Liburan akhir pekan memang sering saya habiskan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan kebetulan target saya kali ini adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Tak hanya belajar tentang sejarahnya saja, saya juga berniat untuk mencoba pengalaman naik kereta api tua yang usianya bisa dibilang sudah ratusan tahun.
Lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa ini merupakan peninggalan zaman Belanda, jadi bentuk dan pengoperasiannya pun masih terlihat kuno. Namun hal ini tampak berbeda saat saya sudah tiba di stasiunnya.
Setelah membayar tiket masuk seharga Rp10 ribu, saya mulai memasuki area di dalam dari Stasiun Ambarawa. Terlihat beberapa lokomotif yang bentuknya unik dan vintage dengan cat yang bisa dibilang masih baru. Dari sisi bangunannya berciri khas bangunan peninggalan Belanda karena gaya arsitekturnya mirip seperti yang ada di Lawang Sewu atau Kota Lama Semarang.
Walaupun usianya sudah tua, stasiun ini sangat terawat, terbukti dari areanya yang bersih dan penempatan barang-barangnya pun teratur. Di beberapa titik akan ada papan informasi tentang sejarah dan seluk beluk sejarah perkeretaapian Indonesia. Beberapa barang-barangnya banyak yang berasal dari stasiun lain yang bahkan sudah tidak beroperasi, salah satunya adalah loket kayu dari Stasiun Demak.
Menurut obrolan saya dengan salah satu petugas yang ada di sana, Stasiun Ambarawa tak hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja. Di sini pengunjung bisa melakukan berbagai macam kegiatan seperti pemotretan, shooting film, festival, bazaar, meeting, bahkan workshop juga pernah diadakan di tempat ini.
Sejarah Museum Kereta Api Ambarawa
Sebelum dikenal sebagai Stasiun Ambarawa, dulunya stasiun ini dikenal dengan nama Stasiun Willem I yang dibangun oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), diresmikan tanggal 21 Mei 1873 bersama dengan pembukaan lintas Kedungjati-Ambarawa.
Ambarawa memang dikenal sebagai daerah militer karena perannya yang menyokong Magelang untuk mengontrol daerah di pedalaman. Pada tahun 1835 dibangunlah sebuah kompleks benteng besar yang selesai pada tahun 1848 dan diberi nama Willem I. Benteng ini merupakan benteng terbesar di Jawa pada masa pemerintahan Raja Willem I.
Pada tahun 1873 dibuatlah jaringan kereta api oleh perusahaan kereta api swasta, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang merupakan syarat untuk mendapatkan izin konsesi pembangunan jalur kereta api Semarang – Vorstenlanden (dikenal sebagai Solo – Yogyakarta). NISM diwajibkan untuk membangun jalur kereta api sepanjang 37 km dari Kedungjati sampai Ambarawa untuk keperluan militer pada saat itu.
Pemberian nama Stasiun Willem I ini karena lokasinya yang tidak jauh dari Benteng Willem I. Pada tahun 1905 berlanjut membangun jalur kereta api Secang-Magelang dengan jalur kereta khusus menggunakan rel bergerigi.
Selanjutnya pada tahun 1907, dilakukan renovasi terhadap Stasiun Ambarawa dengan mengganti material kayu dan bambu menjadi batu bata.
Semenjak dioperasikan, Stasiun Willem I ini digunakan sebagai angkutan komoditas ekspor dan keperluan militer di sekitar Jawa Tengah. Namun pada tahun 1976, stasiun ini dinonaktifkan dan digunakan sebagai Museum Kereta Api oleh Gubernur Jawa Tengah pada saat itu.
Tujuannya untuk menyelamatkan teknologi kuno yang masih bisa dioperasikan yaitu lokomotif uap yang sekarang ini menjadi daya tarik tersendiri di sana. Stasiun Ambarawa dipilih karena nilai historisnya yang kuat dengan perjuangan kemerdekaan NKRI yaitu Pertempuran Ambarawa.
Di museum ini, saya bisa melihat berbagai koleksi peninggalan masa Hindia Belanda sampai pra Kemerdekaan RI seperti sarana, prasarana dan perlengkapan administrasi. Untuk koleksi kereta apinya sendiri memiliki 26 lokomotif uap, 4 lokomotif diesel, 5 kereta dan 6 gerbong dari berbagai daerah tak hanya di Ambarawa saja.
Pengelola Kereta Wisata Ambarawa juga menyediakan fasilitas bagi pengunjung untuk merasakan sensasi naik kereta api dengan dua jalur yang berbeda, yaitu Ambarawa-Tuntang PP dan Ambarawa-Bedono PP.
Untuk jalur Ambarawa-Bedono PP menggunakan kereta api uap yang melewati rel bergerigi, satu-satunya rel bergigi yang masih aktif di Indonesia. Namun saat ini yang beroperasi adalah jalur Ambarawa-Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel.
Jadwal Kereta Wisata Ambarawa
Update jadwal dan harga tiket Kereta Wisata Ambarawa per November 2020 adalah Rp60 ribu per orang (anak usia 3 tahun lebih diwajibkan untuk membeli tiket). Untuk jadwalnya terbagi menjadi 3 sesi setiap hari Sabtu dan Minggu yaitu jam 9 pagi, 11 siang, dan 1 siang.
Pengalaman saya sewaktu datang ke Stasiun Ambarawa memang harus datang pagi hari dan langsung membeli tiket karena biasanya sudah terjual habis. Untungnya saya masih mendapatkan satu tiket terakhir untuk jam 1 siang.
Rute kereta api yang saya naiki adalah Ambarawa – Tuntang PP menggunakan Kereta Api Diesel Vintage. Rutenya nanti melewati areal persawahan di sekitar Rawa Pening dengan pemandangan yang menakjubkan, kata salah satu petugas yang ada di sana sih.
Bunyi dengung setiap getaran mesinnya dan decasan dari uapnya memperlihatkan bahwa kereta ini masih tangguh untuk menelusuri setiap jengkal relnya. Terlihat lokomotif dengan kayu sebagai bahan bakarnya dan sudah terpasang dengan gerbongnya. Tak lama kemudian saya naik dan menduduki salah satu tempat yang pas yaitu dekat jendela.
Sesaat kemudian terdengar peluit yang menandakan bahwa kereta akan berangkat. Perlahan berjalan pelan dan meninggalkan Stasiun Ambarawa. Laju keretanya memang tidak terlalu kencang, inilah kelebihan kereta wisata di sini, jadi bisa melihat setiap ujung pemandangan yang disuguhkan.
Benar saja yang dibilang bapak tadi, pemandangannya sangat menakjubkan, dari areal persawahan yang hijau membentang dengan latar belakang pegunungan kecil di sekitar Ambarawa. Jika beruntung, penumpang bisa melihat ternak yang sedang digembalakan atau kerbau yang sedang membajak sawah.
Berselang 23 menit kemudian sampailah saya di Stasiun Tuntang yang ukurannya tidak terlalu besar dan megah seperti Stasiun Ambarawa. Di sini lokomotif akan dipindahkan dari gerbong depan ke gerbong belakang (mundur). Ada sesi istirahat sejenak sekitar 20 menit yang bisa digunakan pengunjung untuk melihat-lihat Stasiun Tuntang atau mengabadikan momen saat lokomotif berpindah.
Sempat saya mengelilingi Stasiun Tuntang namun tidak banyak hal yang bisa saya ceritakan karena memang tidak ada apa-apa dan waktunya pun terhitung singkat. Hanya ada beberapa papan informasi tentang sejarah lokomotif dan Stasiun Tuntang yang terpampang di beberapa titiknya.
Tak lama kemudian, kereta wisata berangkat dari Stasiun Tuntang menuju ke Stasiun Ambarawa secara perlahan. Pemandangan yang disajikan memang masih sama dan tidak berbeda saat berangkat tadi. Dalam hitungan menit yang sama, kereta wisata yang saya tumpangi sudah sampai di Stasiun Ambarawa.
Dari pengalaman itulah setidaknya saya tahu bahwa Museum Kereta Api Ambarawa merupakan tempat bersejarah yang menyimpan teknologi kuno sejak penjajahan Belanda. Tak hanya sebagai daya tarik wisata saja namun Museum Kereta Api Ambarawa benar-benar mengingatkan saya bahwa teknologi sekarang ada merupakan hasil dari inovasi dan pengembangan yang tak pernah berhenti.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Nico Krisnanda seorang anak biasa yang punya mimpi besar, untuk tetap bernapas dan bisa membantu orang di sekitarnya menjadi tokoh-tokoh penting dunia!