Agak berbeda dari hari-hari biasanya, pagi tadi saya bersiap lebih awal untuk pergi ke kantor. Ceritanya, saya akan menjajal mass rapid transit (MRT) dari Lebak Bulus menuju Senayan.
Dibanding mereka yang sudah berbondong-bondong mencicipi asyiknya naik MRT saat baru diresmikan bulan lalu, rasanya saya memang agak ketinggalan. Tapi, mau bagaimana lagi. Kemarin-kemarin saya memang belum begitu tergerak untuk mencoba moda transportasi baru Jakarta ini.
Saya ke Stasiun Lebak Bulus naik ojek online. Ternyata letaknya berdampingan dengan halte Transjakarta. Pintu stasiun tidak begitu besar. Ada eskalator dan tangga biasa untuk naik ke lantai atas, lengkap dengan penunjuk arah naik dan turun. Dalam hati saya bertanya-tanya: Kira-kira orang-orang sudah mematuhi ini belum ya? Atau masih sembrono asal cepat sampai menyerobot areal tangga yang kosong?
Kesan modern pada interior stasiun yang berada di atas jalan penghubung Jakarta-Bogor itu cukup terasa. Stasiun itu juga kinclong, masih rapi, bersih, dan baru. Suasananya belum seramai stasiun-stasiun KRL atau halte Transjakarta. Juga, tak ada (lagi) pemandangan masyarakat sedang “piknik” seperti yang sempat viral di media sosial. Melihat ini semua, rasa-rasanya saya optimis Jakarta akan makin bebas dari kemacetan.
Dinding stasiun sebagiannya ditempeli iklan-iklan besar. Toko-toko masih belum buka, walaupun beberapa ada yang sudah mulai memberi info bahwa mereka akan segera hadir dalam waktu dekat. Di bagian lain, dinding kaca memamerkan “keindahan” kondisi lalu lintas di luar sana.
Seperti Transjakarta atau KRL, sistem pembayaran MRT adalah cashless. Calon penumpang bisa beli salah satu dari dua pilihan jenis tiket, yakni single trip ticket (STT) atau multi-trip ticket (MTT). Tiket itulah yang nanti mesti disentuhkan ke sensor gerbang stasiun keberangkatan (tap-in) dan disentuhkan pula di stasiun kedatangan (tap-out). Saldonya nanti akan otomatis terpotong. (Tarif MRT adalah Rp10.000/10 kilometer, sementara tarif antarstasiun bervariasi antara Rp3.000-Rp14.000.)
Hanya perlu 15 menit dari Lebak Bulus ke Senayan
Saya lalu naik eskalator menuju lantai lebih atas lagi untuk ke peron. Di sana, beberapa tempat duduk tersedia. Jam dan petunjuk-petunjuk lain tergantung di langit-langit.
Kereta MRT akan datang per sekitar 5 menit pada jam-jam sibuk dan per 10 menit di luar jam sibuk. Calon penumpang wajib antre mengikuti tanda di lantai. Suasana tertib sudah kelihatan saat saya di sana. Jarang saya lihat ada yang menunggu persis di depan pintu gerbang otomatis.
Saya bergerak naik MRT sekitar jam 9. Untuk ke Senayan, saya mesti melewati beberapa stasiun, yakni Fatmawati, Cipete, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan ASEAN (Sisingamangaraja).
Gerbong MRT sangat nyaman. Kelengkapan-kelengkapannya—tali pegangan, kursi, penunjuk stasiun, dll—juga sepertinya sudah dipersiapkan secara serius. Selain itu, meskipun banyak orang di dalam, gerbong tidak terasa begitu sesak.
Dari yang saya lihat, gerbong MRT sudah mulai dipenuhi para pekerja yang ngantor di pusat Jakarta. Seragam mereka rapi, pembawaan mereka kalem seolah-olah sudah begitu terbiasa menumpang moda transportasi yang baru saja diresmikan ini. Namun, saya juga sempat mengobrol dengan beberapa orang yang naik MRT sekadar untuk “mencobanya.”
Tak terasa MRT itu sudah berhenti di Senayan. Begitu melihat jam, saya kaget sendiri mendapati bahwa ini baru pukul 9.15. Lebak Bulus-Senayan cuma 15 menit! Ajaib! Pintu membuka dan saya pun turun. Tak menunggu lama, kereta canggih itu kembali melanjutkan perjalanan. Dari Senayan, ia akan terus ke Istora, Benhil, Setiabudi, dan mencapai ujung perjalanan di Bundaran HI.
Dengan kecepatan, kenyamanan, dan keterjangkauan ongkosnya, barangkali hanya tinggal menunggu waktu sebelum MRT semakin disesaki oleh para pekerja ibu kota yang tinggal di daerah-daerah satelit seperti Depok dan Tangerang.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.