiri—A dan B—agar saya bisa memamerkan padanya Gunung Agung yang anggun saat burung besi melayang-layang di atas langit Bali. Saya jelaskan bahwa kalau duduk di bangku E dan F barangkali kami takkan bisa melihat Gunung Agung dari ketinggian.
Ia tampak panik. Tapi saya menenangkannya. Duduk di mana pun dalam pesawat, pasti ada sesuatu yang menarik untuk dilihat.
Ternyata semesta memang punya selera humor yang tinggi. Justru “kekeliruan” itu yang akhirnya memberikan kami sebuah pengalaman naik pesawat yang takkan bisa dilupakan.
Melihat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dari sudut yang berbeda
Semula, pemandangan di balik jendela biasa-biasa saja. Areal persawahan yang rapi dan terbagi-bagi dalam ruas yang mungil-mungil, permukiman, jalan-jalan panjang yang membentang sampai cakrawala, sungai-sungai yang coklat dan berkelok-kelok dengan elegan.
Lalu ada sebuah areal seperti danau—atau waduk—yang entah apa namanya. Ujung-ujungnya tampak seperti sistem saraf, atau polip terumbu karang. Saya pun mulai ternganga.
Kemudian, dari balik awan muncul sebuah gunung. Bentuknya seperti Semeru, mengerucut dengan sebuah undakan kecil di sisi timur. Tapi tak mungkin itu Semeru, sebab kelihatan terlalu rendah untuk bisa dikatakan sebagai atap Pulau Jawa—itu pasti Penanggungan.
Artinya tak lama lagi, barangkali, pesawat akan melintas di samping Semeru yang sepaket dengan Kawah Tengger, Pasir Berbisik, dan Bromo.
Saya menunggu. Pesawat terus melaju. Saya lengahkan pandangan semakin ke selatan. Perbukitan muncul. Dari baliknya, samar-samar, tampak warna pasir dan kepulan asap—Bromo! Di belakangnya, diselimuti awan, Gunung Semeru menjulang. Melihat pemandangan itu, Nyonya terpukau. Ia memang sudah dari dulu ingin ke Bromo.
Melayang-layang di Gunung Raung
Tapi parade pemandangan spektakuler ternyata tak berhenti di situ. Tak berapa lama pesawat mendekati sebuah gunung yang puncaknya bergerigi. Selidik punya selidik—memanfaatkan fitur zoom di rugged camera kesayangan—ternyata itu raung.
Pesawat agak lama mengitari langit Raung. Dan semakin mendekat. Lama-lama perlapisan di sebelah dalam kawah mulai kelihatan, juga lautan pasir di kawahnya. Kalau saja kamera saya bisa men-zoom lebih dekat, barangkali saya akan melihat orang-orang yang sedang berjuang menuju Puncak Sejati.
Karnaval keindahan itu ditutup oleh penampilan Kawah Ijen dan gunung-gunung yang mengitarinya. Dari jauh, Kawah Ijen tampak seperti periuk nenek sihir yang sedang dipakai untuk merebus ramuan cinta nomor 9.
Kawah Ijen ternyata hanya selemparan batu dari pesisir. Sebentar kemudian, pesawat kami pun terbang melintasi Selat Bali.
Di atas sawah-sawah subak dan permukiman-permukiman Bali yang mini, pesawat mulai menurunkan ketinggian. Saat kepala saya masih agak pening karena menyesuaikan tekanan, suara pilot yang gemerisik mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mencapai tujuan.
Tol Bali Mandara dan Pulau Serangan yang kontroversial itu mulai kelihatan. Kapal-kapal cepat berkeliaran di laut biru meninggalkan jejak berupa buih putih yang memanjang. Rumah-rumah dan pepohonan semakin membesar. Tak berapa lama, pesawat mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.